5 Masalah kelistrikan ini belum bisa diselesaikan SBY hingga Jokowi
Kelistrikan memang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Jokowi belum bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia. Saat ini, masih ada 30 juta masyarakat Indonesia masih hidup tanpa listrik.
Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah mencanangkan program 35.000 megawatt (MW) dalam lima tahun pemerintahannya. Hal ini disebabkan masih pendistribusian listrik tak berjalan optimal.
Kelistrikan memang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Jokowi belum bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia.
-
Kenapa elektabilitas Prabowo meningkat? Tingginya elektabilitas Prabowo itu terbantu dengan tingkat kepuasan kinerja terhadap Jokowi. Apalagi saat ini Gerindra dan Prabowo bagian dari pemerintahan.
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Apa tanggapan Jokowi soal rencana Prabowo menambah jumlah Kementerian? Jokowi mengaku tak memberi masukan kepada Prabowo soal penambahan kementerian.
-
Apa yang Jokowi lakukan di Lampung? Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengunjungi Lampung. Salah satu tujuan kunjungan ini untuk mengecek jalan rusak di wilayah tersebut.
Saat ini, masih ada 30 juta masyarakat Indonesia masih hidup tanpa listrik. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor energi. Mengingat, energi merupakan jendela menuju peradaban dunia.
Bahkan, Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Hendri Saparini memperkirakan Indonesia akan mengalami krisis listrik sebesar 1.000 megawatt (MW) pada tahun 2018.
"Setiap tahun, tambahan kebutuhan listrik masyarakat sekitar 5.000 MW, sementara Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mampu menyediakan pasokan listrik sekitar 4.000 MW setiap tahunnya," ujar Hendri.
Menurut dia, sampai saat ini tambahan kebutuhan listrik dari masyarakat, seperti rumah tangga, industri, usaha komersial dan umum masih melebihi pasokan dari PT PLN. Artinya, ada defisit pasokan listrik 1.000 MW per tahun. Bila tidak ada langkah nyata, Indonesia akan mengalami krisis listrik pada tahun 2018.
Kurangnya pasokan listrik membuat sebagian wilayah di Indonesia sering terkena pemadaman listrik bergilir, dan kondisi ini umumnya terjadi di luar Pulau Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Banyak mesin pabrik tidak bisa berproduksi karena tidak ada pasokan setrum.
Sementara, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pernah bercerita sejarah ketenagalistrikan di Indonesia yang mengalami pasang surut. "Di mana 50 tahun listrik umumnya di perkotaan, di pedesaan listrik menjadi sebuah kemewahan. Tapi sekarang sudah berubah sesuai zaman," kata JK.
Ini jadi bukti, masalah kelistrikan jadi penyakit kronis pemerintahan RI. Berikut ulasan merdeka.com:
Baca juga:
Jonan: Ada 2.500 desa di Indonesia Timur belum teraliri listrik
PLN kini punya Power Bank raksasa pengganti genset
Konsumsi listrik masyarakat Indonesia terendah se-Asia
2 Sirkuit Surabaya-Balaraja 500 kV perkuat kelistrikan Jawa-Bali
PLTN Bangladesh dan Vietnam bisa menjadi ancaman Indonesia
Program listrik untuk rakyat miskin telah sentuh 2.074 rumah tangga
Bos Bappenas sayangkan RI jadi pasar ekspor listrik dari Malaysia
2.500 desa belum teraliri listrik
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan mengakui saat ini terdapat 2.500 desa di wilayah Indonesia Timur yang masih belum teraliri listrik. Dari jumlah tersebut 2.300 di antaranya berada di wilayah Papua.
"Lebih dari 2.500 desa yang tidak teraliri, ini kebanyakan di wilayah Timur. Kebanyakan 2.300 desa ada di wilayah Papua," ujar Jonan dalam DBS Asian Insights Conference 2016, di Jakarta, Kamis (17/11).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kata Jonan, ESDM akan menerbitkan aturan berupa Peraturan Menteri (Permen) yang akan memberikan swasta izin untuk membangun pembangkit listrik dan menjualnya kepada masyarakat. Gardu induk yang dibangun swasta juga tidak akan menggunakan Gardu milik PLN.
