Menyulam Udara Sejuk di Kedai Bojonegoro, Menyiapkan Warisan Berharga untuk Anak Cucu
Sejumlah anak muda di Bojonegoro meyakini bahwa pohon adalah sumber kehidupan masa kini dan masa depan.
Percik gerimis tak membuat sejumlah muda-mudi mengurungkan niat mengunjungi Kokobo Dander Forest, kedai kopi atau kafe di tengah hutan Perhutani KPH Bojonegoro, pada Minggu (24/11/2024) siang. Lokasi kafe ini cukup jauh dari jantung kota Bojonegoro, namun sejumlah pengunjung setianya justru datang dari kota atau kecamatan lain yang jaraknya jauh. Motif kedatangan mereka pun beragam. Ada yang ingin menikmati produk kopi racikan ahli, bikin konten, hingga melakukan aksi menanam pohon.
Qisti (29), salah satu pengunjung setia Kokobo asal Kabupaten Tuban mengatakan bahwa suasana sejuk dan teduh menjadi alasan kuat ia selalu balik ke kafe itu. Salah satu ikon Kokobo ialah pohon pule raksasa berusia ratusan tahun.
“Aku jarang menemui coffee shop yang memiliki pohon-pohon, khususnya di Bojonegoro. Nongkrong di Kokobo itu adem dan tentram, apalagi juga cukup jauh dari hiruk-pikuk kota. Aku bisa menikmati kopi sambil ngobrol seru dengan teman-teman tanpa kepanasan,” ungkap gadis yang berprofesi sebagai YouTuber itu, Sabtu (23/11/2024).
Seperti Qisti, Faizal (29) juga merasakan daya magis pepohonan terhadap kejernihan pikiran dan ketenangan hati. Keberadaan pepohonan di kafe menjadi pertimbangan kuat Faizal untuk berkunjung.
“Baru pertama kali ke sini, istri sudah lama mengajak tapi baru kesampaian sekarang soalnya jauh dari kota (pusat Kabupaten Bojonegoro). Bener-bener bisa merasakan berada di tengah hutan, udaranya juga lebih sejuk daripada di kota. Setelah kopi susu habis, tadi aku keliling motret pohon-pohon besar,” ungkapnya, Minggu (25/11/2024).
Pohon-pohon Pelindung
Lebih dari sekadar estetik untuk konten, pohon-pohon besar di Kokobo ternyata memiliki peran yang sangat krusial bagi ekosistem setempat. Pengelola Kokobo Dander Forest, Anang Ma’ruf (32) mengatakan bahwa pohon-pohon besar di sekitar kafenya juga menjadi pelindung bagi mata air terdekat serta bagi pohon-pohon kopi yang ia tanam.
“Kami menanam kopi dan kakao di sini, karena memang Kokobo itu singkatan dari Kopi Kakao Bojonegoro. Selain itu, bersama teman-teman aktivis lingkungan, pemuda karang taruna, dan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), kami beberapa kali juga menanam pohon alpukat dan durian,” ungkap Anang, Minggu (24/11/2024).
Ketua Yayasan Daya Tumbuh Indonesia (YDTI) sekaligus koordinator aksi menanam pohon, Muthohar Hadib mengatakan bahwa penanaman pohon tidak hanya dilakukan di areal Kokobo, tetapi mencakup kawasan seluas 12 hektare milik Perhutani KPH Bojonegoro di Kecamatan Dander itu. Khususnya titik terdekat dengan mata air serta lokasi yang belum ada pohon besarnya.
“Pilihannya memang alpukat dan durian karena kami pengen bisa memberi contoh kalau menanam pohon itu juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Nanti kan buah alpukat dan duriannya bisa dijual dan pohon ini investasi jangka panjang untuk kelestarian lingkungan,” terang Adib, sapaan akrabnya, Minggu (24/11/2024).
Selain Kokobo, Kendalisada Creative Corner (KCC), sebuah kafe di tepi kota Bojonegoro juga dikelola dengan menaruh perhatian khusus pada isu lingkungan. Kafe ini juga memiliki cukup banyak pohon berukuran besar, seperti trembesi, cemara, hingga mangga. Keberadaan pohon-pohon besar ini membuat areal kafe sejuk dan minim polusi udara. Padahal kendaraan bermotor tak henti-hentinya melintasi jalan antarkecamatan di depan kafe itu.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pohon dan hutan memiliki jasa penting bagi lingkungan. Mulai dari menyerap karbon (salah satunya dari asap kendaraan bermotor), membantu proses stabilisasi tanah, adaptif terhadap efek kenaikan suhu yang merusak. Bahkan menjadi tempat yang menyediakan kesempatan bagi manusia untuk menenangkan diri, sebagaimana yang dirasakan Qisti dan Faizal saat berada di Kokobo maupun KCC.
Langkah Kecil
Menariknya, pengelola Kokobo dan KCC yang sama-sama memiliki visi tentang kelestarian lingkungan ini aktif berkolaborasi. Pengelola kedua kafe ini turut membidani lahirnya Yayasan Daya Tumbuh Indonesia (YDTI), lembaga swadaya masyarakat untuk isu lingkungan di Kabupaten Bojonegoro.
Jika Kokobo fokus pada kampanye dan aksi penghijauan, KCC memilih peran sebagai penggerak literasi lingkungan untuk para pengunjung dan masyarakat sekitar kafe.
“Belum lama ini kami menyelenggarakan kegiatan literasi lingkungan pilah sampah dari rumah, pesertanya warga sekitar dan kami undang juga sejumlah pelaku UMKM di Kabupaten Bojonegoro. Kami di sini punya mesin pengepul minyak jelantah, kami mengajak warga dan para pelaku UMKM untuk menyetor minyak jelantah ke sini, karena kalau dibuang akan mengurangi kesuburan tanah,” jelas Rian, pengelola KCC, Sabtu (23/11/2024).
Ada imbalan yang didapatkan oleh mereka yang menyetor minyak jelantahnya ke KCC. Pada mesin UCollect milik noovoleum (perusahaan rintisan pengepul minyak jelantah yang berbasis di Bandung Jawa Barat) ini terdapat kampanye tertulis “Ubah Minyak Jelantah Jadi Rupiah di Sini”.
Penyetor minyak jelantah akan mendapatkan imbalan berupa saldo di aplikasi UCollect. Melalui mesin pengepul minyak jelantah ini, KCC mengedukasi masyarakat bahwa sampah maupun limbah yang dikelola dengan bijak bisa menghasilkan cuan.
Apa yang dilakukan Anang di Kokobo Dander Forest dengan menanam pohon dan Rian di Kendalisada Creative Corner yang menyediakan mesin pengepul minyak jelantah memang baru sebentuk langkah-langkah kecil bagi permasalahan lingkungan di Kabupaten Bojonegoro yang kian hari kian kompleks.
“Sampai hari ini hutan di Bojonegoro kritis dan belum bisa dipulihkan, dampaknya banjir bandang dan kekeringan. Musim kemarau tahun ini ada 135 desa kekeringan. Penyebab terbesar bencana itu adalah perubahan tutupan lahan (banyak hutan gundul),” terang pegiat Yayasan Adopsi Hutan Jawa Timur (YAH-JT), Putut Prabowo melalui video konferensi, Senin (19/11/2024).
Putut menambahkan, kolaborasi lintas sektor menjadi faktor penting untuk menyelesaikan masalah lingkungan di Kabupaten Bojonegoro. Apalagi, kata dia, alarm bahaya sudah nampak. Dulu banjir hanya terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, sekarang trennya justru terjadi di kawasan selatan yang didominasi oleh hutan dan dataran tinggi.
“Banjir dan kekeringan memang bencana endemik Bojonegoro, tapi menurut sumber sejarah dulu saat kekeringan tetap ada sumber air yang bisa dijangkau masyarakat. Artinya walaupun kekeringan tapi tidak seekstrem sekarang,” ungkap Putut.
Cita-cita Besar
Senada dengan Putut, Kepala Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Kehutanan wilayah Jawa, Danang Kuncara Sakti menekankan pentingnya kolaborasi untuk menjaga kelestarian lingkungan. Apalagi saat ini, Indonesia bahkan dunia mengalami sejumlah persoalan besar terkait lingkungan, mulai kehilangan keanekaragaman hayati, polusi, hingga perubahan iklim.
Menurut Danang, ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut. Pertama menghindari deforestasi, kedua melakukan konservasi dan pengelolaan hutan lestari, ketiga restorasi hutan untuk meningkatkan serapan karbon.
“Mengatasi tingkat krisis dibutuhkan upaya bersama. Sektor pemerintah sebagai regulator memberikan koridor aktivitas melalui kebijakan, akademisi melalui penelitian dan inovasi, NGO (LSM) yang mendampingi masyarakat di tingkat tapak, dan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar hutan,” terang Danang pada acara bertajuk Konservasi dan Lingkungan Berkelanjutan: Inisiatif Hijau untuk Kehidupan yang Lebih Baik yang dihelat Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) di Kudus, Rabu (13/11/2024).
Masyarakat di sekitar hutan, kata Danang, diharapkan memiliki wawasan terkait pengelolaan hutan sekaligus melihat peluang bisnisnya. Kementerian Kehutanan RI meyakini bahwa aspek kelestarian lingkungan dan konservasi harus seiring dengan nilai ekonomi yang bisa dirasakan masyarakat. Jika tidak, upaya konservasi lingkungan sangat mungkin tak berjalan sesuai tujuan.
Seorang aktivis lingkungan yang enggan disebut namanya mengkritisi program konservasi hutan oleh Perhutani KPH Bojonegoro. Konservasi yang dilakukan Perhutani sering kali gagal karena kurang memperhatikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan.
“Biasanya mereka hanya menanam pohon-pohon besar seperti jati, kalau sudah cukup besar biasanya ditebang warga. Beda ceritanya kalau menanam alpukat, durian, dan pohon-pohon besar lain yang juga punya nilai ekonomi. Ini misalnya bisa dilakukan melalui program perhutanan sosial, tapi aplikasinya harus benar-benar berpegang pada tujuan konservasi dan upaya meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar hutan,” ungkapnya.
Sayangnya, penelitian kolaboratif yang dimotori CIFOR bersama World Agroforestry Centre, Biodiversity International, dan CIAT mengungkap bahwa lebih dari US$ 3 miliar hilang setiap tahunnya karena pembalakan liar yang terjadi di Indonesia saja. Padahal secara konservatif, hutan dan pohon di Indonesia menyediakan US$ 250 miliar dalam berbagai bentuk penerimaan – hutan, kayu bakar, makanan, obat-obatan dan hasil hutan nonkayu – dari sumber daya ini. Nilai penerimaan ini bisa menjadi jauh lebih besar dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Langkah-langkah kecil yang saat ini dilakukan di kafe Kokobo Dander Forest dan Kendalisada Creative Corner ialah upaya mewujudkan fungsi penting pohon dan hutan sebagai sumber kehidupan masa depan, yang melindungi manusia dari berbagai ancaman bencana sekaligus menjadi sumber cuan anak cucu.