Membubarkan partai politik penerima uang korupsi
Bukan kali ini saja partai politik ikut terseret dalam kasus korupsi. Pada 2013, uang dari korupsi proyek Hambalang disebut-sebut digunakan untuk pemenangan calon ketua umum dalam kongres Partai Demokrat.
Dalam sidang kasus korupsi megaproyek KTP elektronik (e-KTP), terdakwa Setya Novanto menyebut uang korupsi juga mengalir ke Partai Golkar. Tidak tanggung-tanggung, nilainya disebut-sebut mencapai Rp 5 miliar. Uang tersebut digunakan untuk Rapimnas Partai Golkar tahun 2012. Uang itu diserahkan oleh keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
"Rp 5 Miliar untuk Rapimnas," kata Novanto, menjawab pertanyaan hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/3) lalu.
-
Siapa yang ditahan KPK terkait kasus dugaan korupsi? Dalam kesempatan yang sama, Cak Imin juga merespons penahanan politikus PKB Reyna Usman terkait kasus dugaan korupsi pengadaan software pengawas TKI di luar negeri.
-
Apa yang ditemukan KPK terkait dugaan korupsi Bantuan Presiden? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya dugaan korupsi dalam bantuan Presiden saat penanganan Pandemi Covid-19 itu. "Kerugian sementara Rp125 miliar," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika, Rabu (26/6).
-
Kapan kasus korupsi Bantuan Presiden terjadi? Ini dalam rangka pengadaan bantuan sosial presiden terkait penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek pada Kemensos RI tahun 2020," tambah Tessa.
-
Apa yang sedang diusut oleh Kejagung terkait kasus korupsi? Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi komoditas emas tahun 2010-2022.
-
Mengapa kasus korupsi Bantuan Presiden diusut oleh KPK? Jadi waktu OTT Juliari itu kan banyak alat bukti yang tidak terkait dengan perkara yang sedang ditangani, diserahkanlah ke penyelidikan," ujar Tessa Mahardika Sugiarto. Dalam prosesnya, kasus itu pun bercabang hingga akhirnya terungkap ada korupsi bantuan Presiden yang kini telah proses penyidikan oleh KPK.
-
Siapa yang diduga terlibat dalam kasus korupsi? Sorotan kini tertuju pada Sirajuddin Machmud, suami dari Zaskia Gotik, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi.
Bukan kali ini saja partai politik ikut terseret dalam kasus korupsi. Pada 2013, uang dari korupsi proyek Hambalang disebut-sebut digunakan untuk pemenangan calon ketua umum dalam kongres Partai Demokrat.
Partai politik yang menerima pencucian uang dari hasil kejahatan, baik itu korupsi atau kejahatan lain seperti narkoba, bisa dibubarkan. Undang-Undang memfasilitasi itu. Mahkamah Konstitusi berwenang membubarkan partai politik jika memang bertentangan dengan konstitusi. Namun, penegak hukum juga bisa membubarkan partai politik jika terbukti menjadi wadah bagi pencucian uang hasil tindak kejahatan.
"Kalau terbukti menerima aliran dana dari kejahatan bisa ditutup, dibubarkan. Tapi harus dibuktikan dulu," ujar Prasetyo di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (23/3).
Selama ini yang selalu ditampilkan sebagai penanggungjawab kasus korupsi adalah politisi partai. Belum ada yang sampai pada pembuktian partai sebagai wadah untuk pencucian uang.
"Kalau terbukti partainya menerima, partai apapun, terbukti menerima dana hasil kejahatan, tentu ada tindakan hukumnya," tegas dia.
Penegak hukum perlu serius mengejar keterlibatan partai dalam pusaran kasus korupsi. Sebab, partai politik termasuk dalam korporasi. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sangat jelas mengatur pengertian dan sanksi bagi korporasi.
Pakar Hukum Pencucian Uang Universitas Trisaksi Yenti Garnasih menuturkan, meskipun banyak politisi masuk penjara karena kasus korupsi, namun sampai saat ini belum ada catatan sejarah partai politik dibubarkan karena kasus korupsi. Semua proses hukum berhenti di pertanggungjawaban pribadi terdakwa. Sedangkan partai politik selalu lepas tangan.
"Entah belum ada bukti, tidak ada bukti atau tidak mau mencari. Sebelumnya, PKS di kasus impor daging, ada juga Demokrat di kasus Hambalang. Sekarang Golkar di kasus e-KTP. Tapi memang tampaknya sejauh ini dianggap yang main jahat oknum. Nah seharusnya penegak hukum yang kejar. UU menyebutkan partai yang terima hasil korupsi tetep diproses," jelas Yenti saat berbincang dengan merdeka.com, semalam.
Menurutnya, penegak hukum perlu berfikir konstruksi yang utuh dari kasus korupsi dan kemungkinan pencucian uang melibatkan partai politik sebagai wadahnya. Termasuk menelusuri bukti-bukti terkait tindak pidana yang dilakukan politisi dan kaitannya dengan aliran dana ke partai. Bisa saja aliran dana korupsi itu berkedok sumbangan dari donatur atau kader partai. Jika pada proses hukumnya sang donatur atau kader partai terbukti melakukan kejahatan korupsi, maka penegak hukum bisa mengejar hingga ke hulu.
"Kalau kasus korupsi, selama ini persentase tinggi melibatkan politisi. Apakah terlibat kasus korupsi untuk memperkaya diri sendiri atau kas partai. Kalau ada yang terlibat pencucian uang, ancaman pidana bubarkan," ucapnya.
Dia menegaskan, pembubaran partai yang terlibat korupsi bisa diambil dengan pendekatan UU Pencucian Uang jika proses pembubaran partai politik melalui Mahkamah Konstitusi sulit dilakukan. Menurut Yenti, hakim bisa memutuskan pembubaran parpol yang terlibat korupsi.
"Kalau saya dilihat dari pidana. Hakim bisa jatuhkan pidana pembubaran partai. Sarana undang-undang dan mekanisme sudah ada. Tinggal kemauan penegak hukum," tegasnya.
Dalam beberapa kasus korupsi massal, semisal Hambalang dan e-KTP, hakim dan jaksa seharusnya bisa lebih cermat membuktikan adanya pencucian uang hasil korupsi yang ikut dinikmati parpol. Apalagi indikasinya terang-terangan terlihat.
"Harus cermat melihat bukti, tidak sulit. Tinggal mendalami orang yang terlibat atas nama diri sendiri atau atas nama pengurus partai," katanya.
Yenti berpandangan, dalam hal penegakan hukum dan dinamika politik seharusnya saling bersinergi demi Indonesia yang lebih baik. Harus diawasi betul dinamika politik agar tidak ada kecurangan berupa menerima hasil kejahatan untuk kebutuhan politik.
"Sebetulnya kalau penegak hukum tegas (pembubaran parpol), malah ini baik. Biar ada efek jera dan pencegahan juga. Sehingga partai tidak berani main-main."
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra melihat dari perspektif hukum pidana terkait kejahatan korporasi, maka jika korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan, yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya. Korporasinya sendiri tidak otomatis bubar. Ini juga berlaku untuk parpol.
"begitu juga halnya jika parpol terbukti korupsi, maka pimpinannya yang dijatuhi hukuman. Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar, karena yang berwenang memutuskan parpol bubar atau tidak, bukanlah pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung dalam perkara pidana, tetapi Mahkamah Konstitusi dalam perkara tersendiri yakni perkara pembubaran partai politik," ujar Yusril melalui siaran persnya.
Dia menilai, pembubaran parpol hanya bisa dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi. Pasal 68 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberi amanat pada lembaga ini untuk memutus perkara pembubaran parpol. Syaratnya, jika asas dan ideologi serta kegiatan-kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945. MK bisa menyidangkan perkara pembubaran parpol jika ada permohonan yang diajukan pemerintah karena memiliki kedudukan hukum atau legal standing atas itu.
Tapi apakah mungkin Pemerintah Presiden Joko Widodo akan mengambil inisiatif mengajukan permohonan pembubaran parpol? Apalagi jika menyangkut parpolnya sendiri atau parpol pendukungnya. Yusril menilai, secara politik mustahil ada Presiden dari suatu partai akan mengajukan perkara pembubaran partainya sendiri ke MK. Presiden hanya mungkin melakukan itu jika ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan partainya secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan korupsi dan pimpinannya dijatuhi hukuman. Atau, jika ada desakan publik dan desakan politik yang begitu besar agar Presiden mengambil langkah mengajukan perkara pembubaran partai yang telah terbukti melakukan korupsi ke Mahkamah Konstitusi.
Yusril berharap penegak hukum termasuk KPK menyidik tuntas kejahatan korupsi termasuk parpol yang terlibat dalam kejahatan. Jika nantinya politisi dan parpol yang terlibat, terbukti bersalah itulah saatnya Presiden untuk mengajukan perkara pembubaran parpol tersebut ke MK.
MK perlu berani memutuskan bahwa parpol yang melakukan korupsi adalah partai yang melakukan perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar itulah MK menyatakan bahwa perbuatan parpol tersebut adalah bertentangan dengan UUD 45. Ini bisa menjadi alasan konstitusional untuk membubarkannya.
"Langkah pembubaran itu sangat penting bukan saja untuk pembelajaran politik dan demokrasi, tetapi juga untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik," ucapnya.
Baca juga:
Jaksa Agung: Parpol terima aliran dana korupsi bisa dibubarkan
Jaksa Agung setuju usul Wiranto tunda proses calon kepala daerah diduga korupsi
Sindir Sri Mulyani, Jaksa Agung cerita dapat anggaran kecil dan tak meningkat
Jaksa Agung usul pasal soal syarat presentase adili sengketa Pemilu dikaji lagi
Jaksa Agung tak setuju kembalikan duit korupsi hilangkan perbuatan pidana