Pertempuran Lengkong: Penyamaran yang Gagal Berakhir Gugurnya Dua Paman Prabowo
Merdeka.com - Setelah Proklamasi Kemerdekaan digaungkan, militer Indonesia segera melakukan perebutan kekuasaan dan senjata dari tentara Jepang. Para pemimpin keresidenan menyatakan diri sebagai bagian dari pemerintah Republik Indonesia. Segala tindakan yang menentang pemerintahan, ditindak keras.
Para pegawai Jepang dirumahkan. Dilarang memasuki kantor-kantor dan pada tahap selanjutnya para pemuda berusaha untuk merebut senjata dan gedung-gedung vital. Namun, upaya tersebut tidak selalu berjalan mulus. Contohnya dalam pertempuran yang terjadi Lengkong.
Menjelang berakhirnya Perang Pasifik, satu kompi pasukan Jepang membangun pertahanan di desa Lengkong, Serpong, sebelah Selatan Tangerang. Tempat tersebut dijadikan basis pertahanan menghadapi kedatangan Sekutu.
-
Mengapa Jepang gunakan perwira muslim? Agar pendekatan dengan orang muslim bisa berjalan dengan baik, pihak Jepang banyak menyebarkan perwira muslim sebagai agen informan mereka.
-
Kapan pemuda Medan Area bertempur melawan Sekutu? Salah satunya pertempuran Medan Area yang melibatkan pemuda pribumi melawan tentara Sekutu. Kejadian Awal Medan Area Melansir dari berbagai sumber, tentara Sekutu datang bersama NICA untuk mengambil alih pemerintahan pada tanggal 9 Oktober 1945.
-
Bagaimana para jawara banten melawan penjajah? Luar biasanya, para jawara tersebut mampu melawan kekuatan senjata berteknologi tinggi Belanda dan Jepang hanya dengan tangan kosong. Mereka sudah terkenal kebal sejak dulu, melalui ilmu tradisional yang digunakan dengan bijak.
-
Siapa pemimpin pasukan Jepang di Indonesia? Pasukan Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura berhasil menggantikan kekuasaan Belanda setelah melakukan invasi yang cepat dan efektif.
-
Siapa yang menjadi prajurit Panyutra di Kasunanan Surakarta? Dalam sebuah foto hitam putih yang diposting akun Instagram @sejarahjogya pada Rabu (22/5), tampak seorang anak kecil bertelanjang dada mengenakan sebuah kain untuk bawahan serta sebuah topi berbentuk aneh. Dijelaskan dalam keterangan unggahan bahwasanya topi itu merupakan lilitan ikat kepala bernama 'undheg-gilig'. Jejaknya disebut terlihat pada prajurit Panyutra (Kasunanan) dan Nyutra (Kasultanan).
-
Siapa yang masuk Taruna Nusantara? Acha, putri sambung Juliana Moechtar, memiliki paras yang cantik dan menawan.
Dalam buku Sejarah TNI Jilid I dijelaskan, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berusaha merebut persenjataan Jepang. Pada saat itu Tangerang ditetapkan sebagai kedudukan Resimen 4 Komandemen 1 Jawa Barat di bawah pimpinan Letnan Kolonel Singgih. Desa Lengkong berada dalam wilayah tersebut. Resimen 4 berusaha untuk merebut persenjataan yang ada di Desa Lengkong.
Pada 23 Januari 1946, Letnan Kolonel Singgih, Mayor Daan Yahya (Kepala Staf Resimen 4), dan Kapten Ejon berangkat ke Lengkong. Mereka meminta Jepang menyerahkan senjata. Namun, Kapten Abe yang merupakan komandan pasukan jepang di Lengkong, menolak keras. Kapten Abe menunggu kedatangan Sekutu untuk menyerahkan senjata.
Pada hari yang sama Letkol Singgih menghubungi Mayor Utaryo dan Mayor Wibowo di Kantor Penghubung Tentara. Dia meminta bantuan kepada kedua perwira ini untuk mengambil senjata Jepang di Lengkong. Utaryo dan Wibowo berusaha menghubungi Letnan Kolonel Miyamoto Shizuo (Perwira Staf Tentara Keenambelas Jepang), tetapi mengalami kegagalan.
Keesokan harinya, 24 Januari 1946, tersiar kabar pasukan Belanda yang telah menduduki Bogor sedang bergerak ke arah Parung. Jika Belanda berhasil menduduki Parung, maka Lengkong dengan mudah diduduki. Begitu pun dengan senjata Jepang.
Penyamaran Sebagai Tentara Sekutu
Singgih melakukan perundingan dengan Mayor Utaryo dan Mayor Daan Mogot selaku Direktur Akademi Militer Tangerang. Mereka sepakat melucuti senjata dengan bantuan para taruna Akademi Militer Tangerang. Jumlah taruna yang dikerahkan saat itu mencapai 70 orang. Sebagian sedang bertugas mengawasi rombongan APWI dan sebagian lagi sedang menumpas gerombolan 'Ubel-ubel' di Tangerang.
Sesuai rencana, pelucutan senjata dilaksanakan 25 Januari 1946 dan dipimpin Mayor Daan Mogot yang didampingi oleh Mayor Wibowo serta Letnan Subianto. Mereka berhasil tiba di Lengkong sekitar pukul 16.00. Dalam rangka mengelabui tentara Jepang, para taruna menyamar sebagai pasukan Sekutu yang bertugas melucuti senjata Jepang.
Penyamaran bahkan diperkuat dengan hadirnya delapan orang serdadu India Muslim bekas anggota pasukan Inggris yang sudah menyeberang ke pihak Indonesia dan mereka berperan sebagai perwira Sekutu.
Pada mulanya pelucutan senjata berjalan lancar. Tentara Jepang yang bertugas di pos penjagaan dengan mudah dilucuti oleh para taruna. Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo serta taruna Alex Sayuti bertindak sebagai penerjemah, segera bertemu Kapten Abe.
Sementara itu, para taruna yang berada di bawah pimpinan Letnan Subianto menyebar ke barak-barak tentara Jepang untuk memulai aksi pelucutan. Hanya dalam waktu singkat mereka berhasil menawan 40 orang Jepang dan merampas senjata mereka. Senjata yang sudah dirampas kemudian dikumpulkan di tengah lapangan.
Terdapat beberapa orang Jepang yang berhasil menghindar dari upaya pelucutan senjata tersebut. Selain itu, para taruna juga tidak mengetahui bahwa di Selatan dan Barat Laut markas terdapat sejumlah tentara Jepang.
Tentara Jepang curiga melihat aksi para taruna yang tampak tidak profesional. Para tentara Jepang berpendapat bahwa para taruna itu bukanlah pasukan Sekutu yang bertugas melucuti senjata mereka.
Serangan Balik Tentara Jepang
Di sisi lain perundingan antara Mayor Daan Mogot dan Kapten Abe berjalan alot. Sejak semula Kapten Jepang itu meragukan kedatangan pasukan Sekutu secara tiba-tiba. Kapten Abe lantas mengonfirmasi kedatangan ini kepada Letnan Kolonel Miyamoto dan dapat dipastikan yang datang ke Lengkong bukanlah pasukan Sekutu.
Kapten Abe segera menyusun siasat untuk membalikkan keadaan. Kepada Daan Mogot, Kapten Abe mengatakan akan menyerahkan senjatanya. Tetapi di saat yang bersamaan, dia menghubungi pasukannya yang ada di luar untuk mengadang para Taruna Akademi Militer Tangerang.
Ketika para taruna sedang mengangkut senjata yang berhasil mereka rebut, terdengar letusan pistol yang merupakan kode untuk pasukan Jepang memulai aksi penyergapan.
Dengan segera pasukan Jepang bergerak dari Selatan dan Barat Laut. Kemudian, tentara Jepang yang ditawan oleh para taruna pun ikut menyerang dan merebut kembali senjata mereka.
Mayor Daan Mogot segera meninggalkan ruangan perundingan dan berusaha menghentikan pertempuran. Tetapi sia-sia. Setelahnya, dia bergabung dengan pasukan taruna mengadakan stelling di perkebunan karet di sebelah Timur.
Pertempuran Tak Seimbang
Pertempuran berjalan tidak seimbang. Para taruna yang masih kurang pengalamannya harus menghadapi pasukan Jepang yang sudah terlatih. Senjata para taruna juga tidak sebanding dengan senjata yang dimiliki pasukan Jepang. Baik dari segi kuantitas, maupun kualitas.
Pertempuran baru berakhir menjelang senja dan mengakibatkan gugurnya Mayor Daan Mogot dan Letnan Subianto. Selain itu, terdapat 37 taruna gugur dan 35 orang tertawan. Terhitung hanya 3 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Jumlah ini jelas terbilang banyak. Hal serupa juga dinyatakan oleh Saleh As’ad Djamhari dalam buku Ikhtisar Sejarah ABRI 1945-Sekarang.
Untuk diketahui, dua korban yang gugur dalam pertempuran tersebut adalah paman dari Prabowo yang saat itu berpangkat Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Satu Soejono Djojohadikoesoemo. Lalu pangkat mereka dinaikkan menjadi Kapten Anumerta. Kisah ini pernah diceritakan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
"Yang banyak tidak tahu, paman saya, namanya Subianto. Itulah nama yang saya sandang sekarang, Prabowo Subianto,” kata Prabowo saat menerima penganugerahan Warga Kehormatan Utama Korps Brimob Polri di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jumat (12/11/2021).
Kedua paman yang gugur dalam usia muda tersebut diceritakan Prabowo dalam biografinya, Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.
Setelah mengetahui kegagalan operasi di Lengkong, Resimen 4 bermaksud melakukan serangan balasan, tetapi tidak jadi dilakukan karena terdapat taruna yang masih menjadi tawanan. Maka dari itu, diadakan perundingan antara pihak Jepang dan Indonesia pada 27 Januari 1946.
Perundingan itu menghasilkan keputusan pembebasan tawanan, pengembalian jenazah dan senjata Indonesia. Setelah itu, jenazah para taruna yang gugur dipindahkan ke pemakaman dekat dengan markas.
Reporter Magang: Muhammad Rigan Agus Setiawan (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Peristiwa berdarah di Tebing Tinggi, merupakan perjuangan para pemuda melawan penjajah pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaBerikut kesaksian pilu anggota KKO TNI AL saat berjuang di operasi Dwikora hingga nyaris meregang nyawa. Simak informasinya.
Baca SelengkapnyaPertempuran Tengaran terjadi pada masa Agresi Militer II, tepatnya sekitar tanggal 25 Mei 1947
Baca SelengkapnyaApa tujuan para pemuda menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok?
Baca SelengkapnyaBeberapa nama perwira TNI alumni AKABRI 1970 yang gugur di Operasi Seroja.
Baca SelengkapnyaPemberontakan G30S/PKI juga meletus di Semarang. Brigjen Suryo Sumpeno mengerahkan panser dan tank untuk mengusir mereka.
Baca SelengkapnyaKonflik bermula ketika seorang penghuni hotel merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh pemuda Indonesia.
Baca SelengkapnyaKapten yang terpengaruh G30S/PKI itu menodongkan senjata pada Brigjen Suryo Sumpeno. Bagaimana cara untuk lolos?
Baca SelengkapnyaUniknya, ada dua lulusan PETA Bogor yang kemudian meraih bintang lima dan mendapatkan pangkat kehormatan jenderal besar.
Baca SelengkapnyaBambu runcing adalah simbol perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Baca SelengkapnyaTepat hari ini, 20 Oktober pada 1945 silam, terjadi pertempuran besar setelah kemerdekaan Indonesia yang disebut Pertempuran Ambarawa.
Baca SelengkapnyaMenhan Prabowo Subianto bertemu dengan mantan anak buahnya yang terlibat dalam Operasi Mapenduma di Papua.
Baca Selengkapnya