Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Memetakan Pemilih 2024, Siapa Bakal Coblos Anies Baswedan?

Memetakan Pemilih 2024, Siapa Bakal Coblos Anies Baswedan? NasDem deklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden. ©2022 Merdeka.com/Iqbal Nugroho

Merdeka.com - Dua pekan jelang masa jabatannya habis sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan resmi dideklarasikan Partai NasDem sebagai calon presiden untuk Pilpres 2024. Selalu berada di tiga besar hasil survei capres, mampukah Anies memperluas basis dukungannya? Bagaimana Anies keluar dari bayang-bayang politik identitas yang menjadi citranya selama ini?

Senin, 3 Oktober 2022, menjadi hari yang spesial bagi Anies Baswedan. Bertempat di NasDem Tower, kantor pusat DPP Partai NasDem, Surya Paloh mengumumkan keputusan partainya memilih Anies sebagai capres. Rakernas NasDem pada bulan Juni sebelumnya memutuskan tiga nama sebagai capres. Dua nama lainnya adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

"Kenapa Anies Baswedan? Jawabannya adalah why not the best?" ucap Surya Paloh menjelaskan alasan memilih Anies.

"Inilah kenapa akhirnya NasDem melihat sosok Anies Rasyid Baswedan. Kami yakin pikiran-pikiran dalam perspektif baik makro mikro sejalan dengan apa yang kami yakini. Kami titipkan perjalanan bangsa ke depan insyaallah jika Anies terpilih nantinya pimpin bangsa jadi bangsa lebih bermartabat," imbuh Paloh.

Anies mengaku menyambut ajakan dari Ketua Umum Surya Paloh dan kader NasDem lainnya demi jalan bersama untuk meneruskan membangun di negeri Indonesia. Dalam pidato singkatnya, Anies menyatakan siap berjuang bersama NasDem dan menerima ajakan Paloh menjadi capres.

"Dengan mohon rida Allah SWT dan kerendahan hati. Bismillah kami terima, kami siap jalan bersama," kata Anies.

Terbentur syarat presidential threshold 20 persen, NasDem ibarat baru memberikan setengah tiket kepada Anies. Partai Demokrat dan PKS dikabarkan bakal menjadi mitra koalisi. Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) digadang-gadang bakal menjadi pendamping Anies.

Tren Survei Anies Baswedan

Cara paling ampuh mengukur elektabilitas dan popularitas tokoh yang akan menjadi capres bisa dilihat dari survei-survei rutin yang dilakukan sejumlah lembaga survei.

Sejak awal 2022, posisi tiga teratas hasil survei capres selalu menempatkan Ganjar, Prabowo, dan Anies di posisi tiga besar. Dalam beberapa kesempatan, nama Anies sempat menyodok puncak peringkat. Namun, posisi Anies lebih sering konsisten ada di urutan ketiga.

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 5-13 Agustus menyimpulkan, Anies Baswedan menang jika Ganjar Pranowo tidak ikut Pilpres 2024.

Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengungkapkan, dari berbagai simulasi dalam survei, elektabilitas Anies konsisten berada di bawah Ganjar. Namun jika head to head dengan Prabowo, peluang Anies menang terbuka lebar.

Dalam simulasi 3 calon yang dilakukan SMRC, Ganjar mendapatkan 44,6%, unggul jauh dari Prabowo 25,7%, dan Anies 21,7%. Menurut Deni, Ganjar unggul secara meyakinkan karena selisih suaranya dengan dua calon lain melebihi dua kali margin of error survei tersebut, yaitu 3,1 persen.

Hasil tak jauh berbeda ditemukan oleh lembaga survei Indikator Politik dalam sigi yang dilakukan September lalu. Berdasarkan simulasi tiga besar tokoh, Ganjar unggul dengan elektabilitas 30%. Elektabilitas ini meningkat dari survei sebelumnya yang sebesar 24,9% pada Agustus 2022.

Sedangkan elektabilitas Prabowo dan Anies turun di posisi kedua dengan angka 22% dan Anies di posisi ketiga dengan elektabilitas 17,7%. Elektabilitas dua tokoh ini menurun dari survei sebelumnya yang masing-masing sebesar 22,9% dan 20,1% pada Agustus 2022.

