Profil
Irawati Kusumorasri
Irawati Kusumorasri dan seni tari, khususnya tari Jawa, adalah dua sisi pada satu keping mata uang. Dedikasi, kecintaan dan prestasi Kusumorasri pada seni tari dan budaya Jawa sudah sangat diakui banyak kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Nama seniwati kelahiran Solo, 1963 silam sudah banyak mengharumkan nama daerah dan bangsanya dalam berbagai misi kebudayaan ke mancanegara seperti Jepang, Perancis, Inggris, Malaysia, Jerman, Rusia, Kamboja, dan Belanda.
Sudah menggembleng diri dalam dunia gerak dan tari sejak berusia 5 tahun, Ira, panggilan akrabnya, belajar menata gerak di Prangwedanan, lingkungan istana Mangkunegaran, bersama Ibu Kus serta Ibu Bei Mintoraras. Di bawah asuhan kedua guru tersebut, bungsu dari pasangan Sudiyatmo dan Sri Wulan ini menguasai berbagai jenis tarian Jawa klasik seperti Srimpi Anglir Mendung, Srimpi Moncar, Gambyong, Mondraswara, Mondrokusumo, Mondorini, dan Langendriyan.
Beranjak dewasa, alumni Program Pasca Institut Seni Indoensia ini memusatkan segenap perhatian dan tenaganya untuk melestarikan dan mengembangkan budaya leluhurnya sendiri. Di samping unjuk keluwesan di hadapan para turis yang berkunjung ke Pura Mangkunegaran, hidup Irawati Kusumorasri diabdikan untuk mendidik anak-anak di kota Solo dan sekitarnya sebagai calon pewaris seni tari Jawa.
Entah sembari berkelakar atau justru sangat serius, Ira sempat berkomentar bahwa sanggar tari yang diasuhnya bersama beberapa rekan seniman lain adalah yang termurah di Indonesia: Rp 20.000 saja dan anak-anak sudah bisa belajar berbagai macam seni tari Jawa langsung dari tangan para maestro gerak ini. Jelasnya, ibu dua anak ini teguh berkeyakinan merupakan dosa dan kesia-siaan besar jika ilmu dan keterampilan menarinya berhenti hingga di batu nisan tanpa bisa menarikan generasi berikutnya.
Di antara sederet karya besar Irawati Kusumorasri yang sudah digelar d mancanegara antara lain Oncot Srimpi Topeng Sumunar (1994), Operet Timun Emas (1996), Obong (1997), Beksan Sekar Ratri Srimpen Kendi Sekar Putri (1999), Bedhaya Kakung “Siguse” (2000), dan Sekar Jagad (2002).
Riset dan analisis: Rifqy Baharudin - Mochamad Nasrul Chotib