PD Pasar Jaya: Pedagang Pakai QRIS Belum sampai 50 Persen, Ini Alasannya
Padahal perkembangan teknologi di ibu kota jauh lebih cepat
Manajer Humas PD Pasar Jaya Agus Lamun mengungkapkan, masih banyak pedagang yang belum mau menggunakan transaksi digital seperti QRIS.
Menurut dia bahkan, angka pembayaran menggunakan digital belum sampai 50 persen. Padahal perkembangan teknologi di ibu kota jauh lebih cepat.
“Kalau di Jakarta masih belum sampai 50 persen pedagang yang pakai QRIS. Kecuali di pasar yang segmennya memang menengah ke atas atau modern seperti di Mayestik itu,” kata Agus saat dihubungi wartawan.
Agus mengungkapkan, sejumlah alasan pedagang pasar di Jakarta enggan menggunakan transaksi digital.
Pertama, pedagang merasa transaksi digital berbelit belit atau tidak mau ribet.
Terlebih lagi, penggunaan aplikasi hingga proses pencairan atau settlement dari pembayaran digital memakan waktu yang tidak sebentar.
“Alasan tidak mau ribet ini terutama untuk pedagang yang tua-tua,” kata Agus.
- Pedagang Pasar Keluhkan Dampak Kebakaran, Kapolres Dumai Segera Hubungi Pjs Wali Kota
- Polisi Tangkap Pelaku Penyerangan di Pasar Cibadak
- Perwira Polisi Ini Ajak Anak Buah Datangi Pasar di Kampar, Ini yang Dilakukan
- Perspeksi & Pengusaha Digital Dorong Transaksi Toko Kelontong Pakai QRIS, Ini Manfaatnya
Kedua, masih banyak pedagang yang menganggap penggunaan QRIS adalah transaksi riba yang diharamkan menurut ajaran Islam.
“Masih banyak pedagang di Jakarta tidak mau pakai QRIS karena menurut mereka itu produk bank yang identik dengan riba,” kata Agus.
Padahal, menurut Agus, rata-rata pasar di Jakarta hari ini sudah menggunakan sistem cashless dalam pembayaran uang sewa.
Untuk itu, Agus berharap, ke depan pihak perbankan dan pengelola pasar bisa lebih masif untuk bekerjasama demi memperkenalkan pembayaran digital bagi pedagang pasar di Jakarta.
“Perbankan dan pemda atau pengelola pasar harus meyakinkan kalau pembayaran digital itu sudah kewajiban, bukan cuma kebutuhan,” kata Agus.
Agus berpesan para pedagang harus sadar dampak dari digitalisasi pembayaran justru lebih banyak positifnya. Selain untuk pencatatan transaksi jual beli yang lebih rapi, hal itu juga bisa mempermudah promosi dagang.
“Pedagang yang tidak mau melakukan digitalisasi konsumennya cuma mengadalkan yang datang langsung ke pasar atau offline. Sementara yang sudah digital justru bisa mendapatkan banyak pelanggan baru dari online,” kata Agus.
Terakhir, Agus juga menekankan bahwa Jakarta sebentar lagi bukan lagi ibu kota, melainkan akan menjadi pusat ekonomi Indonesia bahkan global.
Untuk itu, proses digitaliasasi harus sudah disosialisasi dengan baik dan digunakan para pedagang di Jakarta.
Sementara itu, Indra, praktisi dan juga direktur utama PT Trans Digital Cemerlang (TDC), perusahaan merchant aggregator, mendukung penuh harapan dan rencana PD Pasar Jaya terkait digitalisasi pembayaran pada para pedagang di Jakarta.
“Saya mendukung harapan itu, karena ini juga harapan pemerintah agar digitalisasi pembayaran terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Jakarta akan dan sudah menjadi kota bisnis dan global, perlu menjadi contoh bagi kota lain di Indonesia terkait digitalisasi pembayaran,” ujar Indra.
Indra mengakui pangsa pasar transaksi digital terutama pengunaan QRIS pada UMKM dan pedagang kecil sangat besar.
Bank Indonesia (BI) menyatakan transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) mencatatkan pertumbuhan yang signifikan dalam setahun terakhir, yakni mencapai 226,54 persen.
Year-on-year (yoy), dengan jumlah pengguna mencapai 50,50 juta dan jumlah merchant 32,71 juta.
"Based data itu, kampanye transaksi digital on the track. Namun memang harus diakui butuh waktu untuk menjelaskan kepada calon pengguna terkait pentingnya digitalisasi pembayaran dan mengeliminasi informasi informasi yang sifatnya tidak benar yang berkembang di masyarakat," ujar Indra.
Indra mengatakan, Bank Indonesia tidak bisa berjalan sendiri dalam mengkampanyekan transaksi digital ke seluruh pelosok negeri.
Seluruh stakeholder dan perusahaan yang bergerak dibidang transaksi digital perlu melakukan sosialisasi yang sama masifnya dan perlu dibarengi dengan kreativitas dan inovasi.
Contoh inovasi dilakukan perusahaannya dalam produk Posku Lite untuk pembayaran melalui QRIS pada komunitas UMKM adalah memberikan insentif pendampingan literasi keuangan, seminar dan workshop digital marketing, dan insentif lainnya selama menjadi mitra.
TDC sendiri memiliki tiga produk yakni M2PAY, MEbook dan Posku Lite. Ketiganya masing-masing menyediakan metode pembayaran dan pemantauan transaksi, system informasi teritegrasi, dan kemudahan pencatatan toko dan bistro.
“Kami bermitra dengan komunitas Tamado Group di Sumatera untuk menjangkau UMKM dengan kampanye UMKM Go Digital di Pematang Siantar dan Kabupaten Samosir. Dalam waktu dekat akan di Sabang (Aceh), Bali dan Bangka, dan tempat lain di Indonesia,” ujarnya.
Indra mengatakan, alasan pentingnya pendidikan dan pendampingan konsultasi keuangan kepada UMKM adalah dalam penyusunan laporan keuangan yang berkualitas. Laporan keuangan merupakan alat utama untuk memantau kinerja keuangan dan arus kas UMKM.
“Laporan keuangan juga menjadi alat pemilik usaha membuat keputusan tepat dan strategi bisnis, termasuk menarik investor. Dari sisi hukum tentunya juga untuk pelaporan pajak dan pembayarannya sehingga sesuai aturan yang ada,” ujarnya.
Namun, Indra berharap, perusahaan yang melakukan pendampingan dan konsultasi keuangan digital sudah memiliki ISO 9001:2015 tentang Manajemen Mutu, ISO 37001:2016 Tentang Sistem Manajemen anti Penyuapan, dan ISO 27001:2022 tentang Sistem Keamanan Informasi.
“Penting buat UMKM mengetahui jati diri perusahaan penyedia system transaksi digital salah satunya kepemilikan tiga ISO di atas. Bentuk sederhana implementasi dari ISO itu adalah quick respon terhadap masukan dari pengguna (merchant) yang datang dari berbagai saluran informasi,” tambahnya.