Jakarta Sesak Dalam Kepadatan
Merdeka.com - Deru sepeda motor menarik perhatian sekumpulan warga asyik bercengkrama di gang selebar 1,5 meter. Mereka bergegas bangun. Kemudian menggeser kursi untuk menyingkir sejenak memberi jalan. Mengucapkan kata "permisi" dan "maaf", kendaraan roda dua itu melaju di antara kumpulan warga. Obrolan pagi mereka memang sedikit terganggu. Tapi tidak ada rasa amarah, melainkan balasan senyum merekah.
Perkampungan itu begitu padat. Lokasinya berada di wilayah barat Jakarta. Jalan gang hanya cukup dilalui satu motor. Bila berpapasan maka pengendara harus bergantian menunggu giliran. Jangan berharap bisa melaju di atas 40Km/jam. Kemungkinan besar bisa jadi sasaran amukan warga.
Kurang lebih begitu gambaran kampung paling padat di DKI Jakarta. Namanya Kalianyar. Begitulah nama Kelurahan di sisi Banjir Kanal Barat itu. Secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
-
Bagaimana pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahun? Pertumbuhan penduduk periode 2020-2045 rata-rata sebesar 0,67 persen setiap tahun.
-
Apa yang dicapai oleh DKI Jakarta? Sebanyak 267 kelurahan yang berada di wilayah administratif DKI Jakarta kini telah sepenuhnya berpredikat sadar hukum.
-
Apa itu Kilangan di Banten? Konon, saat itu sudah ada pabrik gula dengan teknologi sederhana di wilayah Banten Lama bernama Kilangan. Kilangan ini merupakan tempat untuk menggiling tebu, dengan menggunakan batu besar serta tenaga hewan kerbau.
-
Dimana pemukiman padat di Jakarta Barat? Pemukiman di daerah Pesing Koneng, Kedoya Utara, Kebun Jeruk ini misalnya.
-
Kapan jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 324 juta jiwa? Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 324 juta jiwa di 2045 mendatang.
-
Siapa yang mengapresiasi DKI Jakarta? Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengapresiasi pemerintah DKI Jakarta yang berhasil mewujudkan pencapaian 100 persen Kelurahan Sadar Hukum.
Jalan Gang di Jakarta ©2021 Merdeka.com
Memasuki perkampungan itu, seketika kami disambut deretan rumah beraneka warna. Tembok-temboknya menjulang. Ukurannya tak begitu luas. Satu rumah rata-rata dua lantai bahkan lebih. Tak jarang tiap lantai diisi keluarga yang berbeda. Bahkan tak ada jarak antara rumah satu dengan lainnya. Begitu juga dengan jalan yang membentang di depannya. Sebagian rumah memang bibir pintunya langsung berciuman dengan jalan.
Jalan gang di Kalianyar memang tak begitu luas. Selain menjadi penghubung, jalan gang itu tempat masyarakat beraktivitas. Sebagian menjadi tempat usaha, seperti warung rokok dan warung makan. Ada juga warga memanfaatkan sebagai area parkir kendaraan. Beberapa bagian jalan malah tak dapat ditembus sinar matahari lantaran terhalang atap warung maupun rumah.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, per 31 Juni 2020, luas lahan DKI Jakarta sebesar 662.33 km2. Dengan total sebanyak 11.105.309 jiwa. Adapun tingkat kepadatan mencapai 16.767 jiwa per kilometer.
Kelurahan Kalianyar menduduki posisi puncak wilayah paling padat di DKI Jakarta dengan tingkat kepadatan mencapai 95.191 jiwa per km2. Tercatat ada 52.230 jiwa yang mendiami 2,29 km2 luas lahan kelurahan tersebut. Angka kepadatan ini sekitar 5 kali lipat angka kepadatan DKI Jakarta.
Kepadatan di Kalianyar memang tampak nyata. Ini bisa dilihat dari sebuah rumah berukuran 3x3 meter persegi dan memiliki tiga lantai, bisa dihuni 15-20 jiwa. Tiap lantai memiliki kepala keluarga. "Bayangkan kepadatannya," kata Lurah Kalianyar Daniel Azka Alfarobi saat ditemui merdeka.com di kantor, Jumat pekan lalu.
Tingkat kepadatan di Kalianyar tidak terjadi sekejap. Ada cerita panjang terjalin dari dulu hingga kini. Tiap perkembangan wilayah tersebut samar-samar terekam di benak Slamet, salah seorang tetua di Kalianyar. Pria kelahiran tahun 1965, itu mengaku merupakan generasi kedua yang menempati Kalianyar.
Slamet dan keluarga diboyong sang Ayah. Kapan persisnya waktu kepindahan mereka sekeluarga tidak diingat persis. Namun yang pasti, kala itu Kalianyar masih berupa rawa dengan jumlah penduduk masih jarang. Antara rumah satu dengan lainnya cukup berjauhan. Tiap rumah bahkan masih memiliki halaman. Tanah kosong pun masih luas. "Contohnya dari rumah saya, baru ada rumah lagi jaraknya bisa 15 meter. Sekarang terasa sesak banyak orang dan rumah" kata Slamet kepada merdeka.com.
Seiring perkembangan zaman, Slamet merasakan betul geliat pembangunan di Kalianyar. Menyaksikan perkampungan tersebut berubah dan kian ramai penduduknya. Dia melihat bagaimana jalan-jalan tanah tempat bermain menjelma jalan aspal. Pun tiap rumah sederhana berubah bangunan tembok, lalu tinggi menjulang.
Sebagai tetua di wilayah itu, dia merasakan perubahan perilaku dari bepergian dengan menggunakan obor sebagai penerang hingga kini Kalianyar diterangi listrik. Bahkan sekitar tahun 1970an, mulai dibangun jalan dan rumah-rumah marak dibangun. "Memang enggak langsung pesat. Sekitar 1980-an barulah orang-orang mulai ramai," ujar dia.
Harus diakui wilayah Kalianyar memang menarik para pendatang. Azka selaku lurah, mengungkapkan alasan utama wilayahnya ramai lantaran lokasinya dekat dengan pusat pemerintahan Ibu Kota. Dia menuturkan, jika ditarik garis lurus, maka jarak Kalianyar dengan Istana Merdeka dan Balai Kota Cuma berjarak 5 km.
Kedua, lanjut dia, selama ini Kalianyar merupakan salah satu daerah aman dari banjir. Meskipun letaknya yang persis berada di sisi Banjir Kanal Barat. Hal ini juga menarik orang datang. Tidak saja untuk tinggal, melainkan juga untuk menjalankan bisnis.
"Kalau di sini orang berlomba-lomba buka usaha konveksinya. Kata orang, secara feng shui bagus. Bentuk kepala naga ada," ungkap dia. Walau menarik bagi sektor usaha, kepadatan di Kalianyar juga memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya terkait dengan rentannya wilayah tersebut terhadap konflik sosial.
Infografis kepadatan Jakarta ©2021 Merdeka.com
Tanah Rawa Berubah Gedung
Setiap wilayah di DKI Jakarta memiliki wilayah padat penduduknya masing-masing. Kota Jakarta Timur punya Kelurahan kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara. Per Semester I 2020, jumlah penduduk Kampung Melayu tercatat sebanyak 8.645 dengan luas lahan 0,81 km2. Adapun tingkat kepadatannya mencapai 66.954 jiwa per km2.
Lurah Kampung Melayu Setiawan menjelaskan, kepadatan penduduk di wilayahnya merupakan suatu keniscayaan. Bagaimana tidak, setiap tahun jumlah penduduk yang merupakan penduduk asli Kampung Melayu terus bertambah, sedangkan jarang sekali ada penduduk yang pindah.
Umumnya warga Kampung Melayu cenderung tetap tinggal. Hal ini merupakan faktor dominan yang menyebabkan naiknya jumlah penduduknya, dibandingkan ada warga yang baru masuk. "Penduduk terus bertambah, sedangkan lahan kan tetap," jelas dia, kepada Merdeka.com.
Pak Otran, demikian dia akrab disapa merupakan salah satu warga yang sudah lama menetap di Kampung Melayu. Pria kelahiran tahun 1964 ini mengaku seluruh keluarganya lahir, tumbuh, dan menetap di Kampung Melayu. Dia ingat betul gambaran Kampung Melayu di masa kecil. Perubahan lanskap memang tidak dapat dielakkan demi memenuhi kebutuhan ruang hidup warganya.
Masih tergurat jelas dalam benaknya berbagai kenangan tentang Kampung Melayu yang penuh dengan kebun. Lahan-lahan kosong itu kemudian berangsur-angsur terkikis. Berganti bangunan benton. Beberapa dijadikan untuk lokasi pendidikan. "Kayak gedung SD. Dulu ini lapangan. Kita dulu sering main bola di sini," ungkap Otran saat ditemui pekan lalu. Memang kami bertemu di halaman sebuah sekolah dasar yang baru selesai dibangun.
Bergeser ke arah Jakarta Utara, wilayah paling padat terdapat berada di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing. Kelurahan dengan luas 2,28 km2 tersebut dihuni oleh 66.633 jiwa. Tingkat kepadatannya 54.660 jiwa per km2.
Perjalanan kami ke kelurahan tersebut membawa kami berjumpa Nani, atau kerap disapa ‘Eyang Nani’ oleh warga sekitar. Sapaan tersebut cukup beralasan. Lantaran perempuan berusia 70 tahun tersebut merupakan salah satu dari empat orang yang mendiami salah satu bagian di Kelurahan Tersebut.
Pertama kali dia tiba di Semper Barat tahun 1992, lahan yang bakal menjadi rumahnya masih berupa rawa. Kala itu, baru ada empat keluarga yang mantap membangun rumah di situ. Awal-awal kehidupan cukup penuh tantangan. Mereka harus membuat titian dari kayu agar tak perlu langsung menginjak rawa saat melintas.
Selain itu, listrik pun belum dialirkan ke rumah-rumah mereka. Saat itu, untuk menerangi malam-malam mereka, kelompok kecil itu mengandalkan pijar lampu sorot yang berasal dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Sampai akhirnya mereka mampu membeli tiang listrik sebagai modal untuk mendapat pasokan listrik.
Lambat laun, permukiman tersebut kian padat. Pendatang baru berbondong-bondong membeli lahan dan membangun hunian. Dia mengaku tak tahu pasti apa alasannya. Dia hanya bisa menduga-duga. Bisa jadi, lanjut dia, alasan orang-orang ramai datang karena situasinya yang kondusif.
"Alasan kenapa ramai, enggak tau juga. Mungkin senang ya di sini. Soalnya di sini saling bersatu. Siapapun kita saling tolong," ungkap Eyang Nani kepada merdeka.com.
Di sekitar rumah Eyang Nani memang terpantau padat bangunan. Hanya ada lorong-lorong kecil dengan lebar sekitar 1 hingga 1,5 meter. Lorong yang terbuat dari semen ini menjadi penghubung antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Dia mengakui, kini lahan yang dulu rawa itu mulai penuh diisi. Cuma beberapa bidang saja yang belum menemukan penghuninya.
Naiknya jumlah penduduk dan bangunan, tentu berdampak berkurangnya daerah resapan air. Ketika hujan datang, dia dan para tetangga menjadi langganan banjir. Meskipun banjir yang terjadi tidak begitu parah, tapi cukup menghambat aktivitas.
"Dulu pas masih rawa enggak banjir. Kalau sekarang banyak rumah, selalu terjadi banjir. Karena eggak ada penyerapan," ujarnya sambil menunjuk dipan setinggi hampir 1 meter sebagai penanda tinggi air yang masuk ke rumahnya.
Dari utara Jakarta, kami langsung melaju kendaraan roda dua mengarah ke selatan Jakarta. Wilayah ini memiliki Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, menjadi wilayah paling padat di Jakarta Selatan. Luas lahan Manggarai Selatan tercatat sebesar 4,50 persegi dengan jumlah penduduk 80.961. Tingkat kepadatannya 55.289.
Dari cerita salah satu warga, Basyuni, diketahui dulunya kawasan Manggarai Selatan berdiri di atas rawa. Hal inilah yang dia duga menjadi salah satu pendorong orang-orang datang. Lahan rawa inilah membuat harganya kala itu lebih terjangkau.
Dia enggan bercerita banyak tentang masa lalu kelurahan tempat dia tinggal. Hanya saja dia mengakui terjadi perubahan dari sisi lanskap dan kepemilikan lahan di Manggarai Selatan. "Ini dulu haknya orang Betawi. Sekarang dikuasai orang daerah lain," katanya sambil menunjukkan sebuah rumah.
Kepadatan penduduk, kata dia, menjadi lahan yang cukup subur bagi terjadinya konflik di tengah masyarakat. Wilayah itu terkenal sebagai tempat yang kerap terjadi tawuran antarwarga. Hal tersebut membuat munculnya pandangan buruk terhadap warga yang tinggal di Manggarai Selatan. "Dulu, kalau kita lamar kerja, kayak di mall, ditanya tinggal di mana, jawab di Manggarai Selatan. Bisa enggak diterima," ungkap dia.
Perkara kepadatan, dia berpandangan, pemerintah seharusnya punya rencana tata kota yang baik. Biar masyarakat tak asal membangun hunian. Sebab selain bisa menimbulkan kepadatan, juga memberikan pemandangan yang kurang bagus dari sisi estetika. "Orang ada tanah sepotong, dia bangun saja. Kadang enggak jelas juga mau menghadap ke mana. Harus diatur."
Beres mendatangi lokasi terpadat di Jakarta Selatan, kami pun menuju wilayah Jakarta Pusat. Di sini Kelurahan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, menjadi daerah terpadat. Luas wilayah Kampung Rawa sebesar 0,63 km2 dengan jumlah penduduk 23.153 jiwa. Adapun tingkat kepadatan 90.966 jiwa per km2.
Taufikurahman, salah seorang warga mengaku perubahan adanya perubahan cukup mendasar dari wilayah tempat dia tinggal. Ketika mulai tinggal di Kampung Rawa pada, masih belum banyak rumah. Rumah pun masih dibangun dari bahan kayu. Suasana pun masih sepi. Setiap malam dia dan warga masih menggunakan lampu petromak sebagai penerang. Lantaran belum dialiri listrik. "Belum banyak rumah masih bisa dihitung jari lah," ungkap Taufikurahman.
Kini kepadatan rumah di wilayah Johar Baru hampir sama dengan perkampungan padat lainnya. Lurah Kampung Rawa Ferry Zahrudin, menyebut bahwa sejak dulu memang wilayah dia pimpin merupakan menjadi paling padat di Jakarta Pusat.
Di masa lampau, memang sempat terjadi zaman kelam. Banyak warga kerap berkonflik hingga berujung tawuran. Seiring perkembangan, ada perubahan positif dalam kondisi masyarakat, yakni tidak lagi ditemukannya konflik antarwarga. "Sekarang sudah tidak ada tawuran," ungkap Ferry.
Kepadatan di Jakarta memang menjadi sorotan bagi Pemprov DKI. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan, berdasarkan hasil pendataan Pemerintah Provinsi DKI pada 2019, kepadatan Jakarta mencapai 118 kali lipat dari angka rata-rata nasional. Atau setara dengan 118 kali lipat bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 141 jiwa persegi hasil proyeksi penduduk tahun 2020 dibagi dengan luas daratan Indonesia.
Di mana luas DKI Jakarta sekitar 662,33 kilometer persegi. Jumlah penduduknya hingga tahun 2019 mencapai 11.063.324 jiwa. Termasuk di dalamnya Warga Negara Asing (WNA) sebanyak 4.380 jiwa. Kepadatan penduduk DKI Jakarta saat ini telah mencapai 16.704 jiwa per kilometer persegi.
"Di tempat ini ada kepadatan, ada kompleksitas, ada masalah informasi tata ruang yang amat kompleks. Karena itu pada 17 Januari 2018, kami meluncurkan sebuah program namanya Jakarta Satu, prinsipnya adalah Satu Peta, Satu Data, Satu Kebijakan, yang mengintegrasikan sehingga semua pengambilan keputusan berdasarkan data," ujar Anies beberapa waktu lalu.
Jakarta bakal terus berkembang. Menjadi lokasi untuk adu nasib maupun mencari peruntungan. Banyak kegagalan dan keberhasilan tercipta di ibu kota negara ini. Tentu saja di balik kemajuan, selalu mengekor masalah kepadatan penduduk. Masalah ini masih terus dicarikan solusi agar DKI Jakarta semakin ideal.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berdasarkan data dari World Population Review, jumlah penduduk DKI Jakarta sudah mencapai 11,248,839 jiwa.
Baca Selengkapnya7.649 Pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (KPK) di DKI Jakarta selama Juni 2024.
Baca Selengkapnyatertib administrasi kependudukan perlu diberlakukan demi kepentingan masyarakat secara luas
Baca SelengkapnyaBerdasarkan data BPS pada 2023, rata-rata kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 16.146 per km persegi. Sementara, Jakarta Pusat menjadi wilayah paling padat.
Baca SelengkapnyaBangunan kumuh yang berdiri sepanjang bantaran Kali Ciliwung di Jakarta semakin mencolok.
Baca SelengkapnyaPengangguran di jJakarta sudah mencapai 7 ribuan orang.
Baca SelengkapnyaPemprov DKI jamin proses urus pindah domisili bisa selesai dalam waktu sehari
Baca SelengkapnyaUrbanisasi besar-besaran di Jakarta dimulai pada tahun 1949, ketika Ibukota dipindahkan kembali ke Jakarta. Sebelumnya ibu kota berada di Yogyakarta.
Baca SelengkapnyaTren yang biasa terjadi adalah melonjaknya jumlah pendatang yang tiba di Jakarta
Baca SelengkapnyaBudi juga menyebutkan, saat ini terdapat 11.337.563 warga yang tinggal di Jakarta dan akan terus bertambah seiring dengan mobilitas penduduk yang dinamis.
Baca SelengkapnyaKondisi ini berakibat pada mengepulnya polusi di langit ibu kota.
Baca SelengkapnyaData Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, Jakarta menjadi provinsi penyumbang kasus tertinggi PHK.
Baca Selengkapnya