Diskriminasi Warna Kulit, Dari Naskah Drama hingga Kebijakan Kolonialisme
Mulanya, orang-orang Eropa tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai Whites.


Diskriminasi Warna Kulit, Dari Naskah Drama hingga Kebijakan Kolonialisme

Mulanya, orang-orang Eropa tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai Whites. Tidak pula melihat whiteness yang mereka miliki sebagai nilai lebih.

The Triumph of Truth
Awalnya, kata “putih” ditujukan kepada orang-orang Eropa dan pertama kali digunakan oleh Thomas Middleton dalam naskah drama The Triumph of Truth yang dipentaskan pada awal abad ke-15.
Cerita Raja Afrika
Naskah The Triumph of Truth menceritakan seorang raja di Afrika yang sedang berada di tengah orang-orang Inggris dan berujar, “Saya melihat keheranan di wajah orang-orang kulit putih ini”.
Dalam sebuah drama, karakter yang berkulit gelap digambarkan dengan ciri fisiknya seperti “kehitaman” atau “coklat keabu-abuan”. Namun, deskripsi ini tidak dimaksudkan membedakan atau menganggap mereka lebih rendah dari orang kulit putih. Deskripsi kulit hitam merujuk ke banyak kelompok, seperti orang-orang Spanyol, Arab, dan India.
How ‘white people’ were invented by a playwright in 1613

Lalu, Kenapa Terjadi Diskriminasi Warna Kulit?
Menurut Geraldine Heng, hal itu terjadi karena adanya proses yang disebut sebagai race-making (pembentukan ras).
The Invention of Race in the European Middle Ages
.
Tekanan Konstruksi
Proses tersebut yang berujung pada praktik dan tekanan untuk mengonstruksi identitas manusia, menjadikan adanya tingkat yang lebih tinggi pada suatu kelompok manusia dibanding kelompok manusia lainnya.

Hermeneutic Blackness, "Putih" Jadi Patokan
Dalam buku Seeing Beauty, Sensing Race In Transnational Indonesia karya L. Ayu Saraswati, ternyata "putih" menjadi patokan sudah terdapat pada kisah Ramayana.

Sita dan Rawana
Contohnya, kisah Ramayana yang mengasosiasikan putih sebagai warna kebaikan, dengan menggambarkan tokoh Sita (tokoh protagonis) sebagai perempuan berkulit putih yang cantik bercahaya. Kebalikannya, Rawana (tokoh antagonis) dideskripsikan berkulit gelap dengan pandangan mata menakutkan seperti “ular berbisa yang berbahaya”.
Hermeneutic Blackness
Karena hal itu, citra positif “putih” dan citra negatif “hitam” terbentuk secara bersamaan. Citra negatif “hitam” itu adalah hasil hermeneutic blackness, sebuah tahap ketika "hitam" tidak hanya merujuk kepada ciri-ciri fisik, tetapi juga diasosiasikan dengan sesuatu yang buruk dan jahat. Proses ini menghasilkan perasaan negatif terhadap “hitam” yang merasuk ke dalam diri.
Dampak Kolonialisme
Diskriminasi warna kulit tersebut berkembang seiring dengan kolonialisme. Hal itu bisa terlihat dari pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakatnya menjadi tiga kategori: Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Tiga kategori itu secara harfiah merujuk pada tempat, namun memiliki konotasi ras.
"Putih" Superior
Selama era kolonialisme Belanda, citra "putih" yang superior semakin berkembang dan menguat melalui kebijakan segregasi rasial itu. Kelompok kulit putih (orang-orang Eropa) digambarkan sebagai simbol moralitas, keberadaban, dan berorientasi maju. Citra serba baik di masa kolonialisme ini berlanjut hingga era kemerdekaan. Oleh kapitalisme, konstruksi ke-putih-an ini ‘dirawat’ di ruang publik melalui media massa.