Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Badan Atom Dunia justru membela Iran soal pembatasan nuklir

Badan Atom Dunia justru membela Iran soal pembatasan nuklir Nuklir Iran-bushehr. ©2015 Merdeka.com

Merdeka.com - Amerika Serikat sampai hari ini masih menggantung nasib pencabutan sanksi buat Iran. Padahal, menurut Badan Energi Atom Dunia (IAEA), pemerintah Iran selama ini sudah menjalankan seluruh kesepakatan membatasi program pengayaan uranium dan proyek nuklir.

"Iran sudah berkomitmen dan menjalankan semua kesepakatan," kata Kepala IAEA, Yukiya Amano, di depan 35 negara anggota kemarin, dilansir dari laman Associated Press, Jumat (24/11).

Yukiya mengatakan sudah berusaha meyakinkan Amerika Serikat kalau Iran menjalankan seluruh persyaratan ditetapkan dalam perjanjian pembatasan pengayaan uranium, dan diawasi langsung oleh perwakilan IAEA. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak kalau Presiden AS, Donald Trump, tetap berkeras bakal menjatuhkan sanksi baru.

Pada Oktober lalu, Trump menolak menyetujui dokumen menyatakan kalau Iran sudah memenuhi kesepakatan pembatasan program pengayaan uranium demi pencabutan sanksi. Dia kembali berdalih buat kesekian kalinya kalau apa yang didapat Iran dari kesepakatan itu tidak sebanding dengan kewajibannya. Padahal, perjanjian itu dibuat dan disepakati kedua belah pihak. Malah kabarnya Kongres AS sedang ancang-ancang mengajukan rancangan sanksi baru, yang di mata Iran sama saja melanggar kesepakatan.

Pemerintah Iran sebelumnya sudah menggertak Trump karena sikapnya itu. Mereka menyatakan hanya butuh hitungan hari buat menggenjot produksi pengayaan uranium hingga bisa dipakai sebagai bahan baku senjata nuklir.

Kepala Badan Atom Republik Islam Iran, Ali Akbar Salehi, mengatakan mereka cuma butuh waktu lima hari buat pengayaan uranium hingga mencapai 20 persen. Pernyataan Salehi itu sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap Trump karena mengancam bakal menjatuhkan sanksi baru bagi Iran, atau membatalkan kesepakatan penghentian program nuklir diteken pada 2015 lalu. Namun, dia menyatakan masih menghormati perjanjian itu demi menghapus sanksi ekonomi Iran.

"Kalau rencana balasan dan ancaman lagi, kami pasti akan mengejutkan mereka. Pastinya sih kami tidak mau hal itu terjadi. Kami berkomitmen terhadap perjanjian itu," kata Salehi.

Di dalam perjanjian dibuat pada 2015 dengan mantan Presiden AS, Barrack Obama, Iran menyatakan siap tidak melakukan pengayaan hingga uranium hingga 20 persen. Mereka hanya dibolehkan melakukan pengayaan uranium sebesar lima persen. Sisa produksi uranium sudah terlanjur dibuat dijadikan sumber energi pembangkit listrik, dan lainnya dikirim kembali ke Rusia.

Presiden Iran Hassan Rouhani juga mengancam bakal menggenjot produksi uranium, jika Trump masih terus berencana menjatuhkan sanksi baru. Sebab, dia merasa AS mempermainkan kesepakatan telah diteken kedua belah pihak. AS beralasan bakal menjatuhkan sanksi baru lantaran Iran melakukan uji coba rudal.

Rouhani juga jengah dengan sikap Trump, yang dianggap bukan kawan yang baik.

"Jika mereka ingin kembali ke masa itu, kami akan melakukannya dengan segera. Bukan dalam hitungan minggu atau bulan, tetapi hari dan jam," kata Rouhani.

Rouhani menyatakan Iran sepakat meneken perjanjian penghentian program nuklir karena berharap membawa perdamaian dan persatuan ketimbang membuat situasi semakin keruh. Namun, dengan ancaman sanksi baru, Rouhani menganggap Trump dan AS bukan teman yang baik. Apalagi, kata dia, Trump memperlihatkan sikap tak berpendirian dengan menyatakan menarik diri dari Kesepakatan Paris tentang iklim.

"Dalam beberapa bulan terakhir, dunia telah menyaksikan kalau AS yang selalu melanggar janji dalam kesepakatan nuklir, telah mengabaikan beberapa perjanjian lain. Hal itu menunjukkan kepada sekutunya kalau mereka bukan kawan yang baik, sekaligus perunding yang buruk," ujar Rouhani.

Duta Besar AS buat Perserikatan Bangsa-Bangsa, Nikki Haley, ngotot kalau Iran dilarang melanjutkan program nuklirnya dengan alasan apapun. Sementara Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Heather Nauert, menyatakan mereka tetap dalam keputusannya memberikan sanksi baru buat Iran. Namun, dia memberikan angin segar kalau kebijakan itu kini sedang ditelaah kembali asal Iran tidak membikin resah negara tetangganya.

Sebagai reaksi atas sanksi baru AS, parlemen Iran menyetujui pengajuan anggaran lebih dari USD 500 miliar (sekitar Rp 6,6 triliun). Semuanya buat membiayai program misil dan operasi angkatan bersenjata Garda Revolusi Iran. (mdk/ary)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP