Kenali Sejarah Kebiasaan Orang Indonesia Mengonsumsi Nasi Sejak Era Mataram Hingga Kini
Nasi memiliki sejarah panjang konsumsi di bahkan sejak era sebelum berdirinya negara Indonesia modern.
Nasi telah menjadi makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, di balik popularitasnya, perjalanan nasi menjadi bagian integral dari budaya pangan di Indonesia ternyata melibatkan proses panjang yang dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya, bahkan politik. Dari masa Kerajaan Mataram hingga era modern, kebiasaan ini terus berkembang, menghadirkan cerita yang menarik tentang identitas bangsa.
Kebiasaan makan nasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan dibentuk secara politis. Roby Bagindo, seorang pemerhati budaya pangan, mengungkapkan bahwa sejak era Kerajaan Mataram, beras menjadi simbol penting dalam sistem pangan kerajaan.
-
Kapan orang Indonesia mulai makan nasi? Menurut catatan sejarah, kabarnya beras sudah mulai ada di tanah air sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha, jauh sebelum Indonesia itu sendiri terbentuk.
-
Bagaimana nasi jadi makanan pokok orang Indonesia? Saat era pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia pernah menjalankan program swasembada pangan lewat masifnya pembangunan sektor pertanian. Beras jadi komoditas utama yang dibudidayakan buat memenuhi kebutuhan pangan dalam skala besar.
-
Kenapa orang Indonesia makan nasi? Alasan pertama yang paling mudah untuk menjelaskan kecintaan orang Indonesia terhadap nasi adalah karena negara ini merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia.
-
Apa makna makan nasi di Indonesia? Nasi dan Kebijakan Pemerintah Peran pemerintah dalam menjadikan nasi sebagai makanan pokok sangat signifikan.
-
Kapan diet nasi pertama kali dikembangakan? Pada dekade 1940-an, Walter Kempner mengembangkan diet nasi sebagai solusi untuk menangani hipertensi maligna, kondisi yang ditandai dengan tekanan darah yang sangat tinggi serta risiko gagal ginjal yang meningkat.
"Daripada susah-susah menanam jewawut, talas, ubi, singkong, atau gembili, isi saja lumbung dengan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat," katanya.
Padahal, sebelum nasi menjadi makanan pokok, nenek moyang kita lebih banyak mengonsumsi sagu dan berbagai sumber karbohidrat lain seperti talas atau gadung. Namun, peralihan ke beras membawa dampak besar, salah satunya adalah adaptasi tubuh masyarakat yang harus beralih dari mengolah karbohidrat kompleks menjadi nasi sebagai sumber energi.
Nasi sebagai Simbol Gengsi
Pada masa kolonial, mengonsumsi nasi mulai menjadi simbol status sosial. Orang yang makan nasi dianggap lebih "keren" dibandingkan mereka yang mengandalkan jewawut, tiwul, atau ubi. Stigma ini diperparah dengan pelabelan yang merendahkan makanan lokal. "Orang yang makan jewawut dibilang mengambil jatah makanan burung, sementara yang makan tiwul dibilang ndeso," tambah Roby.
Virginia Kadarsan, seorang peneliti pangan, juga menyoroti stigma tersebut. "Orang yang makan ubi atau singkong sering dianggap kampungan," katanya. Ironisnya, stigma ini bertahan hingga kini, terutama di wilayah-wilayah luar Jawa, di mana bahan pangan seperti mi instan dan beras dianggap lebih bergengsi dibandingkan makanan lokal mereka sendiri.
Kebangkitan Makanan Lokal
Meski nasi mendominasi, Indonesia belakangan ini mengalami kebangkitan terhadap makanan tradisional dan lokal. Tama, seorang pengamat kuliner, melihat fenomena menarik di kalangan masyarakat urban. Makanan tradisional kini menjadi sesuatu yang prestisius.
“Papeda dari Papua dibawa ke Jakarta, coto dari Makassar masuk ke Jakarta, dalam konsep resto yang high-end. Berdasarkan kajian Food Culture Alliance, ada fenomena sosial bahwa orang Indonesia menyukai eksplorasi rasa," ungkap Tama.
Roby menambahkan bahwa makanan juga menjadi cara untuk mengenal budaya lain. "Misalnya, untuk mengenal orang Yogya, kita akan mencicipi gudeg. Apalagi, sejak kecil kita terbiasa bertemu dengan teman dari latar belakang budaya berbeda, sehingga kita ingin tahu makanan mereka," katanya.
Fenomena ini, menurut Roby, juga dipicu oleh involuntary memory atau memori tak sadar yang membawa seseorang kembali pada cita rasa masa kecilnya. Ia mencontohkan orang Manado yang merindukan menu khas seperti ikan woku, sambal dabu-dabu, dan lalampa. “Di tempat barunya, mereka akan mencari memori masa kecil itu. Itulah kenapa orang Bugis sering berkumpul di Kelapa Gading, karena makanan khas mereka banyak ditemukan di sana," jelasnya.
Tantangan Kelestarian Pangan Lokal
Namun, di tengah kebangkitan ini, pangan lokal menghadapi tantangan besar. Tama menekankan pentingnya harmoni antara pola makan gizi seimbang dan budaya pangan lokal untuk keberlanjutan. Selain mendukung diet berkelanjutan, pola makan berbasis lokal juga membantu mengurangi emisi karbon akibat rantai distribusi yang panjang.
“Seandainya beras tidak tersedia di Nusa Tenggara, kenapa masyarakat Nusa Tenggara harus membeli beras dari Jawa? Distribusi yang panjang akan menyumbang gas emisi rumah kaca,” tegas Tama.
Jaqualine Wijaya, CEO Eathink, menambahkan bahwa pola pangan sehat harus melibatkan bahan pangan yang ditanam secara lokal dan hasil hutan yang diambil secara bertanggung jawab. “Jangan sampai merusak ekosistem. Apalagi, makanan lokal yang beragam dapat menambah bakteri baik dalam tubuh yang bermanfaat untuk kesehatan," ujarnya.
Untuk mendorong konsumsi pangan lokal, Jaqualine menyebut perlunya menghilangkan stigma terhadap makanan lokal. "Jangan hanya disantap saat upacara adat, tetapi juga untuk kebutuhan sehari-hari," katanya.
Bicara soal pangan lokal, Jaqualine menyebutkan dua sumber. Pertama, bahan pangan yang ditanam, lalu hasilnya dipanen. Kedua, bahan pangan yang sudah tersedia di alam, misalnya hutan.
“Jika ingin mencapai pola pangan sehat, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hasil hutan pun harus diambil dengan bertanggung jawab, jangan sampai merusak ekosistem sekitarnya. Sementara dari segi pertanian, kita bisa menerapkan agroekologi yang mendukung biodiversitas. Apalagi, sumber makanan yang beragam akan membantu menambah bakteri baik dalam tubuh yang berguna dalam menjaga kesehatan,” kata Jaqualine, yang belum lama ini bersama Eathink merilis panduan gaya hidup SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, Sadar).
Tantangannya, menurut Jaqualine, bagi masyarakat di luar Jawa, mi instan dan beras lebih bergengsi daripada makanan lokal mereka sendiri. Mereka akan merasa bangga, jika bisa membeli dua bahan pangan itu. “Bukan melarang, tapi kita perlu mendorong lebih banyak konsumsi pangan lokal. Jangan hanya disantap ketika upacara adat saja, melainkan juga untuk sehari-hari.”
Makanan Lokal dalam Rangkaian Tradisi
Meski tantangan ada, makanan lokal tetap memiliki tempat penting dalam budaya Indonesia, bahkan sejak zaman dulu. Roby mengingatkan bahwa bukan baru sekarang makanan Nusantara naik kelas. Pada Konferensi Meja Bundar di Belanda, makanan khas Nusantara sudah disajikan untuk perjamuan, menegaskan bahwa makanan tradisional memiliki posisi yang layak di panggung internasional.
“Pada tahun ’70-an hingga ’90-an, budaya pangan kita menjadi sangat Amerika karena masuknya makanan cepat saji. Namun, pasca reformasi, ada rasa kebanggaan bahwa makanan Nusantara itu keren. Fine dining pun mulai mengangkat makanan lokal sebagai sesuatu yang eksklusif,” ungkap Roby.
Sejarah panjang konsumsi nasi di Indonesia adalah cerminan bagaimana budaya pangan terus berkembang, dipengaruhi oleh politik, sosial, dan ekonomi. Namun, di tengah dominasi nasi, kita tidak boleh melupakan ragam pangan lokal yang kaya akan sejarah, nutrisi, dan filosofi.
Merayakan makanan lokal bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga cara untuk melestarikan budaya dan menjaga keberlanjutan. Seperti yang dikatakan Tama, "Kita harus kembali ke selera asal, tidak hanya untuk menghormati warisan leluhur, tetapi juga untuk masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan."