Sri Mulyani: Ekonomi Dunia Mulai Masuk Resesi, Bahkan Ada Potensi Depresi
Sri Mulyani mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menghilangkan progres dari upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selama beberapa tahun terakhir, terutama mengenai kemiskinan dan kesejahteraan rakyat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebutkan kondisi perekonomian dunia sudah resesi dan mulai masuk pada potensi depresi karena pandemi Covid-19. Pandemi tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga sosial.
"Pandemi ini telah mengubah cara hidup kita dan berimplikasi signifikan pada kondisi ekonomi dan sosial. Ekonomi mulai masuk pada resesi, bahkan ada potensi depresi," kata Sri Mulyani Indrawati dikutip ari Antara di Jakarta, Rabu (2/7).
-
Sri Mulyani bertemu Presiden Jokowi, apa tujuan pertemuannya? Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani diagendakan menemui Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (2/2) siang. Sri Mulyani akan melaporkan hal-hal terkait anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tahun 2024.
-
Di mana Sri Mulyani dilahirkan? Sri Mulyani lahir di Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962.
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
-
Apa yang dilakukan Sri Mulyani setelah bertemu dengan Jokowi? Namun, Sri Mulyani enggan bicara banyak setelah rapat bersama Jokowi. Dia menolak memberikan pernyataan dan enggan tanya jawab dengan awak media. Sembari menjawab singkat, ia cuma menunjukkan gestur minta maaf dengan tangannya.
-
Apa yang Sri Mulyani tunjukkan kepada cucunya? Sri Mulyani juga memperlihatkan pekerjaannya kepada cucu yang lebih besar.
-
Apa yang menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, merupakan kekuatan Indonesia? Keberagaman yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam segala bentuknya, adalah sebuah kekuatan yang harus dirangkul.
Sri Mulyani mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menghilangkan progres dari upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selama beberapa tahun terakhir, terutama mengenai kemiskinan dan kesejahteraan rakyat.
"Indonesia, misalnya mengalami kemunduran pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan sekitar 5 tahun karena pandemi yang berjalan selama 6 bulan," ujarnya.
Tak hanya itu, Sri Mulyani menuturkan bahwa pandemi ini berdampak pada perekonomian negara secara signifikan yang berarti sumber pendanaan untuk mencapai tujuan akan tertahan.
"Pendapatan dari perpajakan turun karena semua aktivitas ekonomi terkontraksi dan pada saat yang sama kebutuhan untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, serta stimulus untuk mengembalikan ekonomi naik cukup dramatis," katanya.
Tak hanya itu, UMKM sampai masyarakat miskin sehingga desain pemulihan ekonomi Indonesia menitikberatkan pada kelas bawah. "Untuk Indonesia, kita melakukan itu. Banyak restrukturisasi yang kita didedikasikan untuk UMKM melalui kebijakan pemerintah, yaitu subsidi dan lainnya. Jadi, mereka bisa bertahan di situasi ini," ujarnya.
Defisit Melebar
Berkaca dari Indonesia, Sri Mulyani menyatakan bahwa pandemi Covid-19 telah memaksa pemerintah untuk meningkatkan defisit dari 1,7 persen terhadap PDB menjadi 6,3 persen.
"Naik signifikan. Beberapa negara defisit di ruang fiskalnya, bahkan sudah melebihi batas. Akan tetapi, Indonesia beruntung karena punya defisit lebih rendah. Jadi, semua negara menghadapi masalah yang sama," katanya.
Dalam hal ini lembaga multilateral, bisa menjadi penolong dalam pembiayaan dalam rangka penangan dampak Covid-19, khususnya untuk negara berkembang dan berpendapatan rendah.
Di sisi lain, lanjut Sri Mulyani, bantuan pembiayaan dari lembaga multilateral itu belum memadai karena kebutuhan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 lebih besar.
"Saya mengapresiasi beberapa institusi multilateral yang merespons cepat dengan menyediakan pembiayaan. Akan tetapi, itu tidak memadai karena pembiayaan lebih besar dibanding yang telah disediakan oleh institusi multilateral," katanya.
Dia mengatakan bahwa bantuan yang belum memadai itu pada akhirnya memaksa berbagai negara berkembang dan berpendapatan rendah berlomba untuk menerbitkan surat utang di pasar global.
"Mereka harus bisa menggunakan yang lainnya. Apakah itu mengeluarkan bond domestik atau global. Akan tetapi, sayangnya saat ini ironisnya situasi keuangan global memiliki minat yang rendah," katanya.
(mdk/idr)