Mengapa Aksen Seseorang Tidak Akan Bisa Luntur? Ini Penjelasannya!
Akan sulit berbicara 'gue-lo' tapi dengan aksen Jawa.
Seringkali kita bertemu dengan seseorang dengan aksen daerah yang sangat tebal. Meski seseorang sudah bertahun-tahun merantau, aksen dari daerah asal tetap sulit untuk dihilangkan.
Bahkan seorang aktor pun kadang-kadang masih memiliki cela jika berperan menggunakan dialek tertentu.
-
Dimana tempat penelitian ini dilakukan? Bukti ini ditemukan lewat studi yang dipimpin oleh Gaia Giordano dari Universitas Milan, Italia.
-
Kapan penelitian ini dilakukan? Studi ini didasarkan pada National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 1999–2018, yang melibatkan lebih dari 17.000 wanita berusia 20 hingga 65 tahun.
-
Siapa yang memuji penelitian ini? T. Thang Vo-Doan, seorang insinyur di Universitas Queensland, Australia, yang telah bekerja secara independen pada serangga cyborg, memuji penelitian ini karena pengaturannya yang sederhana.
-
Di mana penelitian ini dilakukan? Tim peneliti dari Universitas Yonsei di Seoul, Korea Selatan, berhasil mengembangkan varietas beras hibrida yang dipadukan dengan protein daging sapi dan sel lemak.
-
Mengapa penelitian ini penting? Selain membantu memahami lebih lanjut tentang sistem cuaca unik di planet es, temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa medan magnet Neptunus dan Uranus berbeda dengan medan simetris yang dimiliki Bumi.
Menghilangkan aksen memang hal yang sulit, bahkan hampir mustahil. Meski otak kita sangat mudah dalam mengenali dan belajar aksen tertentu, hal tersebut sangat sulit ditransfer ke pembicaraan kita. Mengapa? Menurut para ilmuwan, hal tersebut sudah muncul sejak kita masih bayi, dan belum mampu bicara sepatah kata pun.
Dilansir dari Wired, para ilmuwan dari University of Washington selama berpuluh-puluh tahun telah mencari tahu bagaimana otak mempelajari bahasa. Penelitian dilakukan dengan menilai bagaimana bayi dari seluruh dunia merespon suara.
Dalam suatu penelitian yang melibatkan bayi-bayi dari berbagai suku, mereka diperdengarkan suara-suara yang kental dengan nuansa Jepang dan inggris. Pada bayi berusia 6 bulan, mereka merespon suara-suara tersebut dengan setara.
Namun menginjak 10 bulan, bayi mulai tidak mengenal suara yang tidak ada di bahasa ibunya. Seperti bayi Jepang yang tidak menghiraukan huruf "r" dan "l" yang tidak umum di bahasa Jepang, namun umum di bahasa Inggris. Kesulitan untuk mengenali bahasa hang bukan bahasa Ibu memang cepat, namun untuk mempraktikkannya, dari lahir pun sulit.
Kemampuan Berbahasa Akan Menajam
Studi lain dari grup yang berbeda, menyatakan hal yang sebaliknya. Di mana kemampuan untuk belajar bahasa tak akan tiba-tiba menghilang, justru kemampuan ini akan menajam ketika memasuki masa puber.
Setelah meneliti berbagai subjek, sang ilmuwan mendapati bahwa kemampuan seseorang dalam mempelajari bahasa kedua, berhubungan secara langsung dengan usia ketika mempelajarinya.
Kita memulai belajar bahasa dengan melihat sekitar, dan meniru orang tua, dan otak kita seakan-akan membentuk 'perpustakaan' yang membuat kita tetap fasih berbahasa.
Namun ketika kita mendengar bahasa atau dialek yang baru, otak kita menempuh proses yang sama dalam belajar, namun tetap merujuk pada 'perpustakaan' bahasa asli yang kita pelajari.
Oleh karena itu, otak kita tidak menggunakan dialek atau bahasa yang baru, hanya mengambil perkiraan kasar suara yang sudah kita mengerti di otak kita.
Hal ini adalah kinerja alamiah otak kita. Jika tidak dilatih untuk membentuk 'perpustakaan' baru di otak, seseorang bisa tinggal puluhan tahun di negara yang berbahasa asing, tanpa kehilangan aksen sedikit pun.
(mdk/idc)