Produksi Turun, Industri Rokok Ikut Terpukul Pandemi Corona
Sulami bahar menyampaikan, semua anggotanya masih terus melakukan kegiatan usaha. Sehingga masih tetap menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian masyarakat.
Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) menyebut bahwa pandemi virus corona (Covid-19) turut memberikan dampak bagi industri rokok, khususnya terkait pada aktivitas produksi dan penjualan produk rokok. Hampir semua anggota Gapero khususnya di Surabaya terkena imbas Covid-19.
"Jadi kalau dengan adanya kenaikan tarif cukai atau PMK No 152 itu kami perkirakan ada penurunan produksi sekitar 15 persen, ditambah lagi ada wabah covid sekarang, jika nanti pemerintah dan kita tidak bisa meyelesaikan pandemic covid19 sehingga wabah Covid-19 berlarut larut, kami memprediksi akan ada penurunan di tahun 2020 ini sekitar 40 persen," papar Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (19/5).
-
Bagaimana dampak cukai rokok terhadap industri hasil tembakau? "Kita dibatasi produksinya, tapi di lain pihak rokok ilegalnya meningkat. Kalau rokok ilegal menurut informasi dari kawan-kawan Kementerian Keuangan, itu hampir 7 persen. Kalau itu ditambahkan kepada produksi yang ada, pasti akan tidak turun," tuturnya.
-
Apa yang menunjukkan pertumbuhan industri manufaktur Indonesia? Geliat pertumbuhan ini dapat terlihat dari peningkatan permintaan baru yang menunjukkan aktivitas produksi yang semakin terpacu.
-
Bagaimana Djarum berhasil menjadi perusahaan raksasa di industri rokok? Tiga tahun berikutnya, Djarum berinovasi dengan meluncurkan Djarum Filter, merek rokok pertama yang diproduksi secara mekanis. Kesuksesan ini menjadi pijakan untuk diperkenalkannya Djarum Super pada tahun 1981. Saat ini, Djarum bukan hanya menjadi perusahaan raksasa, tetapi juga menjadi pilar industri rokok dengan lebih dari 75 ribu karyawan yang berdedikasi.
-
Bagaimana Mendag memastikan pasokan tembakau dan cengkih untuk industri rokok? Mendag menambahkan, Kemendag akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait agar pasokan tembakau dan cengkih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok dengan mengutamakan hasil petani dalam negeri.
-
Dimana industri rotan di Cirebon berlokasi? Deretan produk rotan berbentuk kursi kuda, miniatur sepeda, tudung saji sampai ayunan anak menghiasi toko-toko di sepanjang jalan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.
-
Bagaimana pertumbuhan industri di Sidoarjo berkontribusi terhadap perekonomian daerah? Pertumbuhan industri di Sidoarjo telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Namun demikian, Sulami bahar menyampaikan, semua anggotanya masih terus melakukan kegiatan usaha. Sehingga masih tetap menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian masyarakat.
Selain itu pihaknya sangat mematuhi peraturan pemerintah khususnya berkaitan dengan protokol pencegahan Covid-19. Hal ini untuk mencegah adanya penularan Covid-19 di Kawasan pabrik dan agar karyawannya tetap sehat.
"Semua pabrikan di bawah naungan Gaperosu masih berproduksi tapi tentunya sangat patuh dengan protocol kesehatan. Saya rasa kalau untuk menggerakkan perekonomian, industri rokok masih mampu membantu menggerakkan perekonomian masyarakat sampai sekarang," ungkap dia.
"Jadi untuk saat ini memang dengan adanya Pandemi itu kami belum bisa memprediksi kira kira turunnya sampai berapa tetapi kalau misalnya sampai berlarut larut kami perkirakan produksi akan mengalami penurunan sekitar 40 persen kenapa karena yang pertama di mana mana ada PSBB dan itu sangat berpengaruh,” lanjut Sulami Bahar.
Kenaikan Cukai
Selain itu, Sulami Bahar menyatakan wabah corona yang melanda dunia termasuk Indonesia juga telah mengacaukan program pemerintah meningkatkan kesehatan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah meningkatkan kesehatan adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang ditandatangani pada 18 Oktober 2019.
Dalam PMK tersebut pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 23 persen. Selain itu juga menaikkan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen.
Kenaikan tersebut adalah yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dan kondisi diperparah dengan adanya pandemic Covid-19. Dengan adanya kenaikan cukai, berdampak pada semakin meningkatkan harga rokok per batang maupun per bungkus. Sehingga masyarakat mengurangi konsumsi rokoknya.
"Teorinya dengan menaikkan cukai dan harga jual eceran rokok pemerintah ingin membatasi konsumsi masyarakat terhadap rokok. Harga jual rokok meningkat tinggi baik per batang maupun per bungkus. Sehingga masyarakat akan menghentikan konsumsi rokok. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Akibatnya masyarakat beralih ke rokok yang lebih murah dengan kadar nikotin yang tinggi," papar Sulami Bahar.
Dia mengakui, kenaikan cukai dan HJE Rokok masing-masing sebesar 23 dan 35 persen tersebut telah mengurangi produksi dan penjualan produk rokok sebesar 15 persen dari tahun sebelumnya. Hal tersebut juga mengakibatkan perubahan pola konsumen beralih ke rokok yang terjangkau harganya, dan yang dikhawatirkan mereka beralih ke rokok illegal. Akibatnya jika tujuan PMK No. 152/2019 adalah untuk kesehatan, ternyata tidak tepat.
Akibatnya rokok illegal tersebut semakin marak dan tujuan untuk meningkatkan kesehatan tidak tercapai. Sebaliknya rokok legal berkurang sebesar 15 persen atau lebih parah karena dampak COVID19. Itu berarti pendapatan pemerintah dari cukai rokok pun berkurang sebesar 15 persen.
"Jadi dengan dikeluarkannya regulasi kenaikan tariff cukai di PMK No. 152, itu sekarang ini sudah berdampak pada penurunan produksi hingga 15 persen. Sebaliknya dengan tarif cukai yang tinggi itu tidak menjamin berkurangnya perokok bahkan bisa jadi itu malah merugikan negara karena mereka yang tidak sanggup membeli rokok mahal akan beralih kepada rokok murah atau illegal. jadi pendapatan negara malah berkurang kan," tegas Sulami Bahar.
(mdk/idr)