Hukumnya Pasang Gigi Palsu dalam Islam, Begini Penjelasan Lengkapnya
Penggunaan gigi palsu umumnya diperlukan oleh orang yang mengalami kerusakan atau kehilangan gigi.
Kesehatan adalah anugerah dari Allah SWT yang harus dijaga dengan baik. Memiliki tubuh yang sehat membuat orang mudah menjalani berbagai aktivitas secara maksimal, termasuk dalam melaksanakan ibadah. Salah satu aspek kesehatan yang sering diperhatikan adalah kesehatan mulut dan gigi. Apabila kondisi gigi tidak baik, seperti gigi copot atau berlubang, tentu akan mengganggu kenyamanan dan kesehatan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan menggunakan implan gigi atau gigi palsu. Tindakan ini melibatkan pemasangan benda yang menyerupai gigi, baik secara permanen maupun sementara. Namun, jika gigi sudah dalam kondisi yang tidak baik dan harus menggunakan gigi palsu, penting untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini. Berikut adalah penjelasan yang dirangkum dari laman mui.or.id.
Hadis tentang Pemasangan Gigi Palsu
Pemasangan gigi palsu menjadi kebutuhan penting bagi orang yang telah kehilangan gigi, agar mereka dapat mengunyah makanan dengan baik dan mendukung proses pencernaan. Selain fungsinya dalam mengunyah, gigi juga berperan dalam berbicara dan beribadah, terutama saat membaca Al-Qur'an. Tanpa gigi, seseorang akan mengalami kesulitan dalam melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan benar. Mengenai penggunaan gigi palsu, terdapat beberapa hadis yang relevan. Salah satunya adalah hadis dari Urfujah bin As'ad RA:
"Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian, beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk menggunakan tambal hidung dari emas." (HR. An-Nasa'i 5161, Abu Daud 4232 dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Selain itu, ada hadis dari Ibn Abbas RA yang menyatakan: "Dilaknat orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit." (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lainnya, Ibn Mas'ud RA juga menyampaikan: "Rasulullah SAW melarang orang mencukur alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit." (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syu'aib Al-Arnaut).
Hadis-hadis ini menunjukkan pentingnya menjaga keutuhan tubuh dan mempertimbangkan aspek syariat dalam penggunaan gigi palsu.
Aturan tentang Penggunaan Gigi Palsu
Berdasarkan penjelasan hadis yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa upaya seseorang untuk memperbaiki dirinya diperbolehkan, terutama jika tujuannya adalah untuk pengobatan atau mengembalikan kondisi fisik yang normal. Keputusan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang mengizinkan penggantian tulang hidung yang patah dengan emas dalam situasi darurat. Hal ini serupa dengan tindakan pemasangan implan gigi atau gigi palsu untuk tujuan medis.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/15 dinyatakan bahwa, "Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa menghilangkan risiko sakit, atau melepaskannya kemudian diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena, semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan mudharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya."
Pernyataan ini menegaskan bahwa tindakan medis seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga dianggap sebagai langkah yang sah untuk mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi individu.
Gigi Palsu pada Orang Meninggal
Benda asing, dalam konteks ini gigi palsu yang terdapat pada tubuh orang yang telah meninggal, menurut pendapat para ulama tidak perlu diambil atau dilepaskan. Ketentuan ini berlaku jika keberadaan benda tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap si mayit. Dalam hal ini, benda asing tidak menyebabkan si mayit terhalang dalam amalnya atau mengalami ketidaktenangan, serta keyakinan serupa.
All-Mardawi al-Hambali menegaskan, "Dalam kitab al-Fushul dinyatakan, jika ada orang yang butuh untuk mengikat giginya dengan emas, kemudian giginya diberi kawat emas. Atau dia butuh hidung emas, kemudian dia diberi hidung emas lalu diikat, kemudian dia mati, maka tidak wajib dilepas dan dikembalikan kepada pemiliknya. Karena melepasnya menyebabkan menyayat mayat." (al-Inshaf, 2/555).
Pada dasarnya, melepas benda yang ada di tubuh mayit tidak diperbolehkan, kecuali dalam dua kondisi tertentu. Pertama, ada maslahat besar untuk mengambil benda tersebut, seperti jika benda itu bernilai tinggi atau tergolong najis. Kedua, melepas benda tersebut tidak membahayakan mayit, contohnya jika pengambilan benda tersebut tidak menyebabkan kerusakan pada jasad mayit. Jika benda yang dimaksud tidak memiliki nilai, maka tidak menjadi masalah jika benda tersebut dikubur bersama mayit, seperti gigi yang bukan terbuat dari emas atau perak, atau hidung palsu yang juga bukan dari emas. Namun, jika benda itu memiliki nilai, maka diperbolehkan untuk diambil, kecuali jika tindakan tersebut berisiko merusak tubuh mayit, misalnya jika pengambilan gigi dapat merusak rahang, maka sebaiknya gigi tersebut dibiarkan dan dikuburkan bersama mayit.