"Ini besar sekali, kami baru menerbitkan peraturan untuk memberikan izin swasta membangun pembangkit dan menjual (kepada masyarakat). Yang tidak menggunakan gardu induk dari PLN, jadi sambungan kabel itu jadi kecil-kecil saja. Jadi setiap kecamatan dibangun kabel sendiri, transmisi tegangan rendah, bisa hydro, angin, dan lainnya," jelasnya.
Mantan Menteri Perhubungan ini menambahkan, investasi untuk membangun pembangkit listrik disana juga tidak mahal. Untuk 0,1 Megawatt (MW) swasta hanya memerlukan anggaran sebesar USD 200.000.
"Investasi enggak besar, kira-kira 0,1 MW itu USD 200.000, itu bisa mengaliri listrik yang simpel untuk satu kecamatan. Silahkan kalau minat, ini tantangan besar. Sebanyak 2.500 desa yang tidak ada listriknya, padahal sudah 71 tahun merdeka," pungkasnya.
Konsumsi listrik terendah se-ASEAN
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh, mengatakan konsumsi listrik Indonesia tergolong rendah di Asia. Saat ini konsumsi listrik masyarakat Indonesia mencapai 910 kwh per kapital.
Sementara, pemerintah menargetkan konsumsi listrik masyarakat pada 2018 mencapai 1.243 kwh per kapital. "Artinya Indonesia hanya 1/10-nya Singapura, 1/5-nya Malaysia, dan 1/2-nya Filipina," jelasnya dalam diskusi Energi Kita yang digagas merdeka.com, RRI, Sewatama, IJTI, IKN dan IJO di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (13/11).
Syamsir menilai Indonesia merupakan produsen panas bumi terbesar ketiga di Indonesia. Di mana 40 persen potensi panas bumi dunia ada di Indonesia. Namun, hanya 4 persen saja potensi panas bumi dimanfaatkan. Salah satunya sebagai bahan baku pembangkit listrik.
"Potensi panas bumi kita mencapai 40 persen, kesetaraannya 12 miliar juta barel," ungkapnya.
Sebelumnya, lokasi proyek pembangkit listrik geothermal berada di Gunung Ciremai, Jawa Barat mendapatkan penolakan. Warga khawatir proyek ini mengancam kehidupan mereka.
DEN terus melakukan upaya program kegiatan diantaranya, mengoptimalkan pemanfaatan panas bumi khususnya wilayah yang sudah terbukti, mempercepat pelelangan, serta mengalokasikan pembiayaan pengembangan panas bumi.
Ekspor listrik dari Malaysia
Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro masih menyayangkan beberapa wilayah perbatasan yang masih belum teraliri listrik, salah satunya di Kalimantan Barat. Hal tersebut membuat wilayah perbatasan itu menjadi pasar bagi negara tetangga untuk mengekspor sumber energinya.
Padahal, lanjutnya, Indonesia memiliki keanekaragaman energi dan mineral yang bisa melistriki wilayah perbatasan tersebut. Tidak hanya itu, besarnya potensi energi dan mineral di Tanah Air juga bisa menjadikan negara tetangga sebagai pasar ekspor energi.
"Maksud saya ini potensi yang harus digali kalau tidak kita hanya jadi market. Sekarang ini kan ada listrik yang diimpor dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sarawak, Malaysia ke Kalimantan Barat. Berarti kita saat ini market," ujar Bambang di Hotel Shang Ri La, Jakarta, Selasa (8/11).
"Potensi besar ini juga sebenarnya membuat kita juga punya posisi bukan saja sebagai buyer tapi eksportir," tambahnya.
Namun demikian, Bambang mengakui ekspor energi di kalimantan Barat tidak dimanfaatkan dengan baik. Menurutnya, wilayah Borneo yang memiliki potensi besar untuk dijamah dan Malaysia sebagai pasarnya. Sebab, wilayah tersebut masih membutuhkan listrik yang cukup besar.
"Masalahnya Sabah sama Sarawak potensinya (sebagai pasar) tidak terlalu besar. Yang besar itu Semenanjung Malaya di situ kita manfaatkan," tandasnya.
