Ketika teknologi digunakan untuk curangi sistem pendidikan
Aksi perjokian sampai menyontek dengan bantuan teknologi kerap terjadi dan merupakan tamparan bagi dunia pendidikan.
Semua hal ciptaan manusia pasti memiliki sisi positif dan negatif. Hal tersebut juga berlaku pada teknologi. Bagaimana teknologi berikan pengaruh negatif pada sisi pendidikan?
Diakui atau tidak, setiap kali ada ujian masuk ke suatu universitas atau kampus ternama, ada saja kasus perjokian yang terjadi. Apabila di waktu dulu sebelum teknologi secanggih sekarang ini, perjokian dilakukan dengan cara manual. Namun, kini dengan bantuan teknologi, semuanya dapat dilakukan.
Salah satu kasus adalah yang terjadi pada tahun 2012 lalu. Menurut informasi yang diterima merdeka.com, sedikitnya ada 43 peserta ujian masuk (UM) Fakultas Kedokteran Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta diduga terlibat praktik perjokian.
Puluhan peserta ujian itu diketahui telah membawa alat komunikasi yang terkoneksi dengan operator, saat mengikuti ujian Tes Potensi Akademik (TPA) dan Bahasa Inggris, di Kampus UGM, Bulak Sumur, Sleman, Yogyakarta.
Kasatreskrim Polres Sleman, AKP Widy Saputro mengatakan bahwa penggunaan alat untuk menyontek oleh calon mahasiswa tersebut berupa ponsel yang ditempelkan di badan dan dihubungkan melalui headset.
Tidak hanya menggunakan perangkat elektronik yang ditempelkan di tubuh saja, ada pula modus yang menggunakan banyak alat lainnya, seperti kamera pada kancing baju, bolpoin dan bros sampai dengan alat komunikasi itu dibalut dengan bungkus penghapus.
Tentunya dengan penyalahgunaan teknologi untuk tujuan yang kurang baik terutama dalam hal pendidikan ini apapun alasannya tidak diperkenankan.
Sesaat setelah munculnya kasus perjokian di UGM tersebut, pada tahun 2012 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan bahwa penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan (perjokian) merupakan pelanggaran akademik yang luar biasa.
Ternyata tidak hanya untuk kasus perjokian dan di Indonesia saja, kasus yang hampir serupa yaitu hanya bertaraf ujian umum di Bangladesh juga dicoreng dengan aksi contek-menyontek dengan bantuan teknologi, tepatnya dengan memakai jam tangan digital yang terintegrasi dengan ponsel.
Bahkan, untuk ukuran negara maju seperti Inggris saja, kasus serupa juga pernah terjadi. Pada tahun 2010 lalu banyak kasus kecurangan dalam ujian sekolah dan saran yang digunakan adalah perangkat komunikasi yang telah dimodifikasi.
Tentunya sangat disayangkan apabila teknologi yang sebenarnya dibuat untuk membantu meringankan aktivitas dan kerja manusia (dalam hal yang positif) harus digunakan dalam hal yang kurang pantas, apalagi dalam dunia pendidikan.
Oleh karenanya, beberapa sekolah sampai universitas di luar negeri atau di Indonesia mulai melakukan pengawasan ketat agar penyalahgunaan teknologi untuk melakukan kecurangan dalam dunia pendidikan dapat diminimalisir.