Presiden PKS Kritik Lemahnya Kepemimpinan Negara Atasi Covid-19 Hingga Ciptaker
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu mengkritik lemahnya kepemimpinan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan berbagai permasalahan yang ada di Indonesia.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu mengkritik lemahnya kepemimpinan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan berbagai permasalahan yang ada di Indonesia.
Syaikhu berkaca dari tingginya jumlah kasus Covid-19 yang sudah mencapai lebih dari setengah juta orang sejak pandemi terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu, pasien yang meninggal lebih 16 ribu, termasuk dari tenaga medis.
-
Apa tugas Ahmad Sahroni di Pilgub DKI Jakarta? Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus akhirnya menunjuk Bendahara Umum (Bendum) Partai NasDem, Ahmad Sahroni sebagai ketua pemenangan untuk pasangan Ridwan Kamil - Suswono di Jakarta.
-
Siapa KH Ahmad Hanafiah? KH Ahmad Hanafiah menjadi salah satu sosok paling berpengaruh di Kota Lampung yang juga seorang ulama berpengaruh di sana.
-
Siapa Syekh Ibrahim Asmoroqondi? Pria bernama asli Syekh Ibrahim as-Samarqandi ini disebut Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro dalam Babad Tanah Jawi.
-
Siapa Aipda Purnomo? Purnomo tercatat sebagai anggota kepolisian Polres Lamongan.
-
Siapa Syekh Nurjati? Syekh Maulana Idhofi Mahdi Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati menjadi tokoh penyebar Agama Islam yang berpengaruh di sekitar abad ke-14.
-
Kapan Adi Suryanto meninggal? Kabar duka datang dari salah satu instansi pemerintah, Lembaga Administrasi Negara (LAN). Kepala LAN, Prof Dr. Adi Suryanto, meninggal dunia di Yogyakarta pada Jumat (15/12).
"Bila kita cermati, penanganan Covid-19 sejak awal kurang terantisipasi dengan baik oleh pemerintah, di awal malah sering menjadi bahan candaan," kata dia saat berorasi dalam Munas PKS kelima di Mason Pine, Kabupaten Bandung Barat, Minggu (29/11).
Dia kemudian melihat kepanikan pemerintah saat kasus makin tinggi. Di sisi lain, manajemen krisis yang dilakukan lebih mengedepankan masalah ekonomi ketimbang masalah kesehatan.
Kebijakan antar kementerian dianggap kurang terkoordinasi dengan baik. Kebijakan antar pemerintah pusat dengan daerah pun tidak jauh berbeda. Padahal seharusnya pemerintah pusat menjadi dirijen yang mampu mengkoordinasikan dan mensinkronkan berbagai pemangku kepentingan untuk penanganan pandemi.
"Malah sering terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah. Tentu ini semua terjadi karena lemahnya kepemimpinan. Dampaknya, sampai hari ini Indonesia tercatat dengan negara dengan angka kematian akibat covid tertinggi di ASEAN dengan presentase 3,3 persen," terang dia.
Dampak selanjutnya dari kelemahan kepemimpinan, Indonesia masuk ke jurang resesi. Akibatnya, kesejahteraan menurun, angka kemiskinan meningkat, pengangguran naik tajam, ketimpangan semakin lebar.
Dia mengutip data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pengangguran periode Agustus 2020 sudah mencapai 9,77 juta orang atau naik 2,67 juta orang. Angka ini dikhawatirkan terus meningkat bila pandemi Covid-19 terus berlanjut dan pemerintah saat ini tidak mampu mengelola dan membangkitkan perekonomian negara.
"Krisis selanjutnya adalah krisis demokrasi, hal itu terjadi karena penegakan hukum tebang pilih lembaga negara tidak berjalan sesuai tugas dan fungsinya, ruang kebebasan sipil semakin menyempit, tindakan represif semakin masif dan partisipasi masyarakat semakin tersingkir," tegas dia.
Dia mengutip data KontraS, pada Oktober 2020 kehidupan demokrasi di Indoneisa dalam satu tahun terakhir pada aspek kebebesan sipil telah terjadi sebanyak 158 peristiwa pelanggaran. Artinya, kata dia, ada pembatasan dan serangan terhadap kebebasan sipil.
"Negara telah berupaya mempersempir ruang kebebasan dan membatasi hak warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat. Padahal hal itu sudah dijamin oleh UUD tahun 1945."
Kritik UU Cipta Kerja
Dalam kesempatan itu, Syaikhu pun mengkriktisi pembahasan UU Cipta kerja yang dinilai banyak merugikan masyarakat dan menuai banyak protes.
UU cipta kerja yang niat awalnya menciptakan lapangan pekerjaan dan menumbuhkan iklim investasi, namun pada hakikatnya justru berpotensi merugikan buruh, merusak lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian pada aspek fundamental lainnya.
"Proses legislasi dalam UU Cipta Kerja juga cacat secara formil, tidak banyak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, bahkan saat reses pun dipaksakan untuk terus melakukan rapat rapat karena ingin kejar tayang menyelesaikan RUU ini," kata dia.
"Tentu Kita bertanya, UU Ciptaker yang disahkan ini sebenarnya untuk kepentingan siapa, rakyat mana yang diwakili kepentingannya dan terpenuhi hak dasarnya oleh UU ini, ini pertanyaan yang sering muncul," ucapnya.
Jokowi: Penanganan Covid Tidak Buruk
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia tidak buruk jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga memiliki jumlah penduduk besar.
"Saya bisa mengatakan penanganan Covid-19 di Indonesia tidak buruk, bahkan cukup baik," kata Jokowi sebagaimana pernyataan yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden, yang dikutip di Jakarta, Sabtu (3/10).
Presiden menyampaikan hal-hal tersebut dan upaya keras yang dilakukan untuk menangani pandemi dengan menjaga keseimbangan di tiap aspeknya hendaknya membuat seluruh pihak untuk tidak kehilangan harapan dan tetap menjaga optimisme bahwa Indonesia dapat segera melalui tantangan besar ini.
"Ini harus kita ambil hikmahnya agar kita juga tetap optimistis dan tidak kehilangan harapan. Sekali lagi saya tegaskan, kita harus optimistis," kata Presiden.
Lebih jauh Presiden juga kembali menekankan bahwa saat ini kesehatan masyarakat tetap menjadi prioritas utama pemerintah.
"Kesehatan masyarakat, kesehatan publik, tetap nomor satu, tetap yang harus diutamakan. Ini prioritas," kata dia.
Beriringan dengan prioritas tersebut, pemerintah juga mengeluarkan tindakan untuk meminimalkan dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi.
Kepala Negara menekankan menjadikan kesehatan masyarakat sebagai prioritas bukanlah berarti harus mengorbankan aspek ekonomi, apalagi bila hal itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat luas.
"Jika kita mengorbankan ekonomi, itu sama saja dengan mengorbankan kehidupan puluhan juta orang. Ini bukan opsi yang bisa kita ambil. Sekali lagi, kita harus mencari keseimbangan yang pas," ujar Jokowi.
Survei Kepuasan Publik
Survei Indikator Politik Indonesia memperlihatkan persepsi publik masih puas terhadap kinerja pemerintah pusat dalam menangani pandemi Covid-19. Pada survei Indikator Mei 2020, tingkat kepuasan masyarakat mencapai 56,4 persen. Responden yang menyatakan tidak puas sebesar 31,3 persen.
Dibandingkan dengan survei Indikator pada Februari 2020, terjadi penurunan kepuasan masyarakat terhadap bagaimana pemerintah mengambil langkah kebijakan menghadapi pandemi Covid-19. Survei Februari 2020 ini dilakukan sebelum kasus Covid-19 mulai ramai di Indonesia.
Pada Februari 2020, tingkat kepuasan publik mencapai 70,8 persen. Sementara yang tidak puas hanya 11,6 persen.
"Kepuasan publik dengan langkah-langkah pemerintah dalam pencegahan penyebaran corona masih mayoritas, tapi menurun signifikan dibanding tiga bulan sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparan survei secara daring, Minggu (7/6).
Sedangkan, kepuasan publik terhadap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 cukup tinggi. Sebesar 63,7 persen menyatakan puas, 25,6 persen menyatakan tidak puas.
"Mayoritas publik cukup atau sangat puas atas kinerja Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di bawah pimpinan Doni Monardo," jelas Burhanuddin.
Dibanding dengan persepsi kinerja presiden secara keseluruhan, persentase kepuasan terhadap cara penanganan Covid-19 terbilang lebih rendah.
Tingkat kepuasan kinerja Presiden Jokowi pada Mei 2020 mencapai 66,5 persen. Meski terjadi penurunan pada dari Februari 2020 yang berada di angka 69,5 persen.
Survei Indikator Politik Indonesia ini dilaksanakan pada 16-18 Mei 2020. Survei dilakukan melalui kontak telepon kepada responden. Survei ini mengambil 1.200 responden yang terdistribusi secara acak dari seluruh Indonesia. Survei memiliki metode simple random sampling dengan margin of error sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.