Hanya tercapai 19.000 MW
Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan, target 35.000 MW, hanya akan terealisasi 19.000 MW di 2019 mendatang. Hal ini merujuk pada proyek pembangkit dalam rencana 35.000 MW yang sudah financial closing tahun ini.
"Pembangkit finansial closing akhir 2016 berjumlah 19,7 gigawatt, 15.631 MW (belum selesai), 8.350 MW (yang bisa diselesaikan PLN)," jelas Anggota DEN Rinaldy Dalimi di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (14/11).
DEN menyarankan pemerintah merevisi target 35.000 MW. Keputusan tersebut didapat setelah berdiskusi bersama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Program 35.000 MW ini tahun 2019 diperkirakan mencapai 19,7 giga watt, minimal. Dengan bermacam pertimbangan termasuk dari sisi pertumbuhan ekonomi 6 persen," ujar Rinaldy.
Dia menambahkan, salah satu kendala pembangunan pembangkit listrik ialah belum adanya penetapan lokasi. Tercatat, saat ini ada 30.000 pembangkit yang belum ditetapkan lokasinya.
"Lokasi belum ditetapkan maka tidak mungkin selesai 2019. Sektor kelistrikan dengan beban cukup menjaga realibitis 19,7 GW dengan tingkat ekonomi 6 persen tetap aman. Sehingga menganggap 19,7 GW angka yang masuk akal dengan mendukung pertumbuhan ekonomi, kalau lebih baik karena rasio elektrifikasi akan bertambah," jelas dia.
Ada 34 proyek listrik mangkrak
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN), Sofyan Basir menegaskan 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak bukan merupakan bagian dari proyek kelistrikan 35.000 megawatt (MW). Menurutnya, 34 proyek tersebut merupakan garapan pemerintah terdahulu.
"Proyek itu sekitar 6-7-8 tahun lalu," singkat Sofyan di JCC, Jakarta, Minggu (13/11).
Sementara, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menambahkan pemerintah hanya fokus pada penyelesaian megaproyek 35.000 MW. Di mana merupakan program prioritas Presiden Joko Widodo.Â
"Mungkin di sini saya ingin menekankan yang selalu diramaikan urusan proyek 34 proyek mangkrak. Itu proyek yang dulu lho ya, bukan 35.000 MW," ungkapnya.
Menteri Rini menegaskan, dari megaproyek 35.000 MW, pemerintah memperkirakan akan ada tambahan kapasitas listrik 26.000 MW pada 2019.
"Yang 19.000 sisanya, 7.000-nya bisa disiapkan dari yang mangkrak-mangkrak," ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Unit Komunikasi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), I Made Suprateka menyebut, 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak bukan bagian dari mega proyek listrik 35.000 megawatt (MW). Dia menegaskan, 34 proyek tersebut tidak ada kaitannya karena terjadi di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lanjut Made, proyek-proyek tersebut merupakan proyek kecil. Selain itu, sebagian dari proyek tersebut merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Itu proyek di luar 35.000 MW. Itu sudah sejak lama sebelum 2010. Jadi jauh sebelum program 35.000 MW ini. Itu proyek kecil-kecil. Hampir sebagian besar adalah PLTU. Karena pemanfaatan batu bara. Rata-rata kapasitas di bawah 20 MW," ujarnya di kantor pusat PLN, Jakarta.
"Selain itu yang di atas 50 MW ada tapi hanya ada 2 buah, di bawah 100 MW ada 1 buah. Dari 34 itu total 633,5 MW," tambahnya.
Dari 34 proyek tersebut, 12 proyek tengah dalam upaya pemberhentian. Sementara 12 proyek sudah mengalami kemajuan, dan sisanya sebanyak 10 proyek lainnya masih dicari jalan keluarnya agar tetap dilanjutkan.
"Sementara ada dari 34 ini 22 dilanjutkan, dari 22 dilanjutkan 12 sudah berjalan. Yang 10 lagi belum ketemu jalan keluarnya. Lagi dicari jalan keluar entah nanti di ambil alih PLN atau di relokasi. Itu kendalanya macam-macam. Sekarang 12 proyek lainnya di terminasi itu bener-bener di terminasi. Ada 4 di Sumatera, 2 proyek di Kalimantan, 3 di Sulawesi Selatan dan NTT dan 2 di Maluku/Papua," pungkasnya.