Lawan PDIP, Golkar Ikut Jadi Pihak Terkait di MK soal Sistem Pemilu Coblos Parpol
Sejumlah kader Partai Golkar turut melayangkan gugatan sebagai pihak terkait atas penolakan sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup atau coblos partai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejumlah kader Partai Golkar turut melayangkan gugatan sebagai pihak terkait atas penolakan sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup atau coblos partai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami inisiatif dari kader-kader, dari pribadi-pribadi. Teman- temen saya ajak, mereka sepakat," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Derek Loupatty ketika ditemui wartawan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (13/1).
-
Kenapa Pemilu penting? Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Kenapa Hanum Mega viral belakangan ini? Baru-baru ini nama Hanum Mega tengah menjadi sorotan hingga trending di Twitter lantaran berhasil membongkar bukti perselingkuhan suaminya.
-
Mengapa kejadian ini viral? Tak lama, unggahan tersebut seketika mencuri perhatian hingga viral di sosial media.
-
Apa itu Pemilu? Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat pemilu adalah suatu proses atau mekanisme demokratis yang digunakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan cara memberikan suara kepada calon-calon yang bersaing.
-
Kenapa Pemilu di Indonesia penting? Partisipasi warga negara dalam Pemilu sangat penting, karena hal ini menunjukkan dukungan dan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang berlaku.
Gugatan yang dilayang Derek bersama dua kader lainnya, yakni Kader Jawa Barat Achmad Taufan, serta kader dari Papua Martinus Anthon Werimon. Turut menyoal gugatan judicial review UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Dimana gugatan tersebut, sebagaimana diajukan oleh kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Belakangan NasDem menarik diri. Hanya PDIP parpol yang setuju dengan sistem proporsional tertutup.
"Kalau sistem ini kembali, kami sebagai generasi muda terutama akan menjadi antrean panjang. Untuk itu sistem terbuka bagi kami adalah harapan, bukan saja bagi kami," jelasnya.
Menurutnya, skema coblos partai membuat rakyat tidak mengetahui siapa wakil rakyat yang bakal mewakili mereka di parlemen. Karena, kewenangan sepenuhnya ada di tangan partai politik.
"Rakyat tidak memilih kucing dalam karung, tapi rakyat mengenal siapa yang layak dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat itu sendiri. Bukan gambar yang dipilih tapi siapa orang-orang yang dikenal oleh rakyat," jelasnya.
Sekadar informasi, jika dengan sikap dari tiga kader partai Golkar yang melayangkan gugatan pihak terkait. Maka nantinya ketika sidang memasuki tahap pemeriksaan, mereka akan dipanggil untuk dilibatkan memberikan keterangan dalam sidang di MK.
Berita terkait Pemilu bisa dibaca di Liputan6.com
Gugatan Ke MK
Sebelumnya, Aturan sistem Pemilu proporsional terbuka atau memilih calon legislatif langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi. Penggugat menginginkan pemilihan umum memberlakukan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.
Uji materiil itu diajukan oleh kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu tercatat dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
"Adanya sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo. Apabila melihat sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup di mana pemilih hanya memilih partai politik karena sejatinya berdasarkan UUD 1945 kontestan pemilu legislatif adalah partai politik,"kata kuasa hukum pemohon Sururudin saat sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/11).
"Kemudian partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota. Oleh karena itu, dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," tambahnya.
Dalam gugatan ini, pemohon meminta MK menyatakan frasa terbuka pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
"Menyatakan frasa 'proporsional' pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'," tutup Sururudin.
(mdk/rnd)