Seri Revolusi Mental (3): Modal kita adalah manusia
Dulu, mau tidak mau, orang harus bekerja untuk makan.
Zaman dahulu kala, ketika ilmu ekonomi belum berkembang, belum pula dikenal angka pengangguran. Dulu, mau tidak mau, orang harus bekerja untuk makan. Paling tidak, ia harus memungut makanan yang ada di hutan. Kalau tidak bekerja, ia akan mati. Jadi, bekerja adalah upaya bertahan hidup.
Barulah di masyarakat modern, manusia punya kemewahan untuk menganggur. Kebutuhan hidupnya dapat ditanggung orang-orang lain yang produktivitasnya melebihi konsumsi. Ada subsidi silang. Namun, bila tingkat pengangguran terlalu tinggi, ongkos kebutuhan hidup masyarakat akan terasa berat untuk ditanggung hanya mereka yang bekerja.
Seorang ekonom pernah mengatakan bahwa anak muda Indonesia tidak punya kemewahan untuk menganggur. Mereka harus bekerja untuk bertahan hidup. Akibatnya, di negara kita, sektor informal berkembang luas. Pedagang kaki lima menjamur di mana-mana. Itulah gambaran manusia-manusia yang berupaya bertahan hidup.
Dalam kondisi apapun, manusia adalah modal utama suatu bangsa. Sebodoh apapun manusia-manusia itu, mereka memiliki kemampuan untuk bekerja, untuk produktif, meski tingkat produktifitasnya rendah. Karena itu, mengatakan modal utama bangsa kita adalah kekayaan alam sesungguhnya keliru. Alam tidak akan membawa manfaat bilamana tidak melibatkan campur tangan manusia.
Sekarang, bayangkan bilamana manusia Indonesia pandai-pandai, sehat-sehat, pekerja keras, pantang menyerah. Produktivitas mereka akan tinggi sekali. Kerja mereka akan menghasilkan kekayaan yang melimpah bagi bangsa kita.
Ketika masih di era penjajahan, ada keraguan soal kemampuan kita menjadi bangsa merdeka. Waktu itu, tingkat buta huruf di atas 95 persen. Kondisi kesehatan buruk sekali. Hanya segelintir anak negeri yang mengenyam pendidikan tinggi. Bagaimana bisa kita mengatur suatu negara yang rakyatnya bodoh-bodoh? Apakah kita memiliki cukup aparatur untuk mengelola negara seluas Nusantara?
Para pemimpin bangsa waktu itu tidak ambil pusing. Mereka optimis saja bahwa kita akan mampu menjadi bangsa mandiri. Kenyataannya memang demikian. Kita berhasil tumbuh menjadi bangsa yang semakin lama semakin kuat dan sejahtera.
Di tahun 1950-an, ketika kondisi politik mulai stabil, pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Ketika itu, berdiri cikal bakal Pertamina. Kepada Ibnu Sutowo (Direktur Utama Pertamina waktu itu), Bung Hatta berpesan : Manfaatkan kekayaan minyak yang ada di tanah Nusantara untuk membiayai pendidikan dan kesehatan rakyat. Pertamina menjadi agen pembangunan yang bertugas mengubah kekayaan alam menjadi kekuatan sumberdaya manusia Nusantara.
Para proklamator sudah sadar, modal utama kita sesungguhnya adalah manusia. Karenanya, uang yang sedikit sekalipun langsung dimanfaatkan untuk mendidik dan menyehatkan anak bangsa. Di era tahun 50-an itu sekolah-sekolah dibangun. Bung Karno memimpin sendiri gerakan memberantas buta huruf. Di era itu pula universitas-universitas didirikan.
Di awal era Orde Baru, Indonesia mulai memiliki lulusan universitas dalam jumlah melimpah. Mereka itulah yang menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi di era 70, 80 dan 90-an. Sayangnya, di era ini, salah satu bagian penting dalam pembangunan manusia produktif diabaikan. Mental bangsa rusak akibat rezim otoriter dan budaya korupsi. Manusia Indonesia menjelma menjadi penuh ketakutan, rakus, oportunis, penjilat, sadis dan sejenisnya. Manusia Indonesia tega memakan manusia Indonesia lainnya, saudara sebangsanya sendiri.
Mentalitas itulah yang harus kita rombak dengan Revolusi Mental. (Taufik Anwar - mahasiswa Pascasarjana Studi Pembangunan, relawan Generasi Optimis)