Mata Uang Kripto Ternyata Tak Ramah Lingkungan, Ini Alasannya!
Mata Uang Kripto Ternyata Tak Ramah Lingkungan
Mata uang kripto, dengan Bitcoin sebagai salah satu varian paling populernya, merupakan salah satu alternatif baru dalam investasi. Keunggulannya adalah desentralisasi dan nilai tukar yang tinggi. Namun ada harga mahal yang dibayar, yakni kerusakan lingkungan.
Studi terbaru menunjukkan kalau konsumsi energi Bitcoin sangat boros luar biasa. Studi tersebut bahkan menyebut bahwa energi yang dihabiskan untuk transaksi Bitcoin tiap harinya lebih besar dari konsumsi energi negara Swiss.
-
Apa yang diamati oleh para ilmuwan? Para ilmuwan berhasil menyaksikan dua pasang lubang hitam supermasif yang hampir bertabrakan. Dua fenomena alam itu terletak jutaan hingga miliaran tahun cahaya dari Bumi.
-
Bagaimana ilmuwan menemukan dunia prasejarah ini? Saat tinggal di desa kecil di gurun tinggi dengan populasi sekitar 35 orang, para peneliti baru menemukan laguna ini setelah melihat petunjuk pada citra satelit.
-
Apa yang ditemukan para ilmuwan di permukaan Bulan? Ilmuwan mengonfirmsi penemuan gua bawah tanah di Bulan, tidak jauh dari lokasi di mana Neil Armstrong dan Buzz Aldrin mendarat 55 tahun lalu.
-
Apa yang diuji oleh ketiga ilmuwan tersebut? Mereka adalah trio ilmuwan yang berhasil memenangkan penghargaan Nobel Prize 2022 dengan jumlah hadiah sebesar 10 juta krona Swedia (USD915.000) atau Rp 14 miliar. Penghargaan tersebut diraih atas keberhasilannya dalam melakukan eksperimen mekanika kuantum dan menjelaskan titik lemah dari Teori Kuantum temuan Einstein.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
Seperti kita ketahui, penggunaan listrik berlebih berdampak negatif pada lingkungan, karena jumlah bahan bakar fosil yang digunakan untuk menghasilkan listrik juga melahirkan gas rumah kaca dan polusi udara.
Mengutip laman The Verge via Tekno Liputan6.com, peneliti dari Universitas Cambridge memperkenalkan tool online bernama Cambridge Bitcoin Electricity Consumption Index atau CBECI. Tool ini bisa memperkirakan estimasi penggunaan energi Bitcoin secara real time.
Hasil kalkulasi CBECI menunjukkan jaringan Bitcoin mengkonsumsi lebih dari 7 gigawatt listrik. Angka ini setara dengan 64 TWh (terawatt per jam), yang lebih besar dari penggunaan energi Swiss yang sebesar 58 TWh.
Ini berarti, 0,25 persen konsumsi elektrik dunia terserap oleh Bitcoin. Jika diletakkan dalam perspektif, angka ini setara dengan konsumsi energi dari heater ceret kopi elektrik di Inggris selama 11 tahun.
Memang sudah bukan hal mengejutkan kalau Bitcoin memakan banyak sumber daya listrik. Penambangan Bitcoin di seluruh dunia membutuhkan komputer canggih dengan jumlah yang tidak sedikit, dalam kondisi tak pernah mati.
Namun, angka yang dihasilkan CBECI ini belum akurat karena rentangnya tinggi, yaitu berkisar dari 22 TWh hingga 150 TWh.
Sebagai perbandingan, ada juga angka perkiraan konsumsi listrik oleh bitcoin yang dirilis oleh Digiconomist, yang memperkirakan konsumsi listriknya mencapai 70 TWh, atau 6 TWh lebih besar dari CBECI, yang mana tentu lebih mengerikan.
Di sisi lain yang luput juga dari perhitungan, adalah banyaknya penambang Bitcoin yang menggunakan jalan ilegal. Mereka bergerak dengan meretas energi subsidi pemerintah dan memanfaatkannya untuk menambang Bitcoin Tak cuma menghabis-habiskan energi, namun mereka tak harus membayar biaya listrik tersebut.
Sumber: Liputan6.com
Reporter: Athika Rahma