Bioskop pinggiran menunggu giliran menjemput ajal

Merdeka.com - Jakarta resmi kehilangan gedung bioskop. Gedung yang dimaksud adalah bangunan tersendiri yang sepenuhnya berfungsi menayangkan film. Saat ini 95 persen bioskop Ibu Kota dibangun di dalam pusat perbelanjaan.
Sebetulnya masih ada bangunan dengan kriteria seperti itu, misalnya saja Djakarta Theatre di Sarinah, Hollywood XXI di pelataran Hotel Kartika Chandra, serta Metropole XXI di Megaria. Bedanya, semua bangunan itu telah diambil alih kepemilikannya oleh Cineplex 21 Group, jaringan bisnis bioskop terbesar Indonesia.
Jangan salah, budaya menonton tentu masih hidup bahkan bertambah besar ceruk pasarnya. Buktinya tujuh film Indonesia tahun ini meraih lebih dari satu juta penonton, suatu capaian yang menggembirakan bagi pelaku industri.
Yang hilang adalah status bioskop sebagai ruang publik, arena kebudayaan anak muda, dan penanda sebuah kota, seiring pergesaran sikap para konsumennya. Penonton di negara ini punya pilihan lebih beragam untuk menyaksikan sebuah film, entah itu lewat bioskop, fasilitas streaming internet, maupun membeli DVD bajakan.
"Keputusanku menonton ke bioskop tergantung filmnya," kata Dedik Priyanto, pekerja kreatif 28 tahun asal Jakarta. Dedik mengaku tidak mempersoalkan menonton di bioskop tersendiri atau mal. Dia tak punya sentimentalitas apapun dengan bioskop tertentu.
"Memang kadang aku menghindari nonton di bioskop mal besar. Persoalannya simple saja parkirnya lebih ruwet," ujarnya kepada merdeka.com.
Persoalan serupa dialami banyak bioskop di kota-kota lain. Bedanya, Jabodetabek adalah barometer industri eksebisi film, mengingat 56 persen layar terdapat di kawasan megalopolis ini.
Bioskop merupakan mata rantai utama industri film mula-mula. Tempat pemutaran/eksibisi ini dulunya satu-satunya sarana publik bisa menikmati sebuah hiburan audio visual. Perkembangan zaman mengubah segalanya. Orang-orang kini memiliki banyak alternatif menyaksikan film.
Pangsa pasar gedung bioskop akhirnya tergerus untuk tidak dikatakan terpaksa mati satu per satu. Bioskop-bioskop di Jakarta turut menjelang takdir suram ini. Nama-nama besar seperti Bioskop Rivoli (Kramat Pulo), Orion (Glodok), Benhil, atau Djaja (Jatinegara) yang dulunya memiliki pamor sebagai pusat kebudayaan ibu kota, kini tinggal nama. Contohnya Roxy, yang namanya abadi, sebetulnya adalah nama sebuah bioskop yang bangunannya sekarang rata dengan tanah.
Dari 75 gedung bioskop yang bertahan di Jakarta, hanya dua bukan bagian dari jaringan korporasi besar XXI (Sudwikatmono), CGV Blitz (Korsel), dan Cinemaxx (Lippo). Dua bioskop independen itu adalah Mulia Agung dan Grand Theater di Pasar Senen. Merdeka.com menyambangi Bioskop Grand Theatre pekan ini. Kesimpulannya, bioskop Senen bisa dibilang hidup segan mati tak mau.
Fasilitas menonton di Bioskop Senen sangat buruk. Kegiatan di dalamnya malah sudah menyimpang jauh dari eksibisi film. Bioskop Senen bertahan berkat prostitusi serta perkumpulan homoseksual yang memakainya sebagai tempat kencan kilat. Tak ada hubungannya lagi dengan perkara film.
Perkembangan bisnis bioskop saat ini dinilai tidak sehat oleh Adrian Jonathan Pasaribu, kritikus film yang mengelola situs Cinema Poetica. Saat berbincang dengan merdeka.com, dia mengingatkan bahwa minimnya gedung bioskop alternatif - selain jaringan besar - akan berdampak pada keseragaman tontonan. Jangan lupa juga, jenis penonton yang paling dilupakan adalah kalangan menengah ke bawah, yang oleh biro pengiklan sering dicap penonton C dan D.
Di era Hindia Belanda hingga Orde Baru, bioskop masih menjangkau beragam kelas sosial. Metropole, Roxy, atau Bioskop Podium menyasar kelas menengah atas. Sementara Rivoli, Bioskop Wira, atau Benhil menyediakan tontonan untuk kelompok menengah ke bawah. Era itu sepenuhnya berakhir.
Bioskop Kresna di Kota Malang (c) sahrudin.wordpress.com
Situs filmindonesia.or.id dalam penelitian pada 2014 lalu mencatat, rata-rata harga tiket bioskop, sebesar Rp 43 ribu per orang, kini hanya bisa dijangkau konsumen menengah ke atas.
"Perkembangan bioskop di Jakarta sekarang terkosentrasi mengikuti pola pembangunan cluster pemukiman," kata Adrian. "Lokasinya saja sudah langsung memfilter siapa saja yang bisa menonton."
Djonny Syafruddin, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) merasa masalah bioskop ini sebetulnya sederhana. Belum ada itikad dari pemangku kepentingan menentukan seperti apa pola bisnis yang ideal.
"Apakah orang dilarang bikin bioskop banyak? Engga ada larangan untuk membuat bioskop sebanyak apapun," ujarnya seperti dikutip dari situs filmindonesia.or.id.
bioskop new majestic di Bandung (c) 2013 Merdeka.com
Soal bioskop di Jakarta yang bertumbangan, Djonny menyatakan itu hukum pasar. Masa depan bioskop ada di kota-kota kecil. Bioskop-bioskop luar Jawa misalnya. "GPBSI masih terus berupaya membangkitkan bioskop-bioskop di daerah, yang non-group (di luar grup Cinema 21 dan Blitz Megaplex - red)."
Pemerintah memiliki pandangan yang sejalan dengan pengusaha bioskop. Masalah besar industri perfilman adalah tidak banyak orang mengeluarkan uang untuk menonton secara legal. Solusinya: perbanyak jumlah bioskop. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), rasio layar berbanding populasi penduduk di Indonesia masih rendah. Rasio layar berbanding 100 ribu populasi Indonesia sebesar 0,4, jauh di bawah Malaysia, Thailand, atau Singapura.
Adrian skeptis pada gagasan memperbanyak jumlah bioskop. Topik soal bioskop harus membicarakan soal distribusi film. Dan kini terjadi penguasaan pasar oleh pemain-pemain tertentu. Bioskop di kota-kota kecil Jawa maupun luar Jawa, bukan anggota jaringan besar, harus menanti kesempatan memutar film yang sama dengan 21 atau Blitz.
"Suplai film itu masalah krusial. Tidak ada jaminan setelah berdiri bioskop penonton akan datang. Itu suplai dari mana? Belum lagi kita harus memikirkan orang untuk mengelola," kata Adrian.
Pada akhirnya Bioskop Senen, dengan harga tiket Rp 8 ribu, adalah anomali di luar keriuhan wacana perfilman Indonesia. Hanya waktu yang akan menjawab kapan bioskop ini sanggup bertahan sebelum menjemput ajal.
Baca juga seri liputan khusus bioskop:
Sisi gelap penuh lendir bioskop legendaris SenenBujuk rayu para pria kemayu di bioskop tak lakuSiasat bertahan bioskop alternatifVideo: Bioskop Grand Senen, sarang pria penyuka sesama jenis
(mdk/ard)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya