Resesi Ekonomi Pertama Sejak 22 Tahun
Tahun 2020 menjadi masa paling sulit bagi perekonomian global. Hampir seluruh negara di dunia masuk ke dalam jurang resesi. Tidak terkecuali Indonesia. Semua sektor ekonomi di Tanah Air terganggu akibat wabah virus corona.
Tahun 2020 menjadi masa paling sulit bagi perekonomian global. Hampir seluruh negara di dunia masuk ke dalam jurang resesi. Tidak terkecuali Indonesia.
Semua sektor ekonomi di Tanah Air terganggu akibat wabah virus corona. Dampaknya pertumbuhan ekonomi terperosok minus dua kuartal berturut-turut.
-
Apa yang dikatakan Anies Baswedan tentang klaim TKN soal debat cawapres tema ekonomi? Menurut Anies, pembuktian atas klaim itu baru dapat dilihat pada saat debat cawapres berlangsung besok malam, Jumat, 22 Desember 2023.
-
Kapan KM Rezki tenggelam? Peristiwa tenggelamnya KM Rezki diperkirakan terjadi sekira pukul 13.25 WITA, Sabtu, 2 Desember 2023.
-
Kapan Pasar Weleri diresmikan? Sejatinya gedung itu telah diresmikan pada Desember 2023.
-
Kapan debat cawapres tema ekonomi akan diadakan? Debat Cawapres akan digelar Jumat 22 Desember 2023.
-
Apa itu Sego Resek? Sego Resek merupakan salah satu kuliner legendaris sejak 1959 yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Dalam bahasa Indonesia, sego berarti nasi, sementara resek berarti sampah. Sebutan nasi sampah diberikan bukan karena bahan yang digunakan terbuat dari sampah. Namun, disebut nasi sampah karena bahan yang digunakan beragam serta diolah dalam porsi besar sehingga tampak menumpuk menyerupai tumpukan sampah.
-
Bagaimana Menko Airlangga Hartarto berencana memperkuat kerja sama ekonomi di KTT G20? “Di KTT India nanti Indonesia akan terus berupaya menjalin kerja sama dengan negara-negara lainnya dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Sehingga nantinya pembangunan akan terus terjadi dan masyarakat akan sejahtera," tutur Ketua Umum DPP Partai Golkar ini.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengatakan resesi akibat virus baru tersebut merupakan yang terburuk dalam sejarah sejak Perang Dunia II.
"Bank Dunia melansir bahwa resesi sudah hampir pasti terjadi di seluruh wilayah ekonomi dunia. Resesi akibat Covid-19 ini merupakan yang terburuk dalam sejarah sejak Perang Dunia II," ujarnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui dampak ekonomi dari virus corona atau Covid-19 lebih kompleks jika dibandingkan krisis 2008-2009 dan 1997-1998. Sebab, tidak ada aktivitas kegiatan ekonomi di dalam negeri dan juga tidak ada yang mengetahui kapan bencana virus ini selesai.
"Maka kami sampaikan Covid-19 jauh lebih kompleks bahkan dari krisis 2008-2009 dan 1997-1998 karena kita tahu penyebabnya. Ini (corona) tidak ada jangkar, karena tidak tahu kapan covid berhenti," ungkapnya.
Perlambatan ekonomi menjadi salah satu keniscayaan. Di kuartal I-2020 (Januari-Maret), ekonomi domestik masih tumbuh positif. Meskipun memang telah alami perlambatan dari periode sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 2,97 persen. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan kuartal I-2019 sebesar 5,07 persen. Juga merosot dibandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2019 yakni 4,97 persen.
Pertumbuhan tersebut juga menjadi posisi yang terendah sejak 2001. Di mana pada era Gus Dur, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2001 tercatat lebih baik sebesar 3,87 persen.
Pelemahan ekonomi terjadi karena daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga anjlok pada Maret 2020. Padahal tingkat konsumsi rumah tangga punya kontribusi besar terhadap pembentukan ekonomi Tanah Air, dengan kontribusinya sebesar 56 persen.
Sementara konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di level 2,84 persen dibandingkan kuartal I-2019 yang sebesar 5,02 persen. "Konsumsi drop, itu efek dominonya ke permintaan lain, walaupun itu hanya Maret tapi sangat dalam pengaruhnya," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Pelemahan daya beli terjadi karena masyarakat dikejutkan dengan kehadiran virus corona. Pemerintah pertama kali mengonfirmasi kasus Covid-19 pada Senin 2 Maret 2020.
Sejak kejadian itu, masyarakat mulai panik. Penyebaran virus asal China semakin meluas. Pemerintah mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan tersebut ekonomi Indonesia lumpuh. Hampir seluruh sektor ekonomi tertekan. Mulai dari perdagangan, UMKM, transportasi, hingga pariwisata.
Imbasnya, ekonomi di kuartal II-2020 (April-Juni) terkontraksi dalam. BPS mencatat ekonomi Indonesia minus 5,32 persen secara year on year (yoy). Pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi yang terendah sejak triwulan I-1999 yang pada saat itu mencapai -6,13 persen.
Kontraksi ekonomi terjadi di kuartal II-2020 memberi efek kejut. Di sisi lain pemerintah masih bernafas lega. Karena kontraksi yang dialami masih cukup baik jika dibandingkan negara-negara lain.
Berkaca dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, pada kuartal kedua mengalami penurunan ekonomi sebesar minus 9,50 persen, Jerman, Prancis, dan Hong Kong masing-masing terkontraksi minus 11,7 persen, minus 19 persen, dan minus 9 persen.
Negara-negara tetangga Indonesia juga tidak terelakan dari resesi. Misalnya Singapura dan Filipina. Keduanya mencatatkan pertumbuhan minus 12,6 persen dan minus 16,5 persen pada kuartal II-2020.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 masih minus. Laporan BPS memperlihatkan ekonomi domestik terkontraksi minus 3,49 persen secara year on year (yoy). Kontraksi ini lebih baik dibandingkan posisi pada kuartal II-2020 yang tercatat minus 5,32 persen.
Dari data tersebut, Peneliti Indef, Bhima Yudhistira memastikan bahwa Indonesia resmi resesi ekonomi. Menurutnya, resesi yang terjadi saat ini sebenarnya hanya hanya mengafirmasi kembali ekonomi sedang berada dalam tekanan yang cukup berat.
Hal yang menjadi pertanyaan saat ini apakah resesi ekonomi ini akan masuk dalam tahap depresi. Mengingat resesi ekonomi dapat mengarah pada depresi ekonomi. Kondisi ini akan terjadi jika pertumbuhan PDB masih negatif hingga tahun 2021.
"Yang menjadi pertanyaan besar apakah ekonomi Indonesia akan masuk dalam depresi, yakni resesi ekonomi yang berlanjut dalam satu tahun ke depan?" ungkap dia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, mengakui Indonesia telah mengalami resesi yang terjadi terjadi akibat pandemi Covid-19. Perlambatan ekonomi, menurutnya sudah terjadi pada kuartal I-2020, di mana saat itu pertumbuhan ekonomi RI hanya tumbuh 2,97 persen.
"Tentang perlambatan perekonomian kita itu memang sebenarnya kalau kita lihat dari kuartal I pun sudah mulai terjadi," ujarnya.
Padahal, pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir berada di kisaran rata-rata 5 persen setiap tahunnya. Namun akibat pandemi Covid-19, seluruh ekonomi dunia termasuk Indonesia mengalami kontraksi cukup dalam. Pemerintah sadar ketika perekonomian bergerak di bawah tren, maka Indonesia sudah masuk masa resesi. Namun pemerintah belum yakin. Karena masih menunggu kuartal II dan III berikutnya.
"Namun terbukti kuartal II semakin buruk dalam sekali, kuartal ketiga juga masih di bawah tren nah ini sekarang kita sudah yakin bahwa ini adalah yang kita sebut perlambatan atau beberapa teman menyebutnya resesi," kata dia.
Kendati begitu, hal ini bukan merupakan sesuatu persoalan besar terjadi di Indonesia. Sebab, tahun ini hampir tidak ada perekonomian di dunia yang tidak terkontraksi perekonomiannya. Bahkan pertumbuhan ekonominya tidak negatif itu hampir tidak ada, mayoritas negara-negara di seluruh dunia itu pertumbuhan ekonomi justru negatif.
"Indonesia kalau kita lihat nanti dengan apa yang sudah terjadi di kuartal kedua lalu perbaikan di kuartal ketiga harapannya terus nanti menguat di kuartal keempat proyeksi kita untuk 2020 ini kan tidak akan sedalam dibandingkan perekonomian perekonomian yang lain," kata dia.
Pemerintah sudah tidak memikirkan lagi apakah Indonesia mengalami resesi atau tidak resesi. Sebab, di tengah kondisi ketidakpastian ini banyak negara-negara lain yang juga mengalami resesi ekonomi. Bagi pemerintah saat ini adalah bagaimana memperbaiki ekonomi di sisa tahun 2020.
Guyuran Stimulus Triliunan Rupiah
Kuartal II-2020 merupakan pertama kalinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi. Sejak virus corona hadir, pemerintah secara terus menerus melakukan sejumlah cara dan kebijakan agar ekonomi bangkit.
Anggaran dikeluarkan cukup fantastis. Besarannya mencapai Rp695,2 triliun. Selain untuk penanganan wabah corona, anggaran itu juga untuk stimulus ekonomi nasional.
Anggaran itu diberikan untuk berbagai sektor. Adapun untuk kesehatan adalah sebesar Rp87,55 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari belanja penanganan covid-19 sebesar Rp65,8 triliun, insentif tenaga medis Rp5,9 triliun, santunan kematian Rp300 miliar, bantuan iuran JKN Rp3 triliun, gugus tugas covid-19 Rp3,5 triliun, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan sebesar Rp9,05 triliun.
Pemerintah juga menyiapkan alokasi dana untuk perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun. Terdiri dari PKH Rp37,4 triliun, sembako Rp43,6 triliun, bansos Jabodetabek Rp6,8 triliun, bansos non-Jabodetabek Rp32,4 triliun, kartu Prakerja Rp20 triliun, diskon listrik Rp6,9 triliun, logistik/pangan/sembako Rp25 triliun, dan BLT dana desa Rp31,8 triliun.
Untuk insentif dunia usaha disiapkan Rp120,61 triliun. Terdiri dari PPh 21 DTP Rp39,66 triliun, pembebasan PPh 22 Impor Rp14,75 triliun, pengurangan angsuran PPh 25 Rp14,4 triliun, pengembalian pendahuluan PPN Rp5,8 triliun, penurunan tarif PP Badan Rp20 triliun, dan stimulus lainnya Rp26 triliun.
Kemudian bantuan UMKM sebesar Rp123,46 triliun melalui subsidi bunga Rp35,28 triliun, penempatan dana untuk restrukturisasi Rp78,78 triliun, belanja IJP Rp5 triliun, penjaminan untuk modal kerja (stop-loss) Rp1 triliun, PPh Final UMKM DTP Rp2,4 triliun, dan pembiayaan investasi kepada koperasi melalui LPDB KUMKM Rp1 triliun.
Sementara, untuk sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah dianggarkan sebesar Rp106,11 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk program padat karya K/L Rp18,44 triliun, insentif perumahan Rp1,3 triliun, pariwisata Rp3,08 triliun, DID pemulihan ekonomi Rp5 triliun, cadangan DAK Fisik Rp8,7 triliun, fasilitas pinjaman daerah Rp10 triliun, dan cadangan perluasan Rp58,87 triliun.
Terakhir untuk pembiayaan korporasi, pemerintah menyiapkan Rp53,7 triliun. Jumlah itu terdiri dari penempatan dana restrukturisasi padat karya Rp3,24 triliun, PMN Rp20,5 triliun, dan talangan dana untuk modal kerja Rp29,65 triliun.
Pertumbuhan Negatif Masih Terjadi Saat Tutup Tahun
©2020 Merdeka.com
Pemerintah merevisi ke bawah outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal IV-2020. Ekonomi pada periode Oktober - Desember itu ekonomi akan tumbuh minus 0,9 persen sampai dengan minus 2,9 persen. Proyeksi itu setidaknya lebih baik dari ekonomi kuartal III-2020 yang minus 3,49 persen.
Sementara secara keseluruhan, Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE), Piter Abdullah memperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 bakal berada di kisaran minus 2 persen sampai dengan 2,5 persen. Proyeksi ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Bank Dunia.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini sebesar minus 2,2 persen atau lebih dalam dari proyeksi sebelumnya minus 1,6 persen pada September 2020. Perlambatan ini karena pemulihan yang lebih lemah dari perkiraan.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Satu Kahkonen mengatakan, meski terjadi perlambatan bukan berarti Indonesia tidak ada harapan untuk bisa pulih di tahun depan. Apalagi banyak negara-negara lain yang juga mengalami resesi seperti yang dialami Indonesia.
"Perjalanan menuju pemulihan akan panjang dan penuh tantangan. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan kesehatan publik dan perekonomian yang solid akan menjadi kunci untuk upaya pemulihan," kata dia.
Resesi tidak hanya berdampak pada perekonomian negara, tetapi juga langsung menyerang kehidupan masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyatakan bahwa di sisa tahun 2020 ini, sulit untuk mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
"Pada kuartal 3 dan 4, memang rasanya cukup berat. Karena di kuartal 3 ini, konsumsi kita lihat belum menunjukkan pemulihan yang kita harapkan," ujar Sri Mulyani dalam APBN Kita.
Melihat dari pernyataan Sri Mulyani Agustus lalu bahwa belum adanya tanda-tanda pola konsumsi masyarakat yang membaik, hal ini dikarenakan pendapatan masyarakat menurun selama pandemi.
"Dampak paling besar resesi adalah merosotnya daya beli, karena pendapatan masyarakat hilang atau bahkan terpangkas, sehingga mereka tidak bisa membeli barang secara normal, karena harus menyesuaikan dengan pendapatan," jelas Ekonom Institute Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto.
Penurunan daya beli ini akan berdampak secara khusus pada pelaku bisnis. Dikutip dari pernyataan pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi di Kompas.com bahwa "Jika resesi terjadi, ini berarti bahwa kalau kita berjualan, yang beli juga sedikit, karena daya beli masyarakat kan juga menurun." Otomatis, pendapatan keuntungan pebisnis pun juga menurun.
Di masa resesi ada sejumlah dampak lain yang ditimbulkan. Lapangan pekerjaan akan semakin sempit dan angka pengangguran makin meningkat. "Kondisi ini berimplikasi pada angka kemiskinan yang bertambah," kata Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad.
Tauhid Ahmad mengatakan kehidupan sosial keluarga juga akan terganggu. Mulai dari gaya hidup dan pendidikan karena tidak sedikit orang yang kehilangan pendapatan dan pekerjaan.
Di sisi lain, pinjaman dan utang akan semakin meningkat. "Pinjaman dan utang akan semakin meningkat karena keluarga akan mencari sumber pinjaman baru," kata dia.
Sejarah Resesi Ekonomi di Indonesia
Resesi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Negara ini pernah masuk ke jurang pertama kali pada 1963 silam. Indonesia mencatatkan pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut pada 1963. Resesi terjadi karena hiperinflasi.
Kebijakan pemerintahan kala itu membuat belanja pemerintah membengkak. Belanja yang signifikan itulah yang menyebabkan hiperinflasi.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh Presiden Soekarno saat itu terbilang berlawanan dengan negara lain, salah satunya Malaysia. Bahkan, Indonesia juga memutuskan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat itu. Sementara, uang negara semakin merosot dari tahun ke tahun. Bahkan, defisit anggaran tembus 600 persen pada 1965.
Kemudian, ekonomi Indonesia mulai menanjak setelah posisi Soekarno digantikan oleh Soeharto. Laju inflasi mulai melambat setelah Soeharto membuat situasi politik di Indonesia membaik dengan bergabung kembali di PBB dan mendapatkan bantuan dari IMF. Ekonomi Indonesia kembali positif pada 1970-1980. Selain karena tensi politik yang membaik, kenaikan harga minyak dunia saat itu juga mendorong perekonomian dalam negeri.
Namun, ekonomi Indonesia kembali memburuk pada 1990-an. Krisis finansial Asia pada 1997-1998 membuat Indonesia masuk ke jurang resesi. Tercatat, resesi bahkan berlangsung selama 9 bulan atau tiga kuartal berturut-turut. Hal ini membuat Indonesia memasuki masa depresi.
Nilai tukar rupiah anjlok pada 1997-1998 hingga 80 persen. Rupiah tembus ke level Rp16 ribu per dolar AS dari posisi normalnya di level Rp9.000 per dolar AS. Tak hanya itu, inflasi juga kembali meroket hingga 80 persen pada 1998. Ini berarti harga barang naik signifikan.
Situasi itu membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun, sehingga terjadi aksi demo besar-besaran. Krisis ekonomi yang berujung krisis politik tersebut menurunkan pucuk kepemimpinan Soeharto dari kekuasaannya sejak 1965. Keuangan negara saat itu juga memburuk. Alhasil, jumlah utang Indonesia naik berkali-kali lipat.
Tercatat, utang Indonesia per Maret 1998 mencapai USD 138 miliar. Utang itu terdiri dari utang pemerintah dalam bentuk devisa negara, utang BUMN, dan utang swasta.
Berselang 10 tahun setelahnya, yakni 2008, Indonesia kembali dihantam tekanan dari ekonomi dunia. Krisis ekonomi dunia menghantam Rupiah dan pasar keuangan dalam negeri. Beruntung, saat itu ekonomi tetap tumbuh positif di level 6 persen pada 2008. Namun, ekonomi merosot pada 2009 menjadi hanya tumbuh 4 persen.
(mdk/bim)