Industri otomotif paling terpukul dari anjloknya Rupiah
Industri dengan bahan baku yang mengandalkan impor pasti terdampak oleh pelemahan Rupiah.
Anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) otomatis berdampak kepada sektor industri dalam negeri. Industri otomotif merupakan salah satu sektor yang paling parah terkena pengaruh anjloknya Rupiah.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Tenaga Kerja Benny Sutrisno.
"Ada beberapa sektor, seperti otomotif. Kan komponennya masih impor tapi dijualnya di dalam negeri negeri. Itu yang paling terkena dampaknya," ujar Benny di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Selasa (25/8).
Tak hanya otomotif, lanjut Benny, industri elektronik juga turut terkena imbas merosotnya Rupiah. "Selain itu, mungkin juga elektronik. Karena pasarnya juga di dalam negeri. Kalau otomotif, meski ada yang diekspor tapi mayoritas dalam negeri," tuturnya.
Namun, Benny tak menampik jika tidak sepenuhnya industri ikut menjadi korban pelemahan nilai tukar Rupiah. Contohnya, industri furnitur dan obat-obatan herbal. Pasalnya, industri jenis ini menyerap bahan baku lokal namun memiliki pasar ekspor.
"Yang paling beruntung yang ekspor tapi bahan bakunya dari dalam negeri. Seperi furnitur, kan bahan bakunya dari dalam negeri. Kemudian obat-obatan herbal seperti Sido Muncul. Yang diuntungkan dari pelemahan ini juga industri padat karya," bebernya.
Untuk industri tekstil sendiri, lanjut Benny, kendati menggunakan bahan baku impor namun, mereka melempar produknya untuk ekspor.
"Kalau fluktuasi itu yang merugi importir karena dia pakai forex. Pasti rugi. Kalau bahan baku impor tapi dia (produknya) ekspor, itu impas," ucapnya.
Kendati demikian, walaupun tak merasakan imbas langsung pelemahan Rupiah, industri tekstil masih dihadapkan persoalan pembayaran upah tenaga kerja juga ongkos energi yang dibutuhkan dalam proses produksi.
"Industri ini kan cost-nya untuk dalam negeri, seperti listrik dalam rupiah, tenaga kerja juga dalam rupiah. Kalau garmen porsi tenaga kerjanya 20 persen dari cost. Kalau tekstil, listrik yang paling besar porsinya, yaitu 19 persen dari cost, tenaga kerja cuma 9 persen," pungkasnya.