Pilkada Asimetris Jangan Lahirkan Demokrasi Hanya Untuk Si Kaya
Perludem mengkritik wacana Pilkada Asimetris. Pilkada langsung dilakukan berdasarkan indeks demokrasi. Hal ini diusulkan oleh Mendagri Tito Karnavian melihat mahalnya biaya Pilkada dan praktik politik uang.
Perludem mengkritik wacana Pilkada Asimetris. Pilkada langsung dilakukan berdasarkan indeks demokrasi. Hal ini diusulkan oleh Mendagri Tito Karnavian melihat mahalnya biaya Pilkada dan praktik politik uang.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, Pilkada Asimetris bukan barang baru. Jakarta, Yogyakarta, Papua dan Aceh sudah menerapkan hal itu. Tapi dilakukan berdasarkan kultur, sejarah politik yang panjang, bukan tergesa-gesa.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Kapan Kapolda Kepri mencium istrinya? Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Yan Fitri Halimansyah tertangkap kamera sedang mencium istrinya saat melantik ratusan calon anggota Polri di Polda Kepri.
-
Apa yang dimaksud dengan Pilkada? Pilkada adalah proses demokratis di Indonesia yang memungkinkan warga untuk memilih pemimpin lokal mereka, yaitu gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya.
-
Kenapa Pilkada itu penting? Pilkada artinya singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, adalah salah satu momen krusial dalam sistem demokrasi kita.
"Di Papua pilkadanya juga asimetris, dimana calon gubernur dan wakil gubernur harus orang aseli Papua sebagaimana diatur UU 21/2001," jelas Titi kepada merdeka.com, Jumat (22/11).
Titi menambahkan, kalau pemerintah ingin menerapkan mekanisme pemilihan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, maka mutlak dilakukan secara inklusif dan tidak menimbulkan diskriminasi antar daerah. Serta, tidak bersifat subyektif.
"Jangan sampai ada perlakuan berbeda sehingga melahirkan praktik demokrasi hanya untuk si kaya atau demokrasi hanya untuk segelintir orang," tambah Titi.
Asimetris Berdasar Sejarah Politik Panjang
Titi melanjutkan, beberapa daerah yang memiliki kekhasan dan kekhususan saat ini terkait dengan mekanisme pemilihan di daerahnya dikarenakan atau dilatari landasan keistimewaan berkaitan dengan sejarah politik, sosial, dan kultural di daerah tersebut.
Seperti Papua, Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Aceh misalnya. Keputusan Kemendagri harus dibuat secara partisipatoris dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang ada secara optimal.
"Bukan sebagai sebuah keputusan yang tergesa-gesa. Kalaupun pilihan itu diambil, sifatnya adalah temporer sembari pemerintah menyiapkan segala instrumen yang ada agar hak politik rakyat kemudian bisa difasilitasi langsung sebagaimana mekanisme pemilihan yang ada melalui suara rakyat," jelas Titi.
Praktik selama ini dalam negara kita, kata Titi lagi, asimetris dibangun atas dasar asal usul yang khas dan keistimewaan latar suatu daerah. Ini menjadi penting dipertimbangkan agar tidak terjebak pada perlakuan yang tidak setara pada daerah-daerah yang ada di Indonesia.
"Makanya sejak awal konsepnya harus jelas dulu agar tidak elitis dan malah jadi pendekatan yang mendiskriminasi daerah. Padahal kita adalah negara kesatuan yang mestinya ada keadilan perlakuan," tegas dia.
Harus Hati-hati
Titi menambahkan, mengukur dimensi keadilan Pilkada asimetris tentu memerlukan proses yang holistik, partisipatif, dan hati-hati. Jangan-jangan justru bukan di situ solusinya.
Makanya, dia mengusulkan, tidak boleh melompat langsung pada mengubah sistem, melainkan serius dulu benahi berbagai perbaikan pilkada yang selama ini sudah banyak direkomendasikan tapi belum sungguh-sungguh ditindaklanjuti baik berupa kebijakan maupun implementasi di lapangan.
Titi juga tak yakin, Pilkada Asimetris ini menghilangkan praktik politik uang dan tingginya biaya pencalonan kepala daerah.
Asimetris yang dimaksud Kemendagri itu jelas dulu seperti apa? lanjut Titi, apakah melalui DPRD, ditunjuk langsung, atau tidak langsung parsial, atau bagaimana? Ini kan masih belum jelas dan tegas skemanya.
"Karena memang kita belum komprehensif mengurai permasalahan pilkada yang ada. Jadi akhirnya melompat-lompat dalam menjelaskan permasalahan yang ada," tegas Titi.
"Pilkada tidak langsung tidak serta merta menghilangkan praktik mahar politik. Kalau aturan mainnya abu-abu, penegakan hukum lemah dan tebang pilih, serta partai masih elitis dan dikendalikan segelintir orang. Malah oligarki dan politik maharnya bisa semakin menggila karena berlangsung di ruang yang lebih sempit dan gelap. Apalagi sekarang kita tak bisa berharap banyak pada KPK sebab dengan UU baru ruang gerak KPK saja sudah makin terbatas," lanjut Titi lagi.
Setuju di Papua
Perludem sendiri, kata dia, setuju kalau pilkada asimetris untuk Papua. Hanya saja perumusannya harus transparan, akuntabel, partisipatoris, dan inklusif. Pertimbangan historis papua, afirmasi untuk orang asli Papua, dan percepatan pembangunan adalah beberapa pertimbangannya.
"Hanya saja sekali lagi ini temporer sampai semua infrastruktur demokrasi yang ada berfungsi dengan baik," terang Titi.
"Kalau Aceh, Papua, DKI, dan Yogya kan saat ini sudah asimetris berdasar UU khusus. Tapi pemilihan di Aceh dan Papua masih dilakukan secara langsung. Nah bilang ingin asimetris berupa tidak langsung, sejauh ini kekhususan, konteks praktik politik lokal, dan faktor historis yang ada, misal adanya praktik noken, membuat kami berpandangan Papua saja yang dimungkinkan untuk itu," tutup dia.
(mdk/rnd)