Kisah Haru Mayor Jenderal TNI Beri Hormat pada Kolonel

Merdeka.com - Tidak lazim bagi anggota TNI, apalagi perwira tinggi, terlebih dulu memberikan hormat kepada perwira yang berpangkat lebih rendah. Kenapa Panglima Kodam Jaya mau memberi hormat pada seorang kolonel?
Soegito adalah salah satu Alumni Akademi Militer Nasional (AMN) angkatan 1961. Dia menggambarkan betapa beratnya pendidikan yang diterima sejak hari pertama tiba di Magelang.
Taruna Soegito juga tak pernah lupa akan jasa-jasa para pelatihnya selama di Akademi Militer. Mereka menggembleng para calon perwira tanpa kenal lelah di tengah segala keterbatasan. Namun semua itu justru membentuk mental dan persaudaraan para taruna
Menjelang kelulusan AMN, ada sidang komisi untuk penjurusan korps. Pilihannya masuk infanteri, kavaleri atau artileri. Setiap taruna masuk bergantian ke ruang sidang menghadapi beberapa perwira. Mereka akan menanyai minat dan pilihan para siswa akademi militer tersebut.
Tibalah giliran Soegito. Saat ditanya penguji, dengan mantap dia menjawab "Siap, ingin masuk kaveleri."
Alasan Soegito, ingin bertugas di satuan tempur lapis baja. Seperti pasukan Erwin Rommel sang 'Rubah Gurun' dari Jerman, atau armada tank Jenderal Patton dalam Perang Dunia II. Saat itu para Taruna AMN yang mempelajari sejarah militer umumnya sangat mengagumi kedua jenderal itu.
Lebih Cocok Jadi Stoottroepen!
Soegito boleh saja berkeinginan. Namun salah satu perwira di ruangan komisi yang bernama Letnan Soehirno menentang keinginan tersebut. Dia menegaskan Soegito lebih cocok masuk Korps Infanteri.
"Tidak, Taruna Soegito lebih tepat dan lebih baik ke Korps Infanteri saja dan kelak menjadi stoottroepen," kata Letnan Soehirno.
Stoottroepen adalah istilah dalam Bahasa Belanda. Pasukan pendobrak atau pasukan elite yang melakukan serangan awal. Pasukan ini yang kemudian hari dikenal sebagai pasukan elite dengan kualifikasi komando.
Kisah ini dituliskan Beny Adrian dalam buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen tahun 2015.
Soehirno rupanya tak ingin anak didiknya berpindah haluan. Dia melihat Soegito punya potensi besar menjadi perwira infanteri. Lagipula Soegito lebih senang berada di lapangan dan tidak suka berada di ruang sempit.
Mendengar itu, Soegito pasrah. Dia hanya menatap lurus ke depan. Buyar impiannya untuk berperang di atas tank, atau panser lapis baja dengan teknologi modern.
Pertemuan Mengharukan
Soegito dilantik tahun 1961 menjadi Letnan Dua Infanteri. Puluhan tahun karirnya dihabiskan di Korps Baret Merah Komando Pasukan Khusus yang saat itu bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tak salah rupanya ramalan Letnan Soehirno. Soegito benar-benar menjadi seorang stoottroepen atau pasukan pendobrak.
Soegito bertugas dari satu medan tempur ke medan tempur lainnya. Dari Sulawesi Selatan melawan pemberontakan Kahar Muzakkar hingga Operasi Militer di Timor Timur. Karirnya terus melesat hingga menjadi seorang perwira tinggi TNI AD.
Tahun 1986, Mayor Jenderal Soegito yang saat itu menjabat Pangdam Jaya bertemu kembali dengan Kolonel Soehirno. Perwira yang di AMN melarangnya masuk kavaleri dan memaksanya masuk infanteri.
Soegito langsung berdiri dengan sikap tegak sempurna dan memberi hormat pada Soehirno. Tak peduli pangkatnya kini jauh lebih tinggi.
"Terbalik, harusnya saya yang memberi hormat," kata Kolonel Soehirno saat melihat ada jenderal memberi hormat padanya.
Soegito menjawab lugas. "Kali ini saya tidak menghormati pangkat, tetapi saya menghormati Bapak sebagai sesepuh dan pelatih sehingga saya bisa seperti sekarang."
Soehirno tampak terharu. Dipeluknya mantan anak didiknya di Lembah Tidar itu dengan erat.
"Terima kasih," ucapnya lirih. (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya