Beroperasi Sejak Maret 2019, Intip Sumber Pendapatan MRT Jakarta
Moda Raya Terpadu atau MRT Jakarta sudah resmi beroperasi sejak 24 Maret 2019. Selama delapan bulan beroperasi, MRT Jakarta masih terus berupaya memperbaiki pelayanannya terhadap para penggunanya.
Moda Raya Terpadu atau MRT Jakarta sudah resmi beroperasi sejak 24 Maret 2019. Selama delapan bulan beroperasi, MRT Jakarta masih terus berupaya memperbaiki pelayanannya terhadap para penggunanya.
Demi kenyamanan para penggunanya juga, PT MRT Jakarta rupanya sudah memiliki konsep Transit Oriented Development (TOD) atau Kawasan Berorientasi Transit (KBT).
-
Bagaimana MRT Jakarta dibangun? Koridor 1 MRT mulai beroperasi sejak 2019. Jalurnya sepanjang 16 kilometer. 10 kilometer jalur layang dan 6 kilometer di bawah tanah.
-
Di mana MRT Jakarta berada? Terdapat enam kilometer jalur Mass Rapid Transit (MRT) di bawah tanah Jakarta.
-
Apa saja yang dilakukan Kemenko Perekonomian untuk mewujudkan transportasi berkelanjutan di Indonesia? Pemerintah telah menetapkan pengembangan infrastruktur sebagai salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dengan pembentukan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pengembangan infrastruktur yang signifikan akan terus dilanjutkan sebagaimana dijelaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mewujudkan visi strategis 100 tahun Indonesia. Menko Airlangga juga menyampaikan bahwa Pemerintah telah membangun lebih dari 2.000 km jalan tol yang menghubungkan pusat-pusat komersial, industri, dan perumahan utama di tanah air, menciptakan value chain perdagangan yang lebih kuat. Dalam program PSN tersebut, Indonesia juga mengembangkan proyek transportasi perkotaan seperti MRT yang telah selesai pada tahun 2019 dan proyek LRT Jabodebek yang baru saja selesai.
-
Mengapa transportasi darat menjadi begitu penting di Indonesia? Transportasi darat memiliki peran penting dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya.
-
Apa solusi yang diusulkan Jokowi untuk menutup kerugian MRT dan LRT? Jokowi menilai sistem jalan berbayar elektronik atau "electronic road pricing" (ERP) dapat menjadi sumber penerimaan daerah yang dapat menutup kerugian tersebut."Akhirnya ketemu ditutup dari ERP atau electronic road pricing. Ketemu, ya sudah, diputuskan dan saya putuskan. Dan itu keputusan politik, bahwa APBN atau APBD sekarang masih suntik Rp800 miliar itu adalah memang adalah kewajiban. Karena itu pelayanan, bukan perusahaan untung dan rugi," kata Jokowi.
-
Bagaimana LRT Jakarta Fase 1B akan meningkatkan penggunaan transportasi publik? Pembangunan jalur LRT Jakarta Fase 1B (Velodrome – Manggarai) bertujuan mendukung Manggarai sebagai stasiun sentral."Kami berharap pembangunan LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai menjadi solusi kemacetan dan meningkatkan penggunaan transportasi publik, sehingga mengurangi kemacetan di Kota Jakarta," kata dia.
TOD atau KBT merupakan perancangan suatu kawasan untuk menyatukan masyarakat kota, kegiatan perkotaan, gedung dan bangunan, serta ruang publik secara bersamaan.
Kemudian, dalam kawasan itu juga dilengkapi fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang memadai serta dekat dengan lokasi transit untuk menjangkau bagian kota lainnya.
Agar pembangunan TOD bisa terwujud, MRT Jakarta bersama dengan Pemprov DKI Jakarta turut menggandeng berbagai pihak, termasuk perusahaan swasta. Selain itu, PT MRT Jakarta juga berupaya agar bisa mencapai hasil pendapatan sesuai dengan harapan. Karena, pembangunan TOD sendiri membutuhkan biaya tak sedikit.
