Mencari penantang terkuat Jokowi selain Prabowo
Mencari penantang terkuat Jokowi selain Prabowo. Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan menegaskan, koalisi penantang Jokowi akan lebih cair jika Gerindra memutuskan untuk tidak mengusung Prabowo Subianto. Prabowo dia minta untuk menjadi 'king maker' saja seperti dua kali Pilkada DKI
Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden petahana telah mengantongi lima dukungan partai politik untuk maju di Pilpres 2019. Mereka adalah PDIP (109 kursi atau 19,4% kursi DPR), Golkar (91 kursi atau 16,2% kursi DPR), PPP (39 kursi atau 7% kursi DPR), NasDem (36 kursi atau 6,4% kursi DPR) dan Hanura (16 kursi atau 2,9% kursi DPR). Kubu petahana ini hanya tinggal merampungkan pembahasan tentang siapa orang yang tepat mendampingi Jokowi di posisi cawapres nantinya.
Di sisi lain, lima partai yakni Gerindra (73 kursi atau 13% kursi DPR), Demokrat (61 kursi atau 10,9% kursi DPR), PKB (47 kursi atau 8,4% kursi DPR), PAN (48 kursi atau 8,6% kursi DPR) dan PKS (40 kursi 7,1% kursi DPR) belum menentukan sikap untuk berkoalisi mendukung bersama satu calon presiden. Masing-masing partai punya jagoan sendiri untuk dimajukan.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Siapa saja yang ikut dalam Pilpres 2019? Peserta Pilpres 2019 adalah Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
-
Siapa yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Pilpres 2019? Berdasarkan rekapitulasi KPU, hasil Pilpres 2019 menunjukkan bahwa pasangan calon 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, meraih 85.607.362 suara atau 55,50%, sementara pasangan calon 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meraih 68.650.239 suara atau 44,50%.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Dimana Prabowo Subianto kalah dalam Pilpres 2019? Namun sayang, Ia kalah dari pasangan Jokowi-Ma'aruf Amin.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
Gerindra misalnya punya Prabowo. Demokrat menjagokan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sementara PKB mendorong Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dan PAN punya Zulkifli Hasan. Begitu pula PKS yang punya Sohibul Iman, Salim Segaf Aljufrie hingga Anis Matta.
Aturan Presidential Threshold atau ambang batas capres juga menjadi kendala. Lima partai di kubu penantang ini harus berkoalisi hingga melewati batas 20 persen kursi DPR RI. Jika secara hitung-hitungan, partai suara terbesar yakni Gerindra harus koalisi minimal dengan PKS untuk usung Prabowo. Gerindra dan PKS memang tampak mesra pasca menang di Pilgub DKI, ditambah PAN yang telah bangun koalisi 'pemanasan' di Pilkada serentak 2018.
Lalu bagaimana dengan peluang koalisi penantang Jokowi?
Wasekjen PAN Saleh Partaonan Daulay tak ingin mengerucutkan pertarungan di Pilpres 2019 hanya antara Jokowi dan Prabowo. Dia malah ingin lima partai yang belum punya koalisi untuk membangun komunikasi intens.
Komunikasi itu, tak dulu bahas nama capres. Tapi, bagaimana membangun Indonesia, menyatukan visi dan misi yang baik. Jika sudah memiliki visi dan misi yang sama. Maka kemudian baru membicarakan tentang sosok siapa capres dan cawapres yang akan diusung.
"Jadi begitu sudah ketemu, apapun bisa dilakukan. PAN mengajak partai yang belum menentukan capres untuk duduk bersama merumuskan lagi calon pemimpin alternatif, capres dan cawapres alternatif yang bisa bertanding melawan Jokowi, PAN meyakini calon itu banyak," kata Saleh saat dihubungi merdeka.com, Selasa (26/2).
Saleh ingin ada capres alternatif muncul selain Jokowi dan Prabowo. Dia tak mau seolah-olah Jokowi mendapatkan dukungan besar sehingga hanya tinggal mencari siapa cawapresnya saja. Padahal, kata dia, ada calon alternatif yang pasti bisa muncul untuk menantang Jokowi.
Prabowo Subianto hadiri diskusi kebudayaan di TIM ©2014 merdeka.com/muhammad lutfhi rahman
Berkaca dari Pilgub DKI 2013, Jokowi menjadi calon alternatif bisa mengalahkan Fauzi Bowo. Begitu juga pada Pilgub DKI 2017, penantang Anies Baswedan dan Sandiaga Uno belakangan muncul dan sukses mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Sudah ada (calon penantang), kalau penantang itu dia kan dapat (elektabilitas) 15 persen atau 20 sampai 25 persen sudah bagus. Nanti begitu dia kuat, naik. Coba lihat Anies sama Sandi langsung kan, dulu Jokowi kalahkan Foke begitu. Menurut saya caranya, jangan lihat orangnya dulu," jelas Wakil ketua Komisi IX DPR ini.
Namun demikian, bukan tidak mungkin PAN nantinya tetap bergabung dengan koalisi Jokowi bersama lima partai terdahulu. Tapi itu dilihat dari sukses Jokowi selama memimpin Indonesia. Bagaimana tingkat kepuasan rakyat dan program-program Jokowi yang telah terealisasi. Termasuk janji-janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014, kata Saleh, sudah dibayar belum. Ini yang akan menjadi pertimbangan PAN.
Sama halnya dengan Prabowo, juga tidak menutup kemungkinan PAN bergabung ke koalisi tersebut. Tapi lagi-lagi, Saleh inginkan koalisi penantang duduk bersama lebih dulu sebelum membahas nama capres dan cawapres yang akan diusulkan untuk menantang Jokowi.
"Tapi jangan sampai juga Jokowi nanti lawan kotak kosong, tidak baik buat demokrasi kita," kata Saleh lagi.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan menegaskan, koalisi penantang Jokowi akan lebih cair jika Gerindra memutuskan untuk tidak mengusung Prabowo Subianto. Prabowo dia minta untuk menjadi 'king maker' saja seperti dua kali Pilkada DKI yang terbukti menang.
Firman menambahkan, munculnya capres alternatif akan membuat Pilpres 2019 menjadi menarik. Dia mengakui bahwa sejauh ini penantang terberat Jokowi adalah Prabowo menurut hasil survei. Tapi, dia menekankan, bukan tak mungkin calon alternatif nanti bisa mengalahkan elektabilitas Prabowo bahkan Jokowi jika dimunculkan.
"Jika Prabowo maju ada dua problem psikologis yang harus dihadapi partai kubu oposisi. Pertama Prabowo sudah dua kali kalah dalam pilpres. Ini bisa mengganggu psikologis pemilih, sosok sudah dua kali bertanding dalam Pilpres, ini bisa jadi problem. Kedua persoalan logistik, kita belum tahu persiapan Prabowo dalam konteks logistik. Di beberapa momen terakhir, Pak Prabowo mengeluh soal logistik," jelas Firman.
Menurut Firman, persoalan logistik juga sangat penting. Sehingga kenapa tidak jika memang ada calon alternatif yang kuat logistiknya untuk diusung menggantikan Prabowo. Sebab, selain perkara elektabilitas dan popularitas, dalam melawan petahana juga harus dipikirkan soal biaya politik.
Lalu siapa calon alternatif itu?
Firman melihat, per hari ini tidak ada calon alternatif selain Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Menurut dia, elektabilitas Anies masih sangat mungkin naik ketimbang Prabowo yang tidak memiliki jabatan publik dan jarang diberitakan media massa.
"Hari ini muncul Anies Baswedan, karena calon alternatif itu adalah bagaimanapun dia harus terekspos media, itu penting. Hari ini kita lihat Anies bahkan dalam beberapa momen lebih terkspos media dibanding Prabowo semenejak isu Pilkada DKI, terlepas pemberitaan itu bernada positif dan negatif," kata dia.
Anies Baswedan ketemu Sultan ©2017 Merdeka.com
Dia mencontohkan terkait insiden Final Piala Presiden di GBK yang menimpa Anies Baswedan. Saat itu, Anies dilarang Paspampres untuk mendampingi Presiden Jokowi memberikan piala kepada Persija Jakarta.
"Dia memang berada dalam posisi strategis untuk mendapat ekspos media. Ini juga masalah buat Prabowo, sampai saat ini seakan stagnan karena memang salah satu problemnya kelihatan belum bisa dapat momentum terekspos oleh media sehingga muncul di publik kalau Pak Anies sebagai Gubernur DKI dia berada pada wilayah itu," kata Firman lagi.
Sementara terkait nama lain yang diusulkan oleh partai di luar Jokowi, seperti AHY, Cak Imin, Zulkifli Hasan dan Sohibul Iman, kata Firman, belum mampu mengalahkan elektabilitas dan kapasitas Anies Baswedan.
Menurut dia, selain populer, untuk bisa melawan Jokowi dibutuhkan kapasitas serta pengalaman yang mumpuni.
"Kalau lihat nama-nama (penantang) itu masih berat untuk bisa lawan Jokowi jadi capres. Mereka itu kemungkinan levelnya cawapres. Kaya Cak Imin figur-figur di PKS, AHY walaupun popularitas tinggi, tapi kan kapasitas personal, track record misalnya AHY bagaimana pengalaman kepemimpinan yang kurang, apalagi politisi sipil, kalau untuk cawapres nama-nama itu berpeluang, tapi untuk diusung capres apalagi melawan Jokowi sebagai petahana berat nama-nama itu," tutup Firman.
Baca juga:
KPU sebut JK tak boleh lagi jadi Cawapres
Cawapres terbentur aturan, JK dinilai lebih baik maju jadi capres
Mendagri serahkan ke KPU soal aturan Jusuf Kalla jadi Cawapres kembali
KPU larang gambar Soekarno, Soeharto dan KH Hasyim Asyari di alat peraga
JK prediksi di Pilpres 2019 calon yang muncul dari nasionalis-religius
PKB sodorkan kriteria cawapres buat Jokowi, nasib Cak imin ditentukan Juni
JK kembali dijagokan cawapres, Mendagri nilai klausul UUD 45 multitafsir