Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Berlangsung Sengit, Ini Kisah Peristiwa Geger Pecinan yang Terjadi di Kartasura

Berlangsung Sengit, Ini Kisah Peristiwa Geger Pecinan yang Terjadi di Kartasura Geger Pecinan. ©2020 buku Geger Pacinan @Penerbit Kompas

Merdeka.com - Pada tanggal 9-10 Oktober 1740, terjadi pembantaian VOC terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Dalam peristiwa itu, pasukan VOC membakar rumah-rumah orang Tionghoa dan mengeksekusi mereka tanpa pandang bulu.

Pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia menjadi awal dari perang besar yang harus dihadapi VOC. Di kemudian hari, mereka harus menghadapi kuatnya persekutuan antara Mataram dengan Laskar Tionghoa.

“Sisa-sisa orang Tionghoa yang melarikan diri ke wilayah Jawa Tengah kemudian bergabung dengan kekuatan Mataram. Perang VOC melawan tentara gabungan Tionghoa-Mataram merupakan perang terbesar sepanjang sejarah VOC,” kata Sejarawan Universitas Negeri Semarang, Prof. Wasino.

Salah satu peperangan antara dua pasukan besar itu terjadi di wilayah Kartasura. Lalu seperti apa jalannya perang besar di wilayah yang saat itu menjadi Ibu Kota Kerajaan Mataram itu?

Perjanjian Jawa-Tionghoa

geger pecinan

©2020 Istimewa

Setelah melarikan diri ke Jawa Tengah, para pemimpin orang-orang Tionghoa bersumpah setia pada Raja Mataram, Sunan Pakubuwana II, untuk berjuang bersama mengusir VOC dari tanah Jawa. Sejak saat itulah, orang-orang Jawa Mataram dan Tionghoa berjuang bersama melawan VOC.

Namun pada tahun 1742, sumpah ini dilanggar sendiri oleh Pakubuwana II karena melihat kekalahan pasukan gabungan itu di beberapa tempat. Sang raja yang khawatir kemudian memutuskan untuk berbalik arah berada di pihak VOC.

Niat Pakubuwana II mengubah arah perjuangan ditentang oleh sejumlah petinggi Kraton, Panglima Perang, dan Bupati di bawah Mataram. Walhasil, konflik menjadi lebih rumit. Pasukan Raden mas Garendi dan pemimpin Tionghoa, Kapiten Sepanjang bergerak merebut Kraton Kartasura. Tanpa perlawanan, mereka berhasil menguasai alun-alun Kartasura pada 30 Juni 1742.

Pakubuwana II Melarikan Diri

geger pecinan

©2020 buku Geger Pacinan @Penerbit Kompas

Saat penyerangan itu, Pakubuwana bersama para prajuritnya melarikan diri ke Magetan dan kemudian pindah ke Ponorogo. Agar tak tertangkap musuh, dia melarikan diri lewat lubang kecil di belakang istana sembari dikawal VOC. Di tempat pengungsiannya, dia menyusun kekuatannya kembali.

Sementara itu di Kartasura, Raden Mas Garendri dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat IV. Selain itu, dia juga mendapat julukan “Sunan Kuning”. Namun dengan keberhasilan pasukan Tionghoa-Jawa menduduki Kartasura, perang ternyata belum berhenti. Di saat bersamaan, Pakubuwana II, VOC, dan pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat sedang menyusun kekuatan.

Serangan Balasan

geger pecinan

©2020 Istimewa

Setelah kekuatan gabungan terbentuk, pasukan gabungan Pakubuwono II, VOC, dan Madura menyerang Kartasura dari tiga penjuru. Cakraningrat menyerang dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga.

Karena serangan bertubi-tubi itu, Sunan Kuning dan pasukannya yang tersisa mengungsi ke arah selatan. Setelah itu, Kraton Kartasura berhasil direbut oleh pasukan Cakraningrat. Setelah berdebat dengan VOC, Cakraningrat akhirnya mau menyerahkan kembali Kraton Kartasura ke tangan Pakubuwana II.

Karena harus berutang budi, kedudukan Pakubuwana II jadi lemah di mata VOC. Mulai saat itu, seluruh patih dan bupati yang akan diangkat olehnya harus terlebih dahulu mendapat izin VOC. Tak hanya itu, Mataram juga dipaksa menyerahkan sejumlah daerah yang dianggap strategis kepada VOC.

Terjadi di Berbagai Tempat

geger pecinan

©2020 merdeka.com

Tak hanya di Kartasura, perlawanan pasukan Tionghoa-Jawa terjadi di berbagai tempat, baik itu sebelum meletus geger pecinan di Kartasura maupun sesudahnya. Tercatat, pertempuran antara Jawa-Tionghoa dengan VOC terjadi di Jepara, Rembang, Demak, Semarang, dan merambah hingga wilayah Jawa Timur.

“Mereka bertempur dengan sengit hingga banyak korban berjatuhan. Laskar Tionghoa mengandalkan kungfu dan silat, sementara tentara Mataram mengandalkan kuda dan pedang,” jelas sejarawan Tionghoa asal Semarang, Tjong Ki Thio. (mdk/shr)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP