Mampukah Gibran Pimpin Dewan Aglomerasi Kawasan Jakarta Usai Jadi Wapres?
Kawasan aglomerasi sendiri adalah pusat penyelarasan kegiatan dan administrasi dari beberapa wilayah.
Kawasan aglomerasi sendiri adalah pusat penyelarasan kegiatan dan administrasi dari beberapa wilayah.
Mampukah Gibran Pimpin Dewan Aglomerasi Kawasan Jakarta Usai Jadi Wapres?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merumuskan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) untuk menanggapi Jakarta yang akan bebas dari gelar ibu kota.
Dalam RUU tersebut, DPR mengatur tentang Jakarta yang akan menyandang gelar kawasan aglomerasi dan pusat perekonomian Indonesia.
Kawasan aglomerasi adalah lokasi pusat penyelarasan kegiatan dan administrasi dari beberapa wilayah.
RUU DKJ menimbulkan banyak kritik dari masyarakat lantaran perumusannya dinilai memiliki kaitan erat dengan Pemilu 2024.
Aturan RUU DKJ
Perhatian publik tersorot pada pasal 55 ayat 3 dalam RUU DKJ yang berbunyi 'Dewan Kawasan Aglomerasi dipimpin oleh Wakil Presiden.'
Kemudian pada ayat sebelumnya, DPR menjelaskan mengenai wewenang Dewan Aglomerasi yang mencakup 'Mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi; dan mengoordinasikan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah," sesuai dengan yang tertuang pada pasal 55 ayat 2 RUU DKJ.
Penjelasan DPR
Komisi II DPR menepis perumusan RUU DKJ terkait dengan Pilpres 2024.
"Konsepnya sudah didiskusikan setahun yang lalu, tidak ada urusannya dengan waktu itu enggak tahu kita calon presidennya siapa, dan calon wakil presidennya siapa. Jadi tolong ini diluruskan konsep ini konsep lama, tidak ada hubungannya dengan pilpres, itu konsep murni diambil dari yang sudah berjalan di Papua," ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, Senin (11/3) kemarin.
Doli menjelaskan bahwa kedudukan Dewan Aglomerasi tidak akan berada di atas Gubernur atau Wali Kota, melainkan sebagai koordinator yang mengurus persoalan ekonomi, banjir, polusi, dan kemacetan di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Menurut Doli, Dewan Aglomerasi dibutuhkan karena tidak cukup apabila hanya satu menteri koordinator (menko) yang mengurus aglomerasi tersebut.
Cawe-Cawe Jokowi
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai RUU DKJ ini merupakan salah satu upaya 'cawe-cawe' Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemerintahan Indonesia yang akan datang.
Menurut Ujang, Jokowi ingin memberikan kekuasaan lebih kepada Gibran Rakabuming Raka setelah dilantik menjadi wakil presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang.
"Itu Undang-Undang dibuat untuk kepentingan sendiri dan keluarga, kelihatannya Jokowi di akhir masa jabatannya ingin memberikan kekuasaan yang lebih pada anaknya, Wakil Presiden nanti ketika dilantik," kata Ujang saat dihubungi merdeka.com, Selasa (12/3).
Ujang melihat hal ini bukan celah yang bagus bagi sistem tata negara Indonesia. Ujang berpendapat bahwa sebaiknya jabatan Dewan Aglomerasi tetap dipegang oleh Gubernur yang dipilih melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Wakil Presiden enggak usah cawe-cawe, karena dia punya tugas sendiri. Ini nantinya akan semrawut kewenangan antara Wakil Presiden dengan Gubernurnya, nanti Gubernur yang terpilih enggak punya kewenangan apa-apa. Ini membuat rumit," kata Ujang yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR).
Di sisi lain menurut Ujang, Gibran belum berpengalaman merangkap jabatan dengan memegang tanggung jawab besar apabila terpilih menjadi Wakil Presiden dan menjadi Dewan Aglomerasi.
"Belum lagi karena Gibran belum berpengalaman terkait dengan persoalan menjadikan (Jakarta) sebagai kota yang modern dan sebagainya, karena di Solo dengan di Jakarta itu sangat berbeda," kata Ujang.
Ujang berharap agar Gubernur dan Wali Kota bagi kota-kota di sekitar Jakarta tetap memiliki kewenangan penuh atas daerah teritorinya, sehingga keputusan DPR untuk merumuskan Undang-Undang yang menyatakan Dewan Aglomerasi akan dipimpin oleh Wakil Presiden merupakan keputusan yang disayangkan.