Vaksin DBD bermasalah, Filipina denda perusahaan obat Prancis
Merdeka.com - Pemerintah Filipina memutuskan menunda penerbitan izin penjualan vaksin Demam Berdarah Dengue (DBD) 'Dengvaxia' buatan perusahaan asal Prancis, Sanofi. Penyebabnya adalah vaksin seharusnya meningkatkan sistem kekebalan terhadap DBD, diduga malah mengakibatkan penerimanya jatuh sakit.
Selain menunda penerbitan izin penjualan vaksin Dengvaxia, pemerintah Filipina mengenakan denda sebesar USD 2 ribu (sekitar Rp 27 juta) terhadap Sanofi. Alasannya adalah perusahaan itu diduga menyalahi aturan pendaftaran permohonan izin dan penjualan.
"Mereka (Sanofi) didenda dan penerbitan sertifikat produknya ditunda," kata Menteri Kesehatan Filipina, Francisco Duque, dilansir dari laman Reuters, Kamis (4/1).
-
Dimana larangan itu diterapkan? Dalam laporan yang dikutip dari Android Headlines pada Kamis (14/11), tindakan pelarangan ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat dalam perang semikonduktor yang saat ini berlangsung di pasar.
-
Kenapa vaksin Mpox diizinkan di Indonesia? Penggunaan vaksin Mpox di Indonesia kini telah mendapat persetujuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, yang menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan dapat digunakan dalam kondisi darurat kesehatan.
-
Siapa yang terdampak larangan? Dilansir laman TRT World, keputusan Pengadilan Tinggi Allahabad ini berdampak pada sekitar 2,7 juta siswa dan 10.000 guru di 25.000 sekolah madrasah.
-
Apa tujuan produksi vaksin dalam negeri? Kemandirian dalam produksi vaksin merupakan salah satu kebijakan utama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam meningkatkan ketahanan kesehatan nasional.
-
Siapa yang terlibat dalam produksi vaksin dalam negeri? Salah satu proyek unggulannya adalah pengembangan Vaksin Merah Putih atau INAVAC yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
-
Kenapa negara termiskin kesulitan beli vaksin? Ini terlepas fakta bahwa negara termiskin juga berjuang untuk membeli dan meluncurkan vaksin COVID-19 untuk melawan pandemi.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Filipina, Sanofi melanggar persyaratan yakni tidak melakukan survei selepas menjual vaksin itu. Pemerintah Filipina juga memerintahkan Sanofi sementara menghentikan penjualan, distribusi, dan penawaran Dengvaxia.
Pemerintah Filipina menghabiskan dana sekitar USD 70 juta (sekitar Rp 948 miliar) buat membeli vaksin Dengvaxia. Hal itu dilakukan karena program imunisasi DBD digelar pada 2016 terhadap 734 anak-anak usia sembilan ke atas. Sebab, saban tahun ada sekitar 200 ribu penduduk Filipina terjangkit DBD.
Pihak perusahaan Sanofi menyatakan bakal terus bekerja sama dengan BPOM Filipina, dan akan tunduk terhadap seluruh aturan hukum diberlakukan di sana.
Sebelumnya, pemerintah Filipina mengatakan meminta ganti rugi USD 69,5 juta (sekitar Rp 1,1 triliun) kepada Sanofi. Duque juga meminta Sanofi bertanggung jawab membiayai pengobatan penduduk negara itu yang malah jatuh sakit usai diberi vaksin DBD, Dengvaxia. Jika tidak dituruti, maka pemerintah Filipina bakal menggugat korporasi itu.
"Kami minta uang PHP 3 miliar yang sudah dibayarkan untuk membeli Dengvaxia supaya dikembalikan. Kami juga meminta Sanofi menyediakan biaya buat ongkos perawatan dan pengobatan terhadap seluruh anak yang malah memburuk setelah diimunisasi," kata Duque saat itu.
Kementerian Kesehatan Filipina sejak akhir tahun lalu menggelar program imunisasi DBD. Vaksin itu diberikan kepada sekitar 730 ribu anak-anak berusia minimal sembilan tahun ke atas. Perusahaan pembuatnya mengklaim kalau vaksin itu aman bagi manusia berumur sembilan hingga 45 tahun. Namun, dari hasil penelitian terbaru terungkap kalau vaksin itu tidak bisa diberikan kepada orang-orang yang belum pernah terjangkit DBD. Sebab, dalam jangka waktu tiga tahun setelah disuntik, maka orang-orang sebelumnya tidak pernah mengidap DBD dipastikan malah terkena penyakit itu.
Duque menyatakan, setidaknya ada beberapa kasus anak-anak yang jatuh sakit karena DBD setelah diimunisasi. Namun, mereka berangsur-angsur pulih. Duque menyatakan sudah mengadukan masalah itu kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan masih menunggu rekomendasi pakar.
(mdk/ary)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Apakah penarikan dua obat sirop di atas berkaitan dengan cemaran Etilen Glikol/Dietilen Glikol (EG/DEG)?
Baca SelengkapnyaRieke meminta Indofarma membenahi terlebih dahulu internal perusahaan tersebut.
Baca Selengkapnyakemudian indikasi kerugian di Indofarma Global Medika atas penempatan dan pencairan deposito beserta bunga senilai kurang lebih Rp35 miliar atas nama pribadi.
Baca SelengkapnyaTiko mengatakan pihaknya tak akan pandang bulu dalam proses hukum tersebut. Termasuk jika ditemukan pengurus perusahaan yang bermasalah.
Baca SelengkapnyaAda kesalahan redaksi dalam penanyangan foto di dalam artikel berjudul: Obat Sirup Zamel Drop dan Ferro-K Ditarik dari Pasaran.
Baca SelengkapnyaPenarikan ini usai BPOM menemukan kandungan natrium dehidroasetat (sebagai asam dehidroasetat) yang tidak sesuai dengan komposisi pada roti tersebut.
Baca SelengkapnyaMasalah tersebut muncul, karena perusahaan mengalami kerugian mencapai Rp459 miliar.
Baca SelengkapnyaIrma pun meminta BPOM bekerjasama dengan Badan Karantina untuk menyelidiki peredaran anggur muscat.
Baca SelengkapnyaKepala BPOM RI Taruna Ikrar menegaskan komitmennya untuk menindak tegas jaringan mafia skincare.
Baca SelengkapnyaPlt Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Ema Setyawati mengungkapkan alasannya.
Baca SelengkapnyaGAPPRI mengusulkan agar pasal-pasal terkait produk tembakau yang bernuansa pelarangan diubah menjadi pengendalian.
Baca Selengkapnyanatrium dehidrosetat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.
Baca Selengkapnya