Inflasi Indonesia 2022 Diproyeksi Bisa Capai 6 Persen, ini Alasannya
Ekonom dari Verdhana Sekuritas, Heriyanto Irawan memprediksi, tingkat inflasi Indonesia bisa meningkat di atas 5 persen hingga 6 persen. Peningkatan tersebut terjadi karena adanya kenaikan harga komoditas dari energi sebagai dampak dari geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi per April 2022 telah mencapai 3,47 persen (yoy). Secara bulanan inflasi ini mengalami kenaikan 0,95 persen (mtm).
Ekonom dari Verdhana Sekuritas, Heriyanto Irawan memprediksi, tingkat inflasi Indonesia bisa meningkat di atas 5 persen hingga 6 persen. Peningkatan tersebut terjadi karena adanya kenaikan harga komoditas dari energi sebagai dampak dari geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
-
Kapan inflasi terjadi? Inflasi terjadi ketika harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan yang terus-menerus dalam suatu periode waktu tertentu hingga mengurangi daya beli uang.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Apa itu inflasi? Sekadar informasi, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa, yang berdampak pada biaya hidup.
-
Kapan virus menjadi pandemi? Contohnya seperti virus Covid-19 beberapa bulan lalu. Virus ini sempat menjadi wabah pandemi yang menyebar ke hampir seluruh dunia.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Kenapa Hari Koperasi Indonesia diperingati? Tujuan peringatan ini guna mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk senantiasa menghidupkan koperasi sebagai jalan demi mewujudkan kesejahteraan bersama.
"Harga energi kita ke depan ini tidak menutup kemungkinan ada penyesuaian harga BBM dan ini bisa mendorong inflasi," kata Heri dalam Tanya BKF: Mengoptimalkan Sumber Pertumbuhan Ekonomi ke Depan, Jakarta, Jumat (13/5).
Bila dibandingkan dengan negara lain, inflasi yang mencapai 6 persen masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Apalagi harga pangan juga masih stabil yang tercermin dari harga beras yang masih bisa dikendalikan.
Di sisi lain nilai tukar Rupiah masih stabil karena kinerja ekspor yang masih mencatatkan surplus selama 23 bulan berturut-turut. "Dampak Rupiah dengan inflasi ini harus bisa diukur dengan dijaga agar relatif rendah tapi kalau ini naik, harus bisa menjaga ekonomi kita," kata dia.
Menurut Heri, setelah negara mampu mengendalikan penyebaran virus corona, maka tantangan kali ini berupa kenaikan inflasi. Tantangan ini tak hanya berlaku bagi Indonesia melainkan berbagai negara di dunia.
"Inflasi adalah tantangan yang terbesar setelah Covid-19 untuk seluruh negara tak terkecuali Indonesia," kata dia.
Untuk itu, menurut Heri, setiap negara termasuk pemerintah Indonesia harus memberikan perhatian lebih pada tren kenaikan inflasi ini. Sebab inflasi terjadi tidak seketika saja mengingat rantai pasok kebutuhan sangat penting. Bahkan dia menyarankan agar negara juga membuat tim khusus yang memantau kenaikan inflasi.
"Hemat kami mungkin selain sudah ada Satgas Covid-19 kita perlu ada juga Satgas Inflasi," katanya.
Pemerintah Klaim Inflasi Masih Bisa Dikendalikan
Di sisi lain pemerintah menilai tingkat inflasi Indonesia masih sesuai dengan sasarannya. Berada dalam rentang yang diasumsikan dalam APBN 2022 sebesar 2 persen 4 persen.
"Inflasi Indonesia ini masih rendah dari negara lain dengan angka 3,5 persen di bulan April. Ini masih dalam range yang kita rencanakan," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam kesempatan yang sama.
Namun pemerintah akan memantau khusus perkembangan inflasi tersebut. Terutama untuk sektor energi dan bahan pangan karena dampaknya harus dimitigasi. "Sejauh ini kita masih bisa mitigasi sehingga inflasi yang bertransisi ke rumah tangga bisa ditahan dengan baik," ungkapnya.
Maka, kata Febrio pemerintah akan menggunakan instrumen APBN sebagai syok absorber. Menjadikan APBN sebagai bantalan agar dampak keniakan inflasi tidak begitu bergejolak di tingkat masyarakat.
(mdk/bim)