Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Ambang batas berpotensi membuat paslon melakukan pelanggaran terstruktur

Ambang batas berpotensi membuat paslon melakukan pelanggaran terstruktur Ilustrasi Pilkada Serentak. ©2015 Merdeka.com

Merdeka.com - Pilkada serentak tinggal hitungan hari. Pesta demokrasi yang akan berlangsung di 171 daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dinilai menjadi ajang pemanasan parpol menjelang Pemilu 2019 mendatang.

Ada beberapa potensi persoalan yang bisa muncul dalam Pilkada serentak 2018. Salah satunya soal adanya ambang batas perolehan suara yang bisa disengketakan ke Mahkamah Konstitusi.

Adanya ambang batas ini dinilai berpotensi membuat pasangan calon atau paslon melakukan pelanggaran terstruktur dan masif. Karena itulah pesta demokrasi ini perlu dikawal agar berlangsung jujur dan adil sesuai dengan prinsip demokrasi.

"Sejak 2015 ada ketentuan yang membatasi setiap Pilkada tak bisa serta merta disengketakan di MK. Ada ambang batas dari 0,5 persen sampai 2 persen. Kalau selisih suara pemenang pertama dan kedua di bawah ambang batas tak bisa disengketakan," jelas Direktur Kode Inisiatif, Veri Junaidi, dalam diskusi 'Titik Krusial Pilkada Serentak 2018' di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (24/6).

"Dampak negatif ambang batas ini ada muncul kesadaran sejak 2017 yang dibangun kandidat bahwa kalau ingin menang dengan aman, menang dengan selisih sangat tinggi muncul kecenderungan melakukan pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Terpenting selisih suara pemenang pertama lebih dari ambang batas," sambungnya.

Veri menilai akan muncul strategi pemenangan kandidat dengan cara melakukan apapun dengan tujuan muncul ambang batas yang melebihi yang ditentukan UU. Tujuan paslon hanya untuk menang dan tak lagi fokus bagaimana melaksanakan Pilkada sesuai dengan prinsip demokrasi.

"Orang makin tak peduli untuk melaksanakan pemilihan secara demokratis terpenting menang dengan ambang batas atau selisih tinggi. Sehingga kemenangan tak bisa dikoreksi dan dianulir oleh MK," kata Veri.

Inilah kemudian yang juga dