Pengamat: Konsultan PDIP jual capres seperti jual pasta gigi
"Konsultan politik di AS lebih punya wibawa ketimbang konsultan di Indonesia yang bisa dibilang konsultan marketing."
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk menilai, cara yang dilakukan olah konsultan politik PDIP untuk meraih suara aneh. Menurut Hamdi konsultan marketing lebih mendominasi ketimbang konsultan politik.
"Kita tahu, Ipang Wahid itu dulu hajar Jokowi habis-habisan. Sekarang dia konsultan PDIP, gimana jelaskannya itu? Susah bedakan konsultan politik dan konsultan marketing," kata Hamdi dalam diskusi Politik di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (20/4).
Hamdi mengatakan, cara konsultan politik yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan konsultan politik di Amerika Serikat (AS). Konsultan politik di AS, kata Hamdi betul-betul mengedepankan ideologi partai dan visi misi program partai. Makanya kata Hamdi banyak konsultan politik di AS jika memang ideologinya di liberal (Partai Demokrat) maka gak akan gabung ke ideoligi konservatif (partai republik).
"Konsultan politik di AS lebih punya wibawa ketimbang konsultan di Indonesia yang lebih bisa dibilang konsultan marketing," ujarnya.
"Kalau di PDIP ini konsultannya cuma bicara bisnis. Bisnis yang bicara marketing. Ideologi gak dibawa, si konsultan lihat produk kemudian dia poles sesuai citra partai biar laku di pasaran. Makanya terlihat konsultan marketing itu memasarkan capres kaya memasarkan pasta gigi," tukasnya.
Menurut Hamdi, demokrasi saat ini bukan lagi bicara ideologi melainkan pertarungan konsultan atau periklanan saja. Pemilih lebih dijadikan konsumen yang dibuat tertarik terhadap suatu produk ketimbang kualitas produknya.
Hamdi menambahkan, maraknya konsultan marketing itu karena identitas partai di Indonesia juga belum jelas. Dia mencontohkan di AS, dimana identitas partai, kerja-kerja politik, ideologi partai sudah stabil dan tidak bisa diotak-atik lagi. Sehingga, sambungnya ketika partai stabil, partai bisa melahirkan tokoh yang betul-betul mumpuni secara visi misi maupun ideologi.
"Kalau di kita politik tidak stabil, akibatnya sosok yang dilahirkan nggak jelas. Tidak ada seleksi ketat, jadi main jual aja di pasar bebas. Akhirnya di pakailah jasa konsultan marketing tadi. Bukan bicara politik. Yang menang yang bisa menyewa jasa konsultan, kalau begini terus ya pertarungan konsultan terus yang ada, bukan sosok. Jadi konsultan mana yang bisa poles sosok paling kinclong ya menang," tandasnya.