Ancaman Virus Corona yang Mencekam di Pengungsian Rohingya

Merdeka.com - Di tengah kondisi yang serba sulit, warga Rohingya yang berada di kamp pengungsian menjadi populasi yang paling rentan atas wabah virus corona. Ada sekitar satu juta pengungsi yang tinggal di kamp-kamp padat dan sempit di wilayah Cox's Bazar Bangladesh.
Sejak 2017, Cox's Bazar menjadi lokasi utama pengungsian warga Rohingya yang kabur dari kekerasan aparat militer Myanmar. Para ahli menyatakan, kamp-kamp itu menjadi tempat subur tumbuhnya berbagai penyakit.
Saat masyarakat dianjurkan WHO untuk melakukan physical distancing hingga 2 meter untuk mencegah penyebaran virus corona, jarak 2 meter itu adalah jalur paling lebar di Kutapalong, kamp pengungsi terbesar di dunia dengan 600.000 orang Rohingya. Jalur itu satu-satunya jalan yang dilalui semua orang di pengungsian untuk mencari makanan dan bahan bakar setiap hari.
Demikian juga masker dan pembersih tangan antiseptik yang hampir tidak pernah terlihat di kamp-kamp tersebut. Tempat tinggal sementara dengan luas hampir 10 meter persegi diisi penuh sesak hingga 12 orang.
"Anda bahkan dapat mendengar tetangga tetangga bernapas," kata seorang pekerja bantuan seperti dikutip Aljazeera, Kamis (26/3).
Jarak Sosial yang Tidak Mungkin
Paul Brockman, Kepala relawan 'Dokter Tanpa Batas' atau Medecins Sans Frontieres menyatakan, hampir tidak mungkin memenuhi anjuran ideal untuk menjaga jarak demi mencegah penyebaran Covid-19.
"Skala tantangannya sangat besar. Populasi yang rentan seperti Rohingya kemungkinan akan terpengaruh secara tidak proporsional oleh Covid-19," katanya.
Sejauh ini, Bangladesh hanya melaporkan sedikit kematian akibat virus corona dan kurang dari 50 kasus positif. Tetapi angka ini diyakini para ahli bukan angka yang sesungguhnya di masyarakat.
Yang memperburuk dan mengkhawatirkan, para pengungsi Rohingya itu hampir tidak tahu bagaimana mencegah penyakit ini karena pemerintah memutuskan sebagian besar akses mereka ke internet sejak akhir tahun lalu. Mereka tidak cukup mendapat informasi dari dunia luar.
Apalagi, akhir pekan lalu sebuah keluarga Rohingya yang baru kembali dari India dikarantina di pusat transit PBB untuk pengujian tes corona. Sang tetangga, seorang wanita Bangladesh di Cox's Bazar juga dinyatakan positif mengidap virus corona.
"Kami sangat khawatir. Jika virus sampai di sini, itu akan menyebar seperti api," kata pemimpin komunitas Rohingya, Mohammad Jubayer.
"Banyak bantuan dan pekerja masyarakat setempat memasuki kamp setiap hari. Beberapa orang diaspora Rohingya juga telah kembali dalam beberapa hari terakhir. Mereka mungkin membawa virus," katanya.
Seorang warga kamp lainnya, Lokman Hakim (50) menyatakan keprihatinan mendalam tentang kurangnya tindakan pencegahan di kamp. "Kami telah menerima sabun dan disuruh mencuci tangan. Dan itu saja," keluhnya.
Pasrah
Tokoh masyarakat lainnya, Sayed Ullah, mengatakan ada banyak ketidaktahuan dan informasi yang salah tentang virus corona di kalangan pengungsi. Semuanya diakibatkan penutupan akses internet oleh pemerintah Bangladesh.
"Sebagian besar dari kita tidak tahu tentang penyakit ini. Orang-orang hanya mendengar bahwa itu telah membunuh banyak orang. Kami tidak memiliki internet untuk mengetahui apa yang terjadi," katanya.
"Kami mengandalkan rahmat Allah," tambahnya.
PBB, yang telah menggunakan sukarelawan dan pekerja bantuan untuk meluncurkan kampanye cuci tangan dan kebersihan di kamp-kamp, telah mendesak pemerintah untuk memulihkan layanan internet.
"Intervensi kesehatan yang menyelamatkan jiwa membutuhkan komunikasi yang cepat dan efektif," kata Louise Donovan, juru bicara PBB di kamp-kamp tersebut.
"Komunikasi adalah kunci untuk manajemen situasi ini tepat waktu dan efektif," katanya kepada AFP.
Kantor komisioner pengungsi Bangladesh menolak mengatakan apakah pihak berwenang akan memulihkan internet. Sebelumnya mereka telah memotong akses luar ke 34 kamp pengungsi.
"Kami telah meminimalkan kegiatan bantuan di kamp-kamp. Hanya makanan, kesehatan, dan pekerjaan yang berhubungan dengan hukum akan berlanjut," kata Bimol Chakma, seorang pejabat dari kantor komisioner.
Sementara itu, orang-orang Rohingya yang tinggal di negara-negara yang dilanda virus corona telah berusaha memperingatkan orang-orang di kamp melalui panggilan telepon dari luar negeri.
Banyak ekspatriat Rohingya telah kembali ke kamp tanpa disaring. "Jika mereka membawa virus dan bergaul dengan orang banyak, itu akan menjadi pembantaian lain, jauh lebih besar dari apa yang terjadi pada tahun 2017," kata aktivis Mojib Ullah yang bermarkas di Australia, merujuk pada tindakan keras mematikan di Myanmar yang menurut para penyelidik PBB adalah genosida.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya