Cerita Kampung Linggang Melapeh pilih ekowisata dibanding sawit
Kelapa sawit dinilai merusak ekosistem.
Indonesia boleh berbesar hati karena memiliki potensi unggulan dalam hal perkebunan, salah satunya kelapa sawit. Kelapa sawit telah menjadi salahs atu komoditas penting dalam kehidupan karena digunakan sebagai komposisi utama untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga digunakan sebagai sumber biofuel dan biodiesel.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai 32,5 juta ton. Dari hasil produksi tersebut, sebanyak 26 juta ton CPO di ekspor keluar negeri dengan nilai USD 18,5 miliar atau sebesar Rp 25,3 triliun.
-
Apa yang menjadi salah satu solusi untuk kemacetan di Jakarta? Wacana Pembagian Jam Kerja Salah satu ide yang diusulkan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono adalah pembagian jam masuk kerja para pekerja di Jakarta. Menurutnya, cara itu bisa mengurangi kemacetan hingga 30 persen.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kenapa Jakarta semakin macet? Kemacetan di Jakarta dari waktu ke waktu semakin parah. Hingga kini, macet menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah provinsi DKI.
-
Mengapa kemacetan di Jakarta meningkat? Syafrin juga menuturkan peringkat kemacetan DKI Jakarta mengalami kenaikan. Sebelumnya peringkat 46, kini menjadi peringkat 29.
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
Sayangnya, potensi yang menggiurkan ini tidak serta merta menggugah hati 564 Kepala Keluarga (KK) warga kampung Linggang Melapeh, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Mereka menolak potensi pundi-pundi rupiah dari kehadiran kelapa sawit di kampungnya. Mereka menganggap kelapa sawit merusak tatanan ekosistem di satu kawasan.
"Kami punya hutan lindung yang melindungi hulu sungai, ada lima mata air yang masih terjaga di antaranya, Map, Sulaw, Atai, Limla, Pahan, dan satu situ kecil seluas dua hektar atau lebih dikenal dengan Danau Aco, sebagai kawasan penampung air. Kami tidak ingin hutan lindung itu dijamah oleh tangan-tangan nakal pengusaha," ujar Petinggi Kampung Linggang Melapeh, Yosua Musiman di Kutai Barat, Kalimantan Timur, Jumat (28/5).
Kepala Suku Kampung Linggang Melapeh, foto Hana Adi Perdana©2016 Merdeka.comPenolakan tersebut, lanjut Musiman, juga karena warga kampung merasa para pengusaha terlalu rakus dalam memanfaatkan lahan mereka seluas 86.000 hektar. Pembagian hasilnya juga dinilai sangat merugikan warga.
Dari 50.000 hektar rencana pengambilalihan lahan, warga Linggang Melapeh hanya mendapat keuntungan sebesar 4 persen dari hasil produksi sawit.
"Kami mendapat bagian 20 persen, kemudian 80 persennya adalah investor. Dari 20 persen keuntungan kita, itu harus dibagi lagi sebesar 80 persen untuk biaya operasional dan 20 persen untuk kita," kata dia.
Alasan lain, penolakan kehadiran tanaman sawit bertujuan agar warga Linggang Melapeh tidak kesulitan mendapatkan air bersih. Sejumlah kampung di Samarinda mengalami kesulitan air bersih semenjak kehadiran kelapa sawit di lahan mereka. "Kita kasih contoh saat jalan ke Samarinda, itu cari air bersih sulit sekali," akunya.
Meski demikian, ajakan menanam kelapa sawit terus datang ke kampung ini. Musiman bercerita, pernah suatu waktu kepala desa mereka mendapat iming-iming menggiurkan berupa penawaran untuk menikmati kehidupan mewah di Jakarta selama satu bulan penuh. Sayangnya, 'bisikan gelap' tersebut tidak di tanggapi oleh kepala desa yang saat itu dipimpin oleh Yudi Hermawan.
"Alhamdulillah, puji tuhan, pada saat itu beliau dengan sangat tegas menolak dan memilih untuk berpihak kepada kami. Beliau ingin masyarakat agar bisa menikmati hutan dan lahan mereka sendiri," jelasnya.
Dari total 564 kepala keluarga yang ada saat ini, masing-masing mereka memiliki lahan rata-rata seluas 3 hektar. Lahan tersebut dimanfaatkan warga untuk menanam padi yang panen setiap satu tahun sekali, sayuran dan tanaman karet.
Sebagai konsekuensi penolakan kehadiran sawit, kini warga Linggang Melapeh tengah bahu membahu untuk mengembangkan potensi ekonomi wisata atau ekowisata di kampung Linggang Melapeh, salah satunya adalah Danau Aco. Hal ini dilakukan karena dianggap lebih baik mendapatkan pundi-pundi tanpa harus merusak tatanan ekonomi.
Kampung Linggang Melapeh Hana Adi Perdana©2016 Merdeka.com"Danau Aco dimanfaatkan warga untuk menjadi ekowisata. Hanya dengan modal awal dari patungan pemerintah dan warga kampung Linggang Melapeh sebesar Rp 40 juta, Danau Aco sudah disulap menjadi tempat wisata dan kami tetap bisa menjaga 90 hektar Bukit Eno sebagai kawasan konservasi," kata Wakil Ketua Kelompok Warga Sadar Wisata Silvinus Paran.
Lanjut Silvinus, dari hasil pengembangan tersebut, kini warga sudah dapat menikmati jeri payah mereka dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu tahun, pendapatan yang dihasilkan dari Danau Aco sebesar Rp 12 juta dengan pembagian sebesar Rp 4 juta masuk kas desa dan sisanya sebagai upah untuk penjaga kawasan danau.
"Pendapatan itu didapat dari sewa perahu bebek dan perah ban seharga Rp 10.000 - Rp 20.000 per 30 menit dan uang tiket masuk sebesar Rp 1.000 per orang," jelasnya.
Pendapatam tersebut, kata Silvinus, tidak termasuk dalam pendapatan tiket sebesar Rp 1.000 per orang dan parkir kendaraan sebesar Rp 1.500 untuk motor dan Rp. 3000 untuk mobil.
Sementara itu, beberapa warga Linggang Melapeh memanfaatkan rumahnya untuk disewakan kepada pengunjung yang ingin bermalam di kampung mereka. Saat ini sejumlah warga berencana untuk membuat jalur tracking ke 12 air terjun yang ada di sekitar bukit eno dan tembus ke danau.
"Di jalur itu ada ladang kebun warga yang ditanami bermacam buah. Saat musim durian dukuh, dan lainnya warga bisa langsung menjualnya ke wisatawan," tutur Silvinus.
Pembangunan ekowisata di Kampung Linggang Melapeh tidak bisa dibilang sempurna. Perlu perbaikan dan dukungan dari pemerintah untuk mendukung upaya ekonomi hijau yang dilakukan masyarakat.
"Kami melakukan pendampingan agar warga tetap menjaga hutan, yang menjadi mata air untuk sungai Mahakam. Tetapi wargapun harus punya pendapatan, salah satunya dari ekowisata," ujar Senior Officer Program Landskap Hulu Mahakam Sri Jimmy Kustini.
Untuk diketahui, berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, sebanyak 1,2 juta hektar lahan telah ditanami oleh Kelapa Sawit. Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur mencatat, pertumbuhan Kalimantan Timur minus 4,3 persen pada triwulan I 2016.
"Kaltim terlalu menggantungkan ekonominya pada sumber daya alam, seperti minyak bumi, batubara dan sawit, dan kayu gelondongan. Harga dan SDA habis, ekonomi kalimantan itu hancur," pungkas Ketua Dewan Perubahan Iklim Kalimantan Timur Daddy Ruhiyat.
(mdk/idr)