Bambu Runcing dalam Revolusi Indonesia

Merdeka.com - Dikenalkan oleh tentara Jepang, bambu runcing kemudian menjadi alternatif bagi para pejuang Indonesia yang kekurangan senjata api.
Penulis: Hendi Jo
Pasca 17 Agustus 1945, semangat orang-orang Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan sangat tinggi. Sayangnya, semangat yang bergelora itu tidak didukung oleh adanya persenjataan yang cukup.
Menurut A.H. Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Bagian I, menjelang tentara Belanda datang ke Indonesia, jumlah senjata api yang dimiliki para pejuang kita hanya sepuluh berbanding satu. Artinya dari sepuluh pejuang Indonesia hanya satu orang yang memegang senjata api.
"Dengan hanya senjata yang hanya cukup untuk 15 resimen, kita telah membentuk 16 divisi dengan lebih dari 100 resimen dan 400 batalyon," ungkap Nasution.
Dalam situasi paceklik senjata api itu, bagi para pejuang Republik tak ada jalan lain kecuali menggunakan bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Selain mudah disediakan (pohon bambu sangat banyak tumbuh di Indonesia), bambu runcing pun tidak repot cara penggunaannya.
Bambu runcing mulai dikembangkan sebagai alat untuk membunuh semasa pendudukan Jepang. Saat itu dikenal dengan sebutan takeyari. Aslinya senjata itu digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan.
"Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur," tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!
Semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944, almarhum Mayor Jenderal (Purn) Moestopo pernah menjadikan bambu runcing sebagai tema 'disertasi-nya'. Di hadapan para perwira tinggi Jepang, eks pimpinan Pertempuran Surabaya itu berhasil mempertahankan karya tulisnya yang berjudul ‘Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare’.
Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya ini malah mendapatkan pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu.
Banyak cara yang dilakukan oleh para pejuang Republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya 'bukan hanya sekadar bambu'. Dalam bukunya yang berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kyai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kyai Bambu Runcing. Julukan itu muncul karena Kyai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para pejuang republik di medan laga.
Uniknya, para petarung yang datang ke Parakan bukan hanya berasal dari kalangan santri. Para laskar yang tergabung dalam barisan kaum kiri juga mendatangi Kyai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya! Di antaranya adalah Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat di bawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu.
Selagi menjadi kepala staf Komandemen I TKR Jawa Barat (berpangkat kolonel), almarhum A.H. Nasution pernah memiliki kisah lucu terkait bambu runcing ini. Pada suatu hari di awal 1946, ia berkesempatan menemani Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo melakukan inspeksi ke Resimen XIII di wilayah Tanjungsari, Sumedang.
Begitu rombongan Pak Oerip sampai di lapangan, serentak komandan pasukan berteriak:
"Hormat senjataaaaa!!!"
Namun, bukan bedil yang diangkat melainkan bambu runcing. Pak Oerip membalas sikap hormat itu dengan khidmat layaknya seorang komandan tertinggi. Sambil berjalan memeriksa barisan pasukan bambu runcing tersebut, Pak Oerip masih sempat berbisik dalam nada gurauan kepada Pak Nas:
"Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?" katanya seperti tersua dalam buku A.H. Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan (Jilid III). (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya