Puasa dan misi emansipasi sosial
Puasa mengajak manusia untuk dapat menahan diri dari gaya hidup egoistik, hedonistik.
Sebagian besar orang mungkin memandang Ramadan sebagai bulan yang mewajibkan muslim berpuasa. Hal ini mengakibatkan makna puasa kemudian terjatuh menjadi sebatas rutinitas belaka.
Puasa kemudian menjadi kehilangan makna hakikinya, sebagai implementasi misi profetik. Misi emansipasi sosial yang terkandung dalam puasa menjadi terabaikan.
"Hendaknya praktik keberagamaan seseorang pada akhirnya memberikan arah serta motivasi untuk meningkatkan pengabdian sosial, mengangkat harkat hidup masyarakat," tulis Cendekiawan Islam Komaruddin Hidayat seperti dikutip dalam bukunya berjudul 'The Wisdom of Live: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama'.
Komaruddin menjelaskan, puasa melatih manusia untuk tidak terjatuh pada gaya hidup egoistik dan hedonistik. Puasa justru ingin mengajak manusia mengapresiasi makna sukses yang tidan dibatasi oleh kenikmatan fisikal saja, melainkan sekaligus sukses moral dan spiritual yang berdimensi sosial.
"Ibadah puasa tidak hanya diyakini sebagai amal saleh untuk kepentingan hidup di akhirat, tetapu juga menghendaki kesalehan sosial di dunia ini," terang Komaruddin.
Selanjutnya, Komaruddin menjelaskan, puasa mengandung pesan yang begitu besar artinya bagi terwujudnya masyarakat madani. "Dia memiliki pesan dan kekuatan emansipatoris bagi mereka yang tertindas, kalau saja makna dan pesan yang terkandung di dalamnya dihayati dan diaktualisasikan secara saksama," ungkap dia.
Kemudian, terang Komaruddin, secara psikologis Ramadan merupakan bulan interupsi atas rutinitas hidup. Bulan ini hendak membebaskan sejenak manusia dari berbagai aktivitas yang bersifat mekanistik.
"Interupsi itu antara lain berupa penjungkirbalikan jadwal kehidupan, terutama yang berkenaan dengan pemenuhan nafsu sebagai kebutuhan, yang responsif waktunya amat pendek dan kenikmatannya bersifat sesaat," terang komaruddin.