Soal RUU Pemilu, Pemerintah Diingatkan Sikapnya saat Ngotot Gelar Pilkada 2020
Pangi menyinggung sikap kukuh pemerintah ingin gelar Pilkada 2020 agar tak ada plt. Sementara, jika mengacu UU Pilkada saat ini, akan ada banyak kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023.
Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago, menilai aneh dengan sikap pemerintah yang menolak revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dia mengungkit sikap pemerintah yang justru mendukung digelarnya Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19.
"Sikap ini tentu di luar nalar logika berpikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri, terutama saat publik meminta Pilkada serentak 2020 ditunda," tulis Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting melalui pesan singkat diterima, Senin (1/2).
-
Apa itu Pemilu? Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat pemilu adalah suatu proses atau mekanisme demokratis yang digunakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan cara memberikan suara kepada calon-calon yang bersaing.
-
Apa arti Pemilu? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa yang dimaksud dengan Pemilu? Pemilu adalah proses pemilihan umum yang dilakukan secara periodik untuk memilih para pemimpin dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
-
Kenapa AHY meminta revisi UU Pemilu menjadi prioritas? Ini sebuah concern bersama yang harus kita kawal. Jadi nanti kalau sudah tenang semuanya, bersama teman teman fraksi DPR RI ke depan kita bicara bagaimana kita memperbaiki sistem pemilu. Sebelum bicara perubahan undang-undang yang lain bicarakan ini dulu
-
Apa tujuan utama dari Pemilu? Tujuan utama dari pemilu adalah menciptakan wakil-wakil yang dapat mencerminkan aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai masyarakat.
Salah satu poin krusial revisi UU Pemilu yakni normalisasi Pilkada. Dalam UU itu, Pilkada 2022 dan 2023 tetap digelar. Sementara UU Pilkada saat ini, pemilihan kepala daerah digelar serentak dengan pemilu nasional pada 2024.
Pangi menyinggung sikap kukuh pemerintah ingin gelar Pilkada 2020 agar tak ada plt. Sementara, jika mengacu UU Pilkada saat ini, akan ada banyak kepala daerah yang habis masa jabatannya.
"Plt tidak boleh mengambil kebijakan strategis karena situasi pandemi yang mengharuskan pejabat daerah mengambil kebijakan strategis," kenang Pangi terkait alasan penolakan penundaan Pilkada 2020.
Sebagai informasi, pada tahun 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini adalah hasil pilkada 2017 dan 2018, artinya akan ada 272 plt yang akan menduduki posisi kepala daerah.
Pangi menyinggung pemerintah sedang amnesia. Sebab, begitu cepat melupakan argumentasi yang pernah digunakan untuk tetap melaksanakan Pilkada di tahun 2020. Tapi sekarang menolak rencana Pilkada 2022 dan 2023 dalam revisi UU Pemilu.
"Argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak di tahun 2022 dan 2023? Bagaimana mungkin secara akal sehat pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024?" heran dia.
Pangi meyakini, jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi undang-undang pemilu terutama yang berkaitan dengan keserentakan ini, maka publik layak curiga kepentingan apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan.
"Jika jalan ini dihambat maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt," curiga Pangi.
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar menegaskan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tetap konsisten agar Pilkada Serentak dilakukan pada 2024. Dia menjelaskan hal tersebut sudah tertulis pada amanat dan konsisten pada Undang-Undang yang ada.
"Oleh karenanya, mestinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetap sesuai dengan UU yang ada, yaitu dilaksanakan serentak di seluruh wilayah negara indonesia pada tahun 2024," kata Bahtiar dalam pesan singkat, Senin (1/2).
"Jadi posisi kami terhadap wacana tersebut bahwa mari kita menjalankan UU yang ada sesuai dengan amanat UU itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat 8, Pilkada serentak kita laksanakan di tahun 2024," tambah Bahtiar.
Bahtiar menjelaskan dalam Undang-Undang nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota merupakan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015. Dalam perubahan tersebut, kata Bahtiar di antaranya mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula dilaksanakan pada 2020 menjadi 2024. Perubahan tersebut, kata dia bukanlah tanpa dasar, melainkan telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.
"Nah oleh karenanya, kami berpendapat bahwa UU ini mestinya dijalankan dulu, tentu ada alasan-alasan filosofis, ada alasan-alasan yuridis, ada alasan sosiologis, dan ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024," ungkap Bahtiar.
Dia menjelaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 pasal 201 ayat 5 disebutkan bahwa pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2020. Kemudian, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dalam pasal 201 ayat 8 menjelaskan pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Berdasarkan hal tersebut, Bahtiar menjelaskan pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun 2024 merupakan amanat UU yang perlu dilaksanakan, dan dievaluasi usai pelaksanaannya. Sehingga evaluasi tersebut dapat menjadi dasar dalam menentukan apakah revisi perlu dilakukan atau tidak.
"UU tersebut mestinya dilaksanakan dulu, nah kalau sudah dilaksanakan nanti tahun 2024, dievaluasi , hasil evaluasi itu lah yang menentukan apakah UU Nomor 10 tahun 2016 itu harus kita ubah kembali atau tidak, nah tetapi mestinya kita laksanakan dulu," ungkap Bahtiar.
Reporter: Nanda Perdana Putra
Sumber: Liputan6.com
Baca juga:
Bicara Hak Rakyat, NasDem Tolak Isyarat Jokowi dan Tetap Dukung RUU Pemilu
Ketum PAN Bersyukur Jokowi Tolak Revisi UU Pemilu
PKB Usul Perhitungan Suara Tak Selesai di Hari Pencoblosan Agar Tak Seperti 2019
PKS Heran Jokowi Ngotot Gelar Pilkada 2020, Tapi Tak Setuju 2022 dan 2023
Beda Sikap Jokowi Terhadap Pilkada 2020 dan Pilkada 2022-2023