Daftar Penyebab Masyarakat Banyak Terjerat Pinjaman dan Investasi Ilegal
Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat kerugian yang disebabkan investasi ilegal sepanjang 2020 mencapai Rp 5,9 triliun. Kerugian ini diakibatkan penipuan oleh berbagai perusahaan.
Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat kerugian yang disebabkan investasi ilegal sepanjang 2020 mencapai Rp 5,9 triliun. Kerugian ini diakibatkan penipuan oleh berbagai perusahaan.
"Sekali kita tertipu, sulit sekali duit itu kembali. Terkadang masyarakat itu begitu gampang, bahkan yang berpendidikan dan kadang menjadi korban yang diam karena malu," jelas Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sardjito.
-
Bagaimana cara membagi anggaran untuk investasi? Martua menyarankan adanya pembagian porsi alokasi anggaran untuk berinvestasi.“Untuk pemula, secara umum bisa dialokasikan dengan pembagian 40% - 30% - 20% dan 10%," rinci Martua.
-
Bagaimana cara memulai investasi bagi pemula? Untuk itu, kegiatan investasi harus dilakukan dengan dana khusus. Terlebih lagi bagi para pemula yang masih belum memahami cara kerja investasi.
-
Kenapa daftar pustaka online penting? Media online acap dijadikan referensi karena memang ada banyak informasi dan data valid yang disampaikan ahli dan dibagikan kepada masyarakat secara online. Perkembangan internet mendorong referensi kredibel dari internet semakin banyak.
-
Apa yang membuat Bedu terjerat hutang pinjaman online? Kabar mengejutkan belakangan ini, Bedu disebut terjerat pinjaman online dan tidak mampu membayarnya.
-
Apa pengertian website? Pengertian website adalah lokasi pusat halaman web yang saling terhubung dan diakses dengan mengunjungi halaman rumah dari website menggunakan browser.
-
Apa saja modus penipuan yang dilakukan oleh debt collector pinjaman online bodong? Di era digital seperti sekarang ini, pinjaman online (pinjol) semakin populer sebagai solusi keuangan cepat. Namun di balik kemudahan tersebut, muncul pula risiko penipuan yang dilakukan oleh pihak tidak bertanggung jawab, terutama melalui modus penagih utang (debt collector) palsu.
SWI mencatat kerugian masyarakat karena investasi ilegal di Indonesia dalam satu dekade terakhir sebesar Rp 114,9 triliun. Total kerugian pada 2020 naik dari Rp 2019 sebesar Rp 4 triliun.
OJK selalu berusaha mengingatkan masyarakat bahwa sebelum memanfaatkan layanan pinjol dan mencoba berinvestasi harus memahami legalitas atau izin dari perusahaan itu dan melihat logika dari penawaran keuntungan yang ditawarkan sesuai dengan nilai yang wajar.
Ketua Umum Satgas Waspada Investasi Ilegal, Tongam Lumban Tobing, menyatakan masyarakat harus menerapkan prinsip 2L sebelum berinvestasi, yaitu Legal dan Logis. Legal artinya lembaga, produk dan agen penjual efek terdaftar di OJK. Logis artinya memberikan keuntungan dalam jangka waktu yang masuk akal.
Kali ini merdeka.com akan merangkum ragam penyebab banyak masyarakat terjerat pinjaman dan investasi ilegal saat ini.
1. Mau Kaya Tanpa Kerja
Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara menilai, dari beragam kasus investasi bodong, ditemukan masyarakat yang ingin cepat kaya tapi tidak mau bekerja keras. Sehingga ketika mendapatkan tawaran investasi yang menjanjikan imbal hasil dengan tinggi dan tanpa resiko langsung diambil.
"Kami juga melihat adanya kecenderungan sekelompok masyarakat yang kurang bijak. Ingin cepat kaya tanpa kerja keras," kata dia.
Padahal, dilihat dari latar belakang pendidikan, mereka bukan merupakan masyarakat yang berpendidikan rendah. Melainkan juga kalangan yang seharusnya bisa mengakses literasi keuangan.
"Hasil temuan kami tingkat pendidikan rendah tidak banyak tapi yang berpendidikan tinggi juga yang menjadi korban," kata dia.
2. Pengetahuan Minim
Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara menilai, kondisi ini terjadi akibat kesenjangan antara literasi keuangan dan tingkat inklusi keuangan masyarakat yang masih jauh.
Data OJK tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat baru 38 persen. Sedangkan tingkat inklusi mencapai 76 persen. Kondisi tersebut pun tetap berlangsung saat perkembangan teknologi digital terjadi di sektor jasa keuangan.
"Tingkat inklusinya tinggi tapi jauh berbanding terbalik dengan akses literasi keuangannya," kata Tirta.
Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro menyebut bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih terbilang rendah dan belum merata menyebabkan berbagai elemen masih rentan menjadi korban penipuan atau investasi ilegal. Dia mengatakan, peran OJK menjadi sangat krusial dalam aspek ini.
(mdk/bim)