Indonesia-Australia memanas, Gita lirik sapi India dan Brasil
Menurut Gita, daging sapi dari India dan Brasil tidak kalah murah dari daging sapi Australia.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengakui persoalan diplomatik Indonesia-Australia cukup mengganggu hubungan ekonomi. Meski tidak mau dikaitkan dengan kasus penyadapan presiden, pemerintah kini sedang serius mengupayakan revisi Undang-Undang Pertanian Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Menurut Gita, ketika aturan itu berhasil direvisi, maka Indonesia tak akan lagi tergantung pada impor sapi dan daging asal Australia.
"Saya sudah bicara dengan menteri pertanian, kita sedang mulai proses merevisi UU tersebut. Supaya proses importasi dapat dilakukan di mana-mana, tidak tergantung pada satu negara," ujar Gita usai bertemu Menteri Perdagangan Belanda, di Jakarta, Kamis (21/11).
Mantan Kepala BKPM ini tidak menampik, revisi itu ditempuh akibat memanasnya kondisi politik Indonesia-Australia. Namun, di sisi lain, dia menuturkan bahwa secara rasional, kebijakan bebas impor dari negara manapun lebih menguntungkan. Apalagi harga sapi asal India dan Brasil terbukti lebih murah.
"Perlu kita ingat, daging sapi dari India lebih murah, Brasil juga lebih murah, jadi akan lebih baik jika kita mendatangkan dari negara yang mungkin hubungan bilateralnya lebih baik," kata Gita.
Terkait embargo atau penghentian perdagangan, Gita membantah ada pembahasan ke arah sana. Justru, perseteruan politik ini, menurutnya, jangan sampai mengganggu relasi ekonomi.
Kalaupun ada kajian, yang sekarang coba dipikirkan pemerintah sebatas cara mencari sumber pasokan lain untuk bahan pangan dari Australia.
"Tentunya kita tidak ingin mengambil langkah yang justru bisa merugikan perekonomian kita. Pengkajian yang sedang kita lakukan agar tidak terjadi gangguan pasokan (seandainya tak lagi impor dari Australia)," cetusnya.
Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ini mengumumkan populasi sapi di Tanah Air turun, menjadi 13,5 juta ekor. Karena ada aturan pemotongan maksimal hanya untuk 15 persen populasi, maka pasokan dalam negeri hanya mencapai 2 juta ekor. Sisanya terpaksa dipenuhi dari impor.
Celakanya, Undang-Undang Peternakan Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan lewat putusan Mahkamah Konstitusi membatasi pilihan negara yang boleh mengimpor.
Pemerintah diwajibkan mengimpor sapi dengan sistem basis negara, bukan basis zonasi, terkait ternak yang bebas dari penyakit kuku dan mulut. Alhasil, Indonesia terkesan hanya boleh mengimpor sapi dari Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.