“Pendapatan TOD dan MRT bisa mencapai hampir Rp242 triliun jika semuanya sudah berhasil berjalan. Untuk modal TOD, paling setengah dari jumlah tersebut,” ujar Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi Tuhiyat di Jakarta, Sabtu (23/11).
Untuk itu, PT MRT Jakarta berusaha memperoleh pendapatan lebih. Pertama, pendapatan dari subsidi. Yang dimaksud dari sini yaitu subsidi dari pemerintah untuk para pengguna MRT Jakarta.
“Karena seharusnya yang anda bayar (sekali naik MRT) Rp30 ribu, tapi anda cukup bayar Rp8.000. Nah itu selisihnya ditanggung Pemprov. Yang disubsidi bukan MRT, tapi anda, penumpangnya,” kata Tuhiyat.
Oleh karenanya, besaran pendapatan yang didapat dari subsidi ini mencapai 58 persen. Selama delapan bulan MRT beroperasi, jumlah subsidinya mencapai Rp560 miliar.
Kemudian, pendapatan yang diterima MRT Jakarta berasal dari tiket. Tiket ini adalah pendapatan sehari-hari dari para penggunanya atau disebut juga dengan farebox. Dari sini, pendapatan diperoleh sebesar 18 persen.
Pendapatan ketiga MRT berasal dari nonfarebox atau pendapatan di luar tarif. Hingga saat ini, pendapatan yang diperoleh dari nonfarebox mencapai Rp225 miliar.
Lantas, dari mana sajakah pendapatan nonfarebox ini diperoleh?
Pendapatan Nonfarebox
Pendapatan nonfarebox yang pertama berasal dari iklan atau advertising. Totalnya untuk 2019 ini mencapai Rp124 miliar.
Kedua berasal dari telekomunikasi. Yang dimaksud dari telekomunikasi adalah provider-provider telepon seluler. Jadi, semua provide saat ini para pengguna sudah bisa akses dari bawah tanah.
Sekarang all provider bisa beroperasi dari bawah tanah ketika penumpang naik MRT. Ini walaupun cukup kecil (pendapatannya), kita akan fasilitasi. Kontribusinya sekitar Rp3 miliar. Telekomunikasinya ini untuk wifi, kemudian bisnis untuk mesin EDC, ucap Tuhiyat.
Kemudian yang ketiga adalah berasal dari retail. Retail ini terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan barang-barang atau perusahaan minuman dan makanan branded (bermerek). Kelompok kedua adalah UMKM. Akurasi UMKM dilakukan oleh BeKraf, sehingga PT MRT Jakarta hanya menerima saja.
Jadi UMKM nya di 13 stasiun, UMKM-nya 4 sampai 5 stasiun. UMKM kita fasilitasi dan itu melalui akurasi oleh BeKraf Jadi kita tau bersih. Berapa porsinya? Hanya 1 persen dari revenue kita. Yang menarik bukan dari dari pendapatannya, efek orang naik MRT jauh lebih banyak krn ada ini, ketertarikan, kata Tuhiyat.
Pendapatan keempat dari nonfarebox ini berasal dari naming write atau penambahan nama di belakang nama tiap stasiun.
Ini juga terbesar porsinya (dalam pendapatan nonfarebox). Sekarang ada 5 yaitu Blok M, Dukuh Atas, Istora, Setia Budi, dan Lebak Bulus. Terbesar dan termahal ada di ujung, kata Tuhiyat.
Kontrak naming write ini adalah dua sampi lima tahun. Semunya bervariasi.
Naming write itu dari semua nonfarebox saat ini adalah yang terbesar, kemudian setelah itu baru advertising atau iklan. Nominalnya saya tidak terlalu hafal tapi kalau Grab di Lebak Bulus itu sekitar Rp33 miliar per tahun, papar Tuhiyat.
Untuk proses naming write stasiun lain hingga saat ini masih dalam proses. Namun yang jelas, untuk Bundaran HI akan jadi terakhir.
Yang kita hold HI dulu, MRT HI nanti terakhir. Pokoknya kita jual paling mahal karena sudah pusat kota, yang kedua di ujung sehingga disebut terus ditiap stasiun, pungkas Tuhiyat.
Sumber: Liputan6
Reporter: Devira Prastiwi
(mdk/did)