Yang menarik adalah hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 8-13 Agustus lalu terhadap 1.200 responden berusia 17-39 tahun di 34 provinsi se-Indonesia. Anies bisa mengalahkan Ganjar dan Prabowo dalam simulasi dua nama kandidat atau satu lawan satu.

Anies Baswedan unggul (47,8%) dari Ganjar Pranowo (43,9%). Anies juga menang (48,6%) jika diadu dengan Prabowo Prabowo (42,8%). Sementara Ganjar Pranowo hanya unggul (47,2%) dari Prabowo Subianto (45%).

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes mengungkapkan ada perubahan atau perpindahan pemilih saat kandidat capres disimulasikan secara head to head.

"Kenapa terjadi seperti ini karena tadi ada switching, karena ada perpindahan dukungan pemilih dari dukungan sebelum-sebelumnya," kata Arya.

Menjelaskan Perilaku Pemilih

Dalam studi ilmu politik, ada tiga pendekatan yang selama ini menjadi basis dalam menganalisis perilaku pemilih atau voting behavior. Pertama, pendekatan sosiologis, kedua, pendekatan psikologis, dan ketiga, pendekatan pilihan rasional.

Pendekatan sosiologis pertama kali diperkenalkan oleh The Columbia Study pada tahun 1940. Model ini memperlihatkan bahwa ada pengaruh antara nilai-nilai sosiologis yang melekat pada masing-masing individu yang memengaruhi perilaku seseorang dalam politik. Nilai-nilai sosiologis tersebut berupa agama, kelas sosial, etnis, daerah, tradisi keluarga dan lain-lain.

Seperti dijabarkan Haryanto dalam tulisan 'Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih dalam Politik Lokal di Indonesia' yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 3, Maret 2014, nilai-nilai sosiologis ini dikaitkan dengan teori lingkaran sosial.

Setiap manusia terikat dalam berbagai lingkaran sosial seperti misalnya keluarga, tempat kerja dan pertemanan. Asumsi yang dibangun adalah, seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaan dan usianya. Konteks itulah yang mendefinisikan lingkaran sosial yang memengaruhi keputusan pemilih, disebabkan kontrol dan tekanan sosialnya.

Model sosiologis dapat memberi penjelasan yang sangat baik pada perilaku memilih yang konstan, artinya, pemilih melakukan pilihan yang sama berulang-ulang setiap pemilu. Penyebabnya, kerangka struktural masing-masing individu yang hanya berubah secara perlahan.

Sayangnya, pendekatan sosiologis ini gagal menjelaskan mengapa seorang pemilih bisa berpindah pilihan politik. Model ini tidak menjadikan individu sebagai pusat analisis. Lahirlah kemudian pendekatan psikologis yang disebut sebagai The Michigan Model. Model ini berkembang di awal tahun 1950-an.

Pendekatan psikologis mendasarkan perilaku pemilih pada keterikatan atau dorongan psikologis yang membentuk orientasi politik seseorang. Ikatan psikologis muncul karena perasaan kedekatan dengan partai atau kandidat. Persepsi dan penilaian individu terhadap kandidat atau tema-tema yang diangkat (pengaruh jangka pendek) sangat berpengaruh terhadap pilihan dalam pemilu.

Pendekatan psikologis menggunakan identifikasi partai (Party ID), orientasi kandidat dan orientasi isu sebagai faktor dalam keputusan individu.

Sikap atau keputusan individu, pada gilirannya, tergantung pada loyalitas kelompok dan orientasi nilai individu, serta rangsangan eksternal seperti pertemanan, media, kebijakan pemerintah, dan kegiatan kampanye.

Model ini menjelaskan, keputusan suara individu didasarkan dalam tiga sikap: partisanship (keberpihakan), pendapat terhadap isu, dan citra kandidat. Keyakinan inilah yang paling dekat pada keputusan suara dan karena itu memiliki dampak langsung dan sangat kuat terhadap perilaku memilih.

Partisanship sebagai salah satu konsep dalam pendekatan psikologis adalah kedekatan yang bersumber dari hubungan yang stabil dan bertahan lama dengan partai politik tertentu. Hal ini mengacu pada situasi di mana individu memilih kelompok rujukan, walaupun mereka tidak menyatu di dalamnya, dan mulai bertindak sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai aturan kelompok tersebut.

Identifikasi dengan partai disebut dengan istilah party ID, yakni perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, bahwa ia mengidentikkan dirinya sebagai orang partai tertentu, atau bahwa ia merasa dekat dengan partai politik tertentu.

Selanjutnya adalah pendekatan rational choice atau pilihan rasional. Pendekatan ini muncul sebagai jawaban atas perubahan-perubahan perilaku memilih yang tidak bisa dijelaskan oleh dua pendekatan sebelumnya, sosiologis dan psikologis.

Pendekatan ini berupaya menjelaskan perilaku memilih yang berhubungan dengan parameter ekonomi-politik. Premis utama model ini adalah semua keputusan yang telah dibuat oleh pemilih bersifat rasional, yakni dipandu oleh kepentingan diri sendiri dan diberlakukan sesuai dengan prinsip memaksimalkan manfaat.

Keputusan politik pemilih yang rasional senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai oleh partai atau kandidat yang disukai.

Pendekatan rasional pada dasarnya melengkapi pendekatan-pendekatan lainnya dan saling mempengaruhi. Ketiga pendekatan ini juga harus dilihat sebagai pendekatan probabilistik, bukan deterministik. Karena pada akhirnya, semua faktor memiliki pengaruh dalam keputusan politik individu.

Tren Perilaku Pemilih

Setelah reformasi, pemilu di Indonesia ditandai dengan dinamika pergerakan partisipasi pemilih baik di tingkat pusat dan lokal. Suara parpol pun mengalami naik turun dari pemilu ke pemilu.

Data KPU menunjukkan, partisipasi pemilih konsisten mengalami penurunan dengan rata-rata 10% pada pemilu legislatif kurun 1999-2009. Sedangkan saat pemilu 2014 dan 2019 digelar, partisipasi pemilih justru meningkat dari 71,31% menjadi 81,69%.

Pergeseran pemilih dari partai pemerintah ke partai oposisi menjadi fenomena pemilu legislatif. Seperti pada Pemilu 2014, Partai Demokrat mengalami penurunan sangat jauh hingga 11%, dan PKS mengalami penurunan 1%.

Sedangkan kubu parpol di luar pemerintah, mengalami kenaikan signifikan. PDIP mengalami peningkatan suara dari 14,03% menjadi 18,95% dan terpilih kembali menjadi partai pemenang pada pemilu 2019 dengan perolehan suara 19,33%.

Kemenangan SBY-JK pada Pilpres 2004 jadi bukti pemilih saat itu terpikat preferensi isu figur daripada isu partai politik. Apalagi, Pemilu 2004 menjadi momen pertama kalinya pilpres diselenggarakan langsung dari sebelumnya melalui sistem perwakilan di MPR. Kemenangan SBY-Boediono pada Pemilu 2009, dinilai karena pemilih Indonesia mulai bergeser menjadi lebih rasional dari sebelumnya cenderung psikologis.

Munculnya Jokowi pada Pilpres 2014, ditambah hancurnya citra Partai Demokrat karena kasus korupsi kader-kadernya, memperkuat persepsi publik dalam melihat kinerja partai oposisi dan preferensi pemimpin sipil merakyat sebagai antitesis politik pada pemilu 2014.

Kekecewaan publik terhadap partai politik pada pemilu 1999-2009 yang diwujudkan dalam apatisme berupa golput berubah pada pemilu 2014 dan 2019 menjadi partisipasi politik dan pilihan politik terhadap partai oposisi yang dianggap memberikan harapan.

Lantas bagaimana tren pemilih di Pemilu 2024? Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Kunto Adi Wibowo menilai, mayoritas pemilih pada pemilu mendatang merupakan kalangan 'tengah' atau yang moderat.

"Walaupun memang ada pemilih di sayap kanan, pemilih di sayap kiri, tetapi itu kan jumlahnya relatif lebih sedikit," ujarnya dalam perbincangan dengan merdeka.com pekan lalu.

Dalam pengamatan Kunto, Anies yang sudah punya modal kedekatan dengan pemilih dari kelompok kanan, sangat tepat menerima pinangan NasDem untuk menjadi capres. Anies butuh memperluas basis pemilihnya. "Nasdem bisa bawa konstituennya untuk Anies dan sebaliknya, konstituen Anies bisa ke NasDem," tukasnya.

Sementara Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani meyakini, jika nantinya duet Anies-AHY terbentuk, suara pemilih dari Indonesia bagian timur akan cukup besar. Sisa waktu saat ini masih cukup bagi Anies untuk menyapa langsung masyarakat sekaligus mengklarifikasi berbagai isu politik identitas yang selama ini disematkan.

"Lagi pula kehadiran Mas Ketum AHY sebagai pasangannya yang seorang nasionalis dan memiliki latar belakang TNI kami yakini akan mengeleminir isu ini. Karenanya paket Anies-AHY ini adalah paket ideal yang merepresentasi aspirasi perbaikan dan perubahan dan memiliki peluang terbesar untuk memenangkan kontestasi," jelas Kamhar.

Memperluas Basis Dukungan Anies

Selain di Jakarta, sebagian Jawa Barat dan Banten, Anies Baswedan dinilai belum mampu memperluas basis dukungannya. Dibutuhkan kerja ekstra keras bagi Anies agar bisa diterima oleh pemilih di Indonesia Timur.

Pengamat Politik Populi Center, Usep S Ahyar melihat, tantangan bagi Anies adalah menepis persepsi penggunaan politik identitas seperti di Pilgub DKI 2017 akan kembali terulang di Pemilu 2024. Sebagai capres, Anies diidentikkan dengan kelompok tertentu.

"Itu yang mungkin risiko publik melihat bahwa Pak Anies sudah menggunakan identitas tertentu, maka identitas lain yang berseberangan dengan identitas itu, atau yang dirugikan identitas di Jakarta itu, sedikit banyak akan melakukan block politik, termasuk juga di Indonesia Timur," papar Usep.

Fenomena mundurnya sejumlah politisi Partai NasDem di wilayah Indonesia timur, kata Usep, menjadi satu gambaran nyata adanya ketakutan elite politik di daerah terhadap peluang keterpilihan mereka di pemilu legislatif.

"Mungkin politisi akan melihat bahwa pemilih-pemilih itu anti terhadap politik identitas itu maka ya secara politik tidak menguntungkan maka elitnya itu akan segera mengambil jarak," ujarnya.

Usep menyarankan Anies mulai melakukan berbagai langkah strategis, salah satunya dengan mengambil hati pendukung Jokowi. Misalnya dengan janji akan melanjutkan program-program pemerintahan Jokowi.

"Karena pendukungnya Pak Jokowi di 2019 itu sangat banyak, maka kalau mau menang, saya kira Pak Anies jangan terlalu frontal dalam hal ini," ujarnya.

Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali yang dihubungi merdeka.com mengakui, citra Anies yang dipersepsikan sebagai bagian dari kelompok konservatif merupakan dampak dari polarisasi politik yang terjadi sejak Pilgub DKI 2017 dan berlanjut di Pilpres 2019.

"Kalau tak kenal maka tak sayang kan. Artinya nilai objektivitasnya tidak lagi kita kedepankan. Sehingga kenapa (NasDem) kemudian sepakat mengusung Anies, untuk menghindari politik identitas. Ini dampaknya kan dari Pemilu 2019, residunya sampai hari ini kita rasakan," ujarnya.

Mencalonkan Anies sebagai capres, kata Ahmad Ali, diniatkan NasDem untuk mengakhiri polarisasi itu.

"Kita ingin mengakhiri semua itu. Namun faktanya hari ini adalah, ternyata ada orang yang juga dianggap menjadi bagian dari politik identitas itu yang sampai hari ini dihukum, yang sampai hari ini tidak bisa termaafkan, dijadikan simbol sebagai orang yang intoleran itu Anies Baswedan," pungkasnya.

(mdk/bal)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Teka-Teki Soal Cawapres, NasDem: Kita Bikin Kuis Tebak Gambar Siapa yang Akan Mendampingi Mas Anies
Teka-Teki Soal Cawapres, NasDem: Kita Bikin Kuis Tebak Gambar Siapa yang Akan Mendampingi Mas Anies

Nanti gini, kita bikin kuis tebak gambar aja siapa yang akan mendampingi Mas Anies," katanya.

Baca Selengkapnya
NasDem Tidak Usulkan Cawagub Pendamping Anies, Ingin Jadi Mediator PKS dan PKB
NasDem Tidak Usulkan Cawagub Pendamping Anies, Ingin Jadi Mediator PKS dan PKB

NasDem berusaha menghormati PKS sebagai partai pemenang di Jakarta dalam pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
NasDem Sebut Anies Baswedan Sudah Daftar Pilgub Jakarta, Bersaing dengan Sahroni Untuk Diusung
NasDem Sebut Anies Baswedan Sudah Daftar Pilgub Jakarta, Bersaing dengan Sahroni Untuk Diusung

Perihal komunikasi dengan partai lain terutama dengan PDIP terkait Pilgub Jakarta, Hermawi mengaku sangat lancar.

Baca Selengkapnya
Muncul Baliho Anies Baswedan dengan AHY, Cawapres?
Muncul Baliho Anies Baswedan dengan AHY, Cawapres?

Anies menjawab munculnya baliho dirinya dengan AHY. Apakah itu merupakan sinyal AHY sebagai Cawapres?

Baca Selengkapnya
VIDEO: Jawaban Anies Hanya Dua Poros di Pilpres Buat Saya Itu Enggak Penting!
VIDEO: Jawaban Anies Hanya Dua Poros di Pilpres Buat Saya Itu Enggak Penting!

Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan menanggapi prediksi hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
NasDem Larang Anies Pilih Cawagub dari Kadernya, Ini Alasannya
NasDem Larang Anies Pilih Cawagub dari Kadernya, Ini Alasannya

NasDem menegaskan kepada Anies untuk tidak menunjuk calon wakil gubernur dari kadernya.

Baca Selengkapnya
NasDem Sering Komunikasi Ajak PKB dan PDIP Dukung Anies di Pilkada Jakarta
NasDem Sering Komunikasi Ajak PKB dan PDIP Dukung Anies di Pilkada Jakarta

Apakah PKB masih diperhitungkan untuk bergabung dengan NasDem dan PKS yang sudah mendukung Anies, Hal itu tinggal menunggu saja.

Baca Selengkapnya
Adian Napitupulu Gembira Anies Baswedan Maju Pilgub Jakarta: Bangsa Ini Tidak Kekurangan Orang Baik
Adian Napitupulu Gembira Anies Baswedan Maju Pilgub Jakarta: Bangsa Ini Tidak Kekurangan Orang Baik

Mantan aktivis 98' itu menjelaskan bahwa partai politik sedang menjalankan amanat konstitusi dengan mengusung salah satu calon untuk maju dalam Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya
PKS Dukung Anies Buat Partai Baru, Contohkan SBY Dirikan Demokrat Bisa jadi Presiden
PKS Dukung Anies Buat Partai Baru, Contohkan SBY Dirikan Demokrat Bisa jadi Presiden

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendoakan Anies Baswedan sukses mendirikan partai baru atau organisasi masyarakat (ormas).

Baca Selengkapnya
VIDEO: Anies Sampaikan Misi Khusus Koalisi Perubahan di Pilpres 2024
VIDEO: Anies Sampaikan Misi Khusus Koalisi Perubahan di Pilpres 2024

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi mengumumkan mendukung pasangan Anies Baswedan dan Muhamimin Iskandar di Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
Anies Pulang Haji Malam Ini, Segera Umumkan Cawapres?
Anies Pulang Haji Malam Ini, Segera Umumkan Cawapres?

NasDem bakal segera berdiskusi dengan Anies. Serta meminta agar tidak buru-buru mengumumkan calon wakil presiden.

Baca Selengkapnya
Anies soal Maju Pilgub DKI: Isu untuk Mengalihkan Perhatian dari Pilpres
Anies soal Maju Pilgub DKI: Isu untuk Mengalihkan Perhatian dari Pilpres

Anies mengingatkan proses Pilpres 2024 masih belum selesai.

Baca Selengkapnya