Wiranto: Camat saja minimal S1, masa presiden SMA
Wiranto juga ingin UU Pilpres yang mengatur tentang Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen direvisi.
Revisi Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) belum menemukan titik temu di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Penyebabnya, sejumlah fraksi besar di DPR menolak melakukan revisi dalam UU Pilpres.
Sementara fraksi kecil, tetap ngotot untuk melakukan revisi terhadap UU yang dinilai dapat menjegal capres dan cawapres potensial yang akan diusung partai kecil.
Partai Hanura adalah salah satu partai yang keras meminta agar UU Pilpres segera direvisi. Revisi dilakukan sebagai salah satu bentuk untuk memunculkan capres alternatif di pemilu tahun depan.
"Dibutuhkan pemimpin yang punya kompetensi, pengalaman, knowledge, pengetahuan, perilaku terpuji dan kekuatan spiritual yang baik. Kalau rumusan UU Capres ini dibahas setengah hati, kita khawatir dengan peraturan undang-undang yang tidak sehat akan melahirkan pemimpin yang tidak sehat," ujar Ketua Umum Partai Hanura Wiranto di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/9).
Wiranto menjelaskan, UU Pilpres mengatur tentang Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen. Aturan itu yang menurut dia, harus direvisi karena aturan tersebut mengebiri hak politik rakyat yang ingin maju sebagai capres dan cawapres.
"Kalau ada PT sekian persen, ini akan menghambat, mengebiri hak-hak politik rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas, pemimpin perubahan. Kalau dibatasi dengan UU, akan membatasi pilihan rakyat dan orang-orang yang punya kompetensi untuk calonkan diri, ini yang saya bilang tidak adil," imbuhnya.
Selain itu, Wiranto juga mengritisi aturan dalam UU Pilpres saat ini yang menyatakan jika capres dan cawapres boleh saja lulusan SMA. Dia menambahkan, jika capres harusnya minimal berpendidikan S1.
"Kita hanya menyayangkan saja. Harus ada persyaratan capres intelek yang dibenarkan dengan sistem pendidikan kita. Camat saja minimal S1, masa presiden SMA. Seorang presiden yang akan membawa 240-an juta rakyat, tanggung jawabnya besar. Harus bisa hadapi fenomena global, itu butuh pengetahuan, tak mungkin tanpa itu," tegas dia.