3 Tantangan yang Dihadapi Industri FMCG di Era E-commerce
McKinsey memprediksikan bahwa pada tahun 2022, nilai pasar e-commerce di Indonesia akan mencapai USD 65 miliar atau sekitar Rp 948 triliun. Adanya e-commerce mengubah proses bisnis seluruh industri. Termasuk juga industri Fast-Moving Consumer Goods (FMCG).
McKinsey memprediksikan bahwa pada tahun 2022, nilai pasar e-commerce di Indonesia akan mencapai USD 65 miliar atau sekitar Rp 948 triliun. Adanya e-commerce mengubah proses bisnis seluruh industri. Termasuk juga industri Fast-Moving Consumer Goods (FMCG).
Meski begitu, bukan berarti tiada tantangan yang akan dihadapi oleh industri FMCG. SIRCLO, sebuah layanan penyedia solusi e-commerce, dalam keterangan persnya, Minggu (3/2), menyebutkan ada tiga tantangan yang harus diselesaikan.
-
Apa perbedaan utama antara e-commerce dan marketplace? Meskipun keduanya seringkali digunakan secara bergantian, namun sebenarnya ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya.
-
Siapa yang melakukan riset tentang kepuasan berbelanja online di e-commerce? Melihat situasi pasar digital di awal tahun 2024 yang terus bergerak mengikuti perkembangan kebutuhan dan preferensi masyarakat, IPSOS melakukan riset dengan tajuk ”Pengalaman dan Kepuasan Belanja Online di E-commerce”.
-
Kenapa Hari Jomblo di Tiongkok menjadi Hari Belanja Online? Seperti halnya Hari Valentine di Amerika Serikat yang dianut oleh Hallmark, Hari Jomblo di Tiongkok juga dikooptasi oleh raksasa e-commerce Alibaba pada tahun 2009 dan diubah menjadi hari belanja online besar-besaran.
-
Siapa yang membangun bisnis melalui marketplace? Selain itu, penjual bisa secara independen membangun bisnisnya melalui fasilitas yang ada di platform ini.
-
Kenapa Jack Ma memulai bisnis e-commerce? Berkat kesabarannya, Ma bersama rekannya memberanikan diri untuk memulai bisnis di bidang e-commerce pada tahun 1999 silam.
-
Kenapa bisnis baju bekas impor dilarang di Indonesia? Presiden Jokowi mengungkapkan bisnis baju bekas impor ilegal sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Pertama, bisnis FMCG akan kesulitan untuk membangun keterampilan baru karena keterbatasan sumber daya manusia dan finansial. Misalnya, ketika usaha ritel hendak beralih ke kanal penjualan secara digital, maka dibutuhkan karyawan yang memahami infrastruktur informatika dan teknologi.
Padahal, tidak semua pelaku usaha memiliki modal dan pembiayaan untuk melakukan perekrutan secara permanen. Tantangan inilah yang membuat Brian Marshal mencetuskan ide untuk mendirikan SIRCLO Commerce.
"Kami ingin membantu para pelaku usaha FMCG untuk memanfaatkan sistem yang efisien dan lebih terjangkau. Dengan begitu, mereka dapat menekan biaya operasional dan mendorong pertumbuhan transaksi," ungkap Brian, Founder dan CEO SIRCLO.
Kedua adalah kehadiran banyaknya kanal penjualan online, mulai dari website sendiri hingga platform marketplace, banyak brand yang kewalahan dalam menjalankan hal-hal administratif. Untuk membantu brand menangani tantangan tersebut, Brian memperlebar layanan yang ditawarkan oleh SIRCLO Commerce.
"Banyak pelaku usaha FMCG yang kewalahan menghadapi pesanan, pertanyaan pembeli, sampai manajemen stok. Karena itu, kini SIRCLO Commerce turut membantu mereka dalam menangani hal-hal operasional penjualan, seperti manajemen gudang, pengelolaan pemesanan, hingga pengiriman barang sampai ke tempat tujuan," kata Brian.
Dengan begitu, pelaku usaha dan karyawan inti perusahaan dapat berfokus untuk melakukan keahlian mereka, yaitu inovasi produk. Sistem otomatis dari SIRCLO sangat menghemat waktu dan tenaga, agar kegiatan operasional dapat berjalan dengan lebih lancar dan efisien.
Layanan komprehensif dan terintegrasi yang disediakan oleh SIRCLO menjadi populer di kalangan pelaku bisnis FMCG yang hendak berkiprah di industri e-commerce.
"Ketika Reckitt-Benckiser memutuskan untuk terjun di industri e-commerce, kami mencari partner bisnis yang memiliki pengalaman dan dapat membantu kami dalam pengoperasiannya. Saya senang bisa bekerja sama dengan SIRCLO Commerce, karena mereka sangat fokus, memahami daya jual produk dan brand, serta responsif," kata Rudy Adrian, Head of e-Commerce dari Reckitt Benckiser Indonesia.
Kemudian ketiga, tanpa kompilasi data tentang konsumen, bisnis FMCG tidak bisa memaksimalkan strategi penjualan di berbagai platform digital. Dengan portofolio klien dari berbagai sektor, SIRCLO memiliki kekuatan insight yang dapat dimanfaatkan untuk strategi pemasaran dan komunikasi.
Misalnya, pada periode Agustus 2018-Januari 2019, sepuluh produk paling laris dalam SIRCLO Commerce adalah di kategori kosmetik dan kecantikan; makanan dan minuman; serta perlengkapan rumah. Laporan SIRCLO juga mengungkapkan bahwa pembelian online paling banyak dilakukan di hari Sabtu (23 persen) dan Minggu (25 persen).
Dengan mengakses data-data seperti ini, maka bisnis FMCG bisa membuat kampanye atau promosi yang sesuai. Misalnya, dengan menawarkan diskon atau cashback pada akhir pekan, sehingga orang akan semakin tertarik untuk membeli.
Data dan fakta ini menjadi kunci penting agar bisnis FMCG dapat memahami preferensi konsumen dan selalu memberikan tawaran yang sesuai. Penjual juga bisa memprediksi saat yang tepat untuk melakukan pengisian stok barang dan variasi produk yang ingin ditawarkan.
(mdk/faz)