Kisah Pemberontakan Batipuh 1841, Dampak Sistem Tanam Paksa Terhadap Rakyat Pantai Barat Sumatera
Pemberontakan ini sebagai bentuk reaksi rakyat terhadap sistem tanam paksa oleh Belanda.
Pemberontakan ini sebagai bentuk reaksi rakyat terhadap sistem tanam paksa oleh Belanda.
Kisah Pemberontakan Batipuh 1841, Dampak Sistem Tanam Paksa Terhadap Rakyat Pantai Barat Sumatera
Penegakan sistem tanam paksa di Nusantara oleh pemerintah Belanda tentu memberikan dampak buruk bagi warga Pribumi. Mereka dituntut untuk menanam komoditas yang sudah ditentukan namun mendapat upah yang tidak sepadan. (Foto: Pixabay)
-
Apa yang menjadi bukti perluasan kekuasaan Belanda di Sumatra Barat? Tak hanya menjadi saksi Perang Padri, Benteng de Kock juga menjadi bukti bahwa Belanda telah menduduki tanah Sumatra Barat yang meliputi Bukittinggi, Agam, dan Pasaman.
-
Bagaimana Belanda menguasai wilayah Batak? Sistem baru ini mengubah cara Belanda dalam menguasai daerah dengan menerapkan kolonialisme dan imperialisme dengan melakukan politik ekspansi. Pax Netherlandica ini dilakukan dalam penguasaan di tanah Batak. Selain menguasai wilayah, Belanda pun juga membawa pengaruh budaya baru, yaitu penyebaran agama kristen yang tergabung dalam gerakan Rijnsche Zending dan tokoh penyebarannya yaitu Nommensen.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Siapa yang menceritakan tentang masa penjajahan Belanda di Kampung Gantungan Sirah? Wardiman, salah seorang warga Kampung Gantungan Sirah, mengatakan bahwa kini nama kampung itu sudah diganti dengan nama “Gunung Sari”. Ia mengatakan, saat masih bernama “Gantungan Sirah”, di kampung itu sering terjadi warga yang bunuh diri dengan cara gantung diri. Wardiman bercerita, waktu zaman penjajahan Belanda, lokasi kampung itu digunakan sebagai tempat para tentara Belanda melakukan kekerasan terhadap warga pribumi. Mereka melakukan eksekusi terhadap para warga dengan digantung kepalanya.
-
Kapan Belanda mulai menata pemerintahan di Aceh Timur setelah perang tahun 1873? Sejak saat itu, pihak Belanda mulai menata kembali pemerintahan secara keseluruhan di wilayah ini.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
Lebih dari itu, sistem tanam paksa ini juga menjadi bagian dari diskriminasi hingga pelanggaran HAM yang cukup berat. Di wilayah Pantai Barat Sumatera, penerapan cultuurstelsel ini mendapatkan perlawanan dari rakyat Pribumi pada tahun 1841 silam.
Dianggap merugikan dan bertindak semena-mena, reaksi rakyat terhadap pemerintah Belanda ini dipimpin langsung oleh Tuan Gadang. Pihak Belanda pun turut menurunkan pasukan di bawah pimpinan Kolonel Michiels.
Sesaat Setelah Perang Paderi
Berakhirnya Perang Paderi membuat Tuan Gadang yang sebelumnya menjabat sebagai Regent oleh Belanda pun meminta agar diakui sebagai Raja Pagaruyung. Namun, permintaan Tuan Gadang ini ditolak mentah-mentah oleh mereka.
Situasi ini semakin memanas setelah adanya perubahan sistem adminsitrasi di Minangkabau serta adanya penerapan Cultuurstelsel. Momen ini menjadi pemantik terjadinya konflik antara rakyat Pribumi dan pemerintah Hindia Belanda.
Rakyat Batipuh pun memutuskan untuk angkat senjata tepat pada 22 Februari 1841 yang dipimpin langsung oleh Tuan Gadang.
Perlawanan ini semakin hari semakin menyebar hingga menyerang pos garnisun milik tentara Belanda di Guguk Melintang, Padang Panjang.
Siapakah Tuan Gadang?
Dikutip dari berbagai sumber, Tuan Gadang ini adalah kebesaran untuk seorang penghulu yang ada didalam struktur pemerintahan Pagaruyung. Ada yang menyebut jika Tuan Gadang ini adalah seseorang dari Basa Ampek Balai atau pembantu raja.
Namun, ada versi lainnya jika Tuan Gadang bukan termasuk dari golongan Basa Ampek Balai, melainkan seorang panglima perang dari Raja Pagaruyung. Sehingga tidak diketahui pasti nama atau sosok seorang Tuan Gadang yang memimpin perang di Batipuh ini.
Rakyat Melawan
Konflik ini dimulai ketika seorang sersan yang berada di Tangsi melihat kebakaran besar dan terdengar suara teriakan dari penduduk Padang Panjang. Sersan Holij pun melaporkan kejadian ini kepada komandannya.
Di saat bersamaan, Sersan Mayor JG. Schelling melaporkan jika dari luar benteng banyak pasukan bersenjata yang menyelinap. Mereka pun terjebak dan kesulitan untuk melarikan diri karena sudah terlambat.
Mereka pun tidak bisa berbuat apapun, para pasukan bersenjata yang diduga rakyat Batipuh ini berhasil menguasai benteng dan mengalahkan Garnisun pimpinan Letda JB. Panzer.
Dikepung Habis-habisan
Para prajurit Belanda pun kewalahan. Benteng mereka sudah disusupi orang-orang bersenjata. Schelling dan beberapa prajurit lainnya terluka parah akibat serangan kelewang dan tombak yang menghujam tubuhnya.
Mereka pun panik, situasi benteng sudah memanas, banyak korban berjatuhan dan api membara dimana-mana. Sebagai reaksi, Belanda pun mengirimkan Kolonel Michiels bersama pasukannya untuk melawan rakyat Batipuh.
Pihak Belanda pun akhirnya mendirikan sebuah tugu bernama Monumen Batipuh pada tahun 1920 untuk memperingati gugurnya sejumlah tentara Belanda.