Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Militer Myanmar usut pelanggaran HAM terhadap Rohingya, tetapi diragukan

Militer Myanmar usut pelanggaran HAM terhadap Rohingya, tetapi diragukan Myanmar kerahkan militer ke wilayah muslim Rohingya. ©AFP PHOTO/Ye Aung Thu

Merdeka.com - Militer Myanmar dikabarkan sedang mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan prajuritnya saat menggelar operasi buat menumpas kelompok militan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Namun, banyak pihak meragukan obyektivitas dan integritas hasil penyelidikan, karena dalam kegiatan sebelumnya mereka mengabaikan kesaksian etnis minoritas muslim Rohingya tentang pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran dilakukan para serdadu.

Dilansir dari laman Reuters, Sabtu (14/10), penyelidikan itu dilakukan oleh sebuah komite dipimpin Letnan Jenderal Aye Win. Markas Besar Angkatan Darat Myanmar berkeras operasi militer sesuai dengan undang-undang dasar negara mayoritas Buddha itu.

Menurut pernyataan petinggi AD Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, dikutip dari laman Facebook menyatakan komite akan memeriksa apakah para perwira dan prajurit dalam menjalankan operasi patuh kepada perintah komandan, serta apakah mereka mengikuti aturan dalam sebuah operasi. Meski demikian diduga kuat penyelidikan dilakukan militer Myanmar tidak bakal berimbang.

Myanmar juga menolak kehadiran tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober tahun lalu. Mereka ditugaskan buat mencari tahu dugaan pelanggaran dilakukan militer Myanmar saat menggelar operasi menumpas apa 'kelompok militan'.

Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa membeberkan secara rinci bagaimana taktik pemerintah Myanmar memburu warga etnis minoritas muslim Rohingya. Menurut mereka, pemerintah Myanmar sengaja bertindak kejam secara masif, terstruktur, dan sistematis terhadap orang Rohingya dengan maksud supaya mereka tidak kembali lagi ke perkampungannya di Negara Bagian Rakhine.

Laporan Komisi HAM PBB itu dirilis Rabu kemarin. Isinya disusun berdasarkan hasil wawancara dari 65 pengungsi Rohingya, baik perseorangan ataupun kelompok, pada pertengahan September lalu. Dalam laporan itu tercantum kalau serangan kepada etnis Rohingya dilakukan aparat Myanmar dan kelompok Buddha ekstrem ternyata 'terkoordinasi dan terstruktur', dengan maksud bukan cuma mengusir, tetapi juga mencegah mereka tidak kembali.

Beberapa narasumber diwawancara mengatakan kalau sebelum dan selama serangan terjadi, aparat Myanmar memberikan peringatan melalui pengeras suara menyatakan, 'Kalian tidak berhak ada di sini. Pergi saja ke Bangladesh. Kalau kalian tidak pergi, kami akan membakar rumah dan membunuh kalian'. Hal itu dilakukan buat menebar ketakutan di antara warga Rohingya sehingga mereka enggan kembali.

Dalam laporan itu, anggota misi dan peneliti PBB Karen Friedrich di Bangladesh mengatakan kalau sebelum terjadi serangan besar-besaran ke wilayah pemukiman orang Rohingya, dengan alasan membalas penyerbuan dilakukan kelompok militan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) ke sejumlah pos polisi pada 25 Agustus lalu, ternyata sudah terjadi pembatasan akses buat orang Rohingya.

"Aparat Myanmar melarang orang Rohingya ke pasar, klinik atau rumah sakit setempat, sekolah, dan tempat ibadah. Lelaki Rohingya berusia 15 hingga 40 tahun ditangkap oleh polisi dan ditahan tanpa alasan," kata Karen dalam jumpa pers.

Kepala Komisi HAM PBB, Zaid Ra'ad al-Hussein, mengatakan pemerintah Myanmar sengaja tidak mengakui hak-hak warga Rohingya, termasuk tidak memberikan mereka identitas kewarganegaraan.

"Itu adalah taktik mengusir orang dalam jumlah banyak supaya mereka tidak mungkin kembali," kata Hussein.

Komisi HAM PBB menyatakan di dalam laporannya kalau pasukan Myanmar bersama dengan kelompok ekstremis Buddha sengaja membakar bangunan atau marka apapun di kawasan pemukiman Rohingya supaya wilayah itu sulit dikenali. (mdk/ary)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP