Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Banyak kekerasan terhadap perempuan atas nama agama

Banyak kekerasan terhadap perempuan atas nama agama Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah. (merdeka.com/Islahuddin)

Merdeka.com - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 119.107 laporan kasus kekerasan terhadap kaum hawa sepanjang tahun lalu. Rinciannya, 113.1878 kasus kekerasan di ranah domestik, 5.187 di wilayah publik, dan 42 lainnya di ranah negara. Dari jumlah itu, 95 persen adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Menurut ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, persoalan pokok kekerasan terhadap perempuan masih belum tersentuh karena minimnya pemahaman dan penghargaan terhadap perempuan dari negara. "Penanganan dan pencegahan kekerasan masih tetap parsial. Belum terbangun sebuah sistem berperspektif hak asasi manusia dari sisi korban,” kata dia.

Berdasarkan laporan dari 395 lembaga layanan perempuan di Indonesia, perempuan korban kekerasan berusia 13-40 tahun. Tapi, kelompok paling rentan berumur 25-40 tahun. Sebanyak 87 kasus berorientasi seksual sejenis dan transgender. Selebihnya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Bagaimana sebenarnya kekerasan terhadap perempuan ini terjadi, berikut penuturan Yunianti saat ditemui Muhammad Taufik dan Islahuddin dari merdeka.com di kantornya, Kamis (19/4):

 

Bagaimana kondisi perempuan Indonesia saat ini?

Isu serius perlu mendapat tangggapan adalah kekerasan terhadap perempuan, hingga saat ini jumlahnya sekitar 119 ribu kasus dilaporkan. Jadi kasus tidak dilaporkan menumpuk sekali. Dari kasus itu, lebih dari 95 persen kekerasan dalam rumah tangga. Inilah kalau bicara perjuangan Kartini dalam hitungan abad harus menjadi keprihatinan.

Apakah itu terjadi di seluruh Indonesia?

Iya, tapi banyak wilayah tidak ada datanya. Itu penting. Tidak adanya itu seperti di Papua, beberapa tempat di Sulawesi, Kalimantan, dan di tempat lain. Terus orang berpikir, berarti tidak ada kekerasan di sana. Bukan, justru kita harus bersedih karena data itu tidak ada. Bisa jadi di sana gerakan perempunanya lemah. Lemahnya bukan kerena fisik, tapi memang dukungan terhadap gerakan lembaga-lembaga perempuan semakin kecil.

Selain itu, di daerah-daerah, layanan untuk perempuan dan anak memang minim. Seperti di Kepulauan Tubelo (Maluku Utara). Untuk menyoal kasus, seseorang harus menyewa perahu cepat ke pulau lain dengan harga Rp 240 ribu sekali jalan. Orang miskin, bagaimana mau menyoal secara hukum? Dari pertemuan Komnas Perempuan didapatkan, banyak korban memilih mekanisme adat. Padahal mekanisme adat dan agama itu banyak tidak pro terhadap perempuan.

Data-data dari Komnas Perempuan kadang tidak sama dengan data sumber lain?

Sangat, kadang data temuan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga berbeda dan itu tidak apa-apa. Makanya di PBB pun ada tiga lapis pelaporan, laporan negara, laporan lembaga HAM, Komnas Perempuan dan sebagainya. Ada tiga lembaga HAM di Indonesia, Komnas HAM, Komnas Anak, Komnas Perempuan, di PBB disebut National Human Right institution (NHRI). Kemudian ada laporan dari CSO atau Lembaga Swadaya Masyarakat karena memang berpotensi berbeda.

Laporan negara bisa bilang bagus-bagus, lembaga HAM, karena dia lembaga negara tapi harus independen, dia bisa pandangan berbeda, demikian juga LSM. Memang itu untuk melihat kasus dari berbagai sudut. Kaca mata negara bisa berbeda dengan kaca mata korban. LSM kekuatannya membawa suara korban.

Apakah kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di kota-kota besar. Bagaimana dengan tingkat pendidikan pelakunya?

Ada lulusan luar negeri, S3, ada orang kaya terdidik, ada tidak bersekolah, itu tidak berpengaruh. Kota kecil, kota besar juga tidak berpengaruh, dia bisa ada di mana saja, korban dan pelakunya bisa siapa saja. Tidak ada signifikansi.

Bagaimana Anda melihat mekanisme adat tidak pro terhadap perempuan? 

Komnas sedang membuat pemantauan berbasis budaya. Dengan itu, kita memetakan problem perempuan berhadapan dengan adat istiadat. Di beberapa wilayah saat ini, ada sejumlah adat tidak mengenal konsep perkosaan karena orang melakukan hubungan seks di luar pernikahan solusinya adalah menikahkan. Padahal, bisa jadi itu kasus perkosaan. Bagaimana seorang perempuan harus kawin dengan pemerkosanya. Coba bayangkan, korban akan sangat-sangat benci.

Di wilayah mana itu?

Saya tidak bisa menyebutkan wilayahnya karena kami masih dalam tahap advokasi untuk adat itu.

Bagaimana dengan agama?

Agama juga tidak jauh berbeda. Tetapi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tidak meyerang lembaga-lembaga agama. Yang kita lakukan meminta lembaga atau tokoh-tokoh agama mendengar suara korban. Kita ingin banyak agama itu justru merespon situasi ketidakadilan pada masyarakat. Dimulai dengan mendengar suara korban, kemudian agama menjawab.

Kami ingin mengembalikan spirit itu, makanya kita meminta tokoh-tokoh agama mendengar suara korban, dan temuannya cukup menarik. Banyak kekerasan  dilakukan atas nama agama. Kita sudah bekerja sama dengan NU, Muhammadiyah, Katolik, Protestan, dan sekarang kita akan ke Hindu dan Budha.     

 

  (mdk/fas)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP