Mengantisipasi Penyebaran Hoaks yang Kian Masif Jelang Pilpres 2019
Menjelang Pemilihan Umum 2019 muncul berbagai berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian. Penyebarannya semakin cepat dan masif dengan menggunakan teknologi informasi.
Menjelang Pemilihan Umum 2019 muncul berbagai berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian. Penyebarannya semakin cepat dan masif dengan menggunakan teknologi informasi.
Kementerian Sekretariat Negara menyebut penyebaran berita hoaks menjelang Pemilu merupakan satu fenomena yang timbul di tengah masyarakat. Ini berpotensi menciptakan disintegrasi dan memecah belah bangsa Indonesia.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Bagaimana tanggapan Titiek Puspa atas kabar hoaks kematiannya? Titiek Puspa, meski santai, mengakui kesal karena berita palsu yang menyebutkan dirinya telah meninggal dunia.
-
Apa yang diklaim oleh informasi yang viral di media sosial mengenai Pertalite? Viral di media sosial yang mengeklaim bahwa mulai 1 September 2024 Pertalite tidak dijual lagi di SPBU Pertamina. Berikut narasinya: "Mulai 1 September 2024 Pertalite tidak akan dijual lagi di SPBU Pertamina.Wacana soal bensin paling murah ini memang sudah mulai ramai sejak bulan lalu, mulai dari rencana dihapus sampai dibatasi."
-
Bagaimana cara mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar? Melansir dari reuters, The Economist tidak menerbitkan sampul yang menggambarkan Presiden AS Joe Biden bermain catur dengan Vladimir Putin, dengan judul yang memperingatkan tentang perang nuklir yang “tak terelakkan” antara keduanya.
-
Apa yang diklaim oleh berita hoaks tentang huruf Y? "Huruf 'Y' akan dihapus dari Alfabet", judul artikel tersebut.
-
Apa yang dilakukan Polda Bali untuk menindaklanjuti berita hoaks tersebut? Penelusuran "Kami juga sudah berkoordinasi dengan Sibercrim Ditreskrimsus Polda Bali, untuk melacak akun tersebut," katanya.
Deputi V Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan kemunculan hoaks dan ujaran kebencian penting untuk diantisipasi. Langkah ini harus dilakukan agar masyarakat tidak terjebak dalam berita bohong yang berpotensi menjatuhkan kandidat-kandidat peserta pemilu legislatif maupun eksekutif.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosarita Niken Widyastuti memaparkan hasil selama tiga bulan terakhir (Sejak September 2018 hingga Desember 2018) menunjukkan konten hoaks di Indonesia paling banyak menyerang pemerintah, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2019, serta para menteri.
Dia mengungkapkan sebanyak 63 informasi hoaks terkait dengan politik dan Pemilu 2019 disebarkan melalui media sosial dan pesan singkat berantai yang terenkripsi.
"Namun penyebaran hoaks lebih cepat, maka kami sebenarnya tidak bisa bekerja sendirian," kata Rosarita seperti dikutip dari Antara, Selasa (22/1).
Dia juga menjelaskan bahwa Kominfo telah berupaya menekan penyebaran hoaks yang banyak beredar melalui media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dengan cara terus melakukan verifikasi.
Oleh sebab itu, Kominfo melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti 98 komunitas siber dan beberapa kementerian serta lembaga terkait.
"Kominfo juga cukup rajin menegur platform-platform yang memiliki akun dengan konten informasi berita bohong, radikal, dan menyesatkan," tegasnya.
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana
juga meminta masyarakat dan para pendukung para calon kontestan politik bisa menahan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan ujaran kebencian di dunia maya.
"Di tengah debat calon kandidat yang semakin memanas, sudah seharusnya masyarakat, para pendukung para kandidat secara rasional dapat menahan diri jika menemukan adanya ujaran kebencian," katanya dalam keterangan tertulis.
Menurutnya, jika ujaran kebencian ini terus dibiarkan berkembang dalam melakukan perdebatan politik tentunya akan menimbulkan perpecahan dan keberagaman di masyarakat. Dia pun meminta kepada pemerintah melalui aparat penegak hukum serta penyelenggara pemilihan umum untuk mengambil tindakan tegas kepada dua pihak yang sedang berkompetisi beserta para pendukungnya apabila masih saja menunjukkan debat yang mengandung unsur ujaran kebencian
"Jangan pernah pemerintah dan aparat penegak hukum mentolerir ujaran kebencian dalam debat karena risikonya sangat besar yaitu perpecahan di masyarakat," tandas anggota Kelompok Ahli BNPT bidang Hukum ini.
Baca juga:
Demi Pemilu Damai, Masyarakat Disarankan Sehat Pakai Medsos dan Lawan Hoaks
Kiai NU Jatim Ingatkan Bahaya Hoaks di Tahun Politik
Kejagung Terima 2 Berkas Kasus Hoaks 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos
Facebook sebut Sepanjang Awal Tahun 2019, 753,7 Juta Akun Palsu Diberangus
Sosok Penyebar Hoax Ijazah Palsu Jokowi di Mata Warga
Waspadai Tsunami Hoaks, Ma'ruf Amin Minta Pendukungnya di Banten Tak Tidur