Mempertanyakan dasar KPU melarang gambar tokoh di alat peraga kampanye
Larangan ini menimbulkan polemik dan dipertanyakan dasarnya. Sebab bagaimanapun, tokoh tertentu tidak bisa dilepaskan bahkan menjadi bagian identitas parpol.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang partai politik memasang gambar tokoh nasional yang bukan pengurus parpol dalam alat peraga kampanye. Misalnya, gambar Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Jenderal Besar Soedirman, atau pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari. Larangan ini menimbulkan polemik dan dipertanyakan dasarnya. Sebab bagaimanapun, tokoh tertentu tidak bisa dilepaskan bahkan menjadi bagian identitas parpol.
PKB misalnya, sebagai parpol yang didirikan oleh kalangan nahdliyin tidak lepas dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan mengatakan, larangan itu tidak akan memengaruhi hasil elektoral partainya. Namun, harus diakui bahwa aturan itu akan berdampak pada psikologis kader.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Siapa saja yang ikut dalam Pilpres 2019? Peserta Pilpres 2019 adalah Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
-
Kapan PDIP menang di pemilu 2019? Partai pemenang pemilu 2019 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan persentase 19.33% dari total suara sah yang diperoleh.
-
Apa tugas utama KPU dalam menyelenggarakan pemilu? Tugas utama KPU adalah mengatur, melaksanakan, dan mengawasi seluruh tahapan pemilihan umum, mulai dari pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga pemilihan kepala daerah.
"Mungkin tidak berdampak terhadap hasil elektoral, tapi akan muncul ganjalan psikologis. Kok bapak bangsa kita tidak boleh dibanggakan dan dilarang ya," kata Daniel saat dihubungi merdeka.com, Selasa (27/2).
"Dan rasa cinta itu kadang sulit dibendung, cara mengatasinya juga perlu pendekatan yang berbeda, jangan sampai pelarangan membuat kesan tokoh-tokoh bangsa ini jadi seperti tokoh terlarang," ungkapnya.
Demikian juga Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira yang menyebut larangan KPU terlalu berlebihan. Menurutnya setiap partai politik selalu mempertimbangkan foto yang akan dipasang di alat peraga. "Tentu tidak akan sembarang orang yang tidak punya hubungan dengan partai atau kandidat akan dipasang di alat-alat peraga. Tetapi figur atau tokoh yang mempunyai hubungan kesejarahan, mempunyai relasi identifikasi yang kuat dengan parpol atau kandidat," tukasnya.
"Sehingga hal-hal seperti itu seharusnya tidak perlu diatur karena menjadi berlebihan KPU mengatur," sambungnya.
Senada, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf meminta KPU memberikan penjelasan yang terbuka dasar munculnya larangan tersebut. "Ini juga KPU harus memberikan penjelasan dan KPU sudah menjadi lembaga yang cukup lama. Kajiannya apa. Mereka anggap tokoh yang baru saja dimunculkan seperti ditanyakan idealnya dianggap KPU salah. Saya belum tahu kajiannya KPU. KPU harus terbuka karena ini sudah lama bagi masyarakat," kata Nurhayati di Kompleks Parlemen.
Anggota Komisi I ini mengatakan KPU harus mendengarkan masyarakat dengan peraturan pemasangan gambar presiden dan wakil presiden di alat peraga kampanye. Hal itu kata dia sebagai bentuk demokrasi. "KPU juga menurut saya harus mendapatkan masukan ini dari masyarakat. Apakah masyarakat keberatan atau tidak. Kalau warga tidak keberatan tidak masalah," ungkapnya.
Sikap berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno yang mendukung larangan tersebut. Alasannya, sudah seharusnya partai politik menjual gagasan, bukan tokoh. "Setuju saja. Kan parpol menjual gagasan, ide dan ketokohan kadernya bukan kepala negara yang notabene adalah milik rakyat," kata Eddy.
Menurutnya, aturan itu seharusnya tidak perlu menjadi polemik di kalangan elite partai politik. Karena tidak seharusnya partai hanya menjual figur yang sudah terkenal. "Mestinya tidak ya. Secara kelembagaan parpol kan menjual program, konsep dan harapan yang lahir dari landasan fundamental dan ideologis partai dan bukan menjual figur semata," tandasnya.
Sikap mendukung larangan itu juga disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Dia menyatakan aturan itu agar sosok tokoh tidak disalahgunakan. "Saya kira bagus bagus aja ya. Karena mungkin maksudnya adalah supaya ini kan nama nama besar ada Pak Soeharto, Bung Karno, pendiri Muhammadiyah misalnya, jangan sampai disalahgunakan oleh partai maupun oleh caleg-caleg nanti yang mengakibatkan tercorengnya nama-nama mereka itu," kata Fadli.
Menurut dia, peraturan itu bukanlah masalah yang subtansial. Di sisi lain, larangan itu justru dianggap sebagai penghargaan agar gambar tokoh itu tidak disalahgunakan. "Ya walaupun sebenarnya hal-hal seperti ini tak perlu lah diatur. Tapi kalau mau diatur ya juga tidak ada masalah. Artinya bukan suatu masalah yang substansial. Cuma kalau maksudnya kalau ini memberi penghargaan mereka supaya tidak disalahgunakan ya itu juga menurut saya bagus," tandasnya.
Menanggapi polemik ini, dosen FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten Abdul Hamid menilai, larangan KPU itu sebenarnya bisa dimaknai bagi parpol untuk mengedepankan program-program yang berkaitan dengan masyarakat, bukan sekadar menjual tokoh.
"Bisa jadi semangatnya itu. Selama ini politik kita lebih high context culture, lebih melihat aspek-aspek non verbal, logo lah, tokoh lah, dan sebagainya," katanya saat dihubungi merdeka.com.
Meski begitu, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Untirta ini menegaskan, bagaimanapun parpol mempunyai ikon-ikon tertentu yang menjadi nilai jual mereka. "Misalnya PDIP enggak bisa lepas bahwa dulunya dia dibentuk dari PNI oleh Soekarno. Karena bagaimanapun parpol kita punya ikon tertentu yang terlibat dalam pendirian parpol dan memiliki relasi misalnya PKB dengan NU, atau PAN dengan Muhammadiyah. Sebagai identitas itu tidak masalah," jelasnya.
"Apa dasar melarang itu. Selain tidak tepat, dasarnya enggak jelas. Yang bisa dilakukan mungkin imbauan, tapi tidak bisa dilarang gitu," imbuhnya.
Hamid memaparkan, model kampanye yang menggunakan gambar tokoh hanya efektif untuk pemilih di kalangan pedesaan dan itu seharusnya tak perlu dilarang karena bagian dari dinamika yang menjadi bagian politik Indonesia. "Politik kita kan politik aliran. Ya mau enggak mau, enggak bisa lepas dari tokoh di balik itu," ujarnya.
Yang menarik, lanjut Hamid, dalam Pemilu 2019 mendatang, apakah menjual tokoh dalam kampanye masih laku atau tidak. "Apakah tokoh seperti Soeharto laku atau enggak. Dulu PKS pernah membuat iklan tokoh nasional dari mulai soekarno, soeharto, dan sebagainya. Itu juga enggak bikin PKS jadi laku," pungkasnya.
Baca juga:
Dilarang gunakan tokoh bangsa, pembuatan APK Pilgub Jateng molor
Soal larangan gambar Soekarno, Politikus PDIP sebut pengetahuan KPU kurang luas
Agar tak disalahgunakan, Fadli setuju larangan gambar tokoh di alat kampanye
Cagub Khofifah diduga melanggar aturan, Bawaslu siapkan sanksi
Ada larangan KPU, PKB khawatir kader tetap pasang foto tokoh karena cinta dan bangga
PAN setuju larangan KPU, parpol harusnya jual gagasan bukan tokoh
Diprotes parpol, KPU ngotot larang foto presiden di alat peraga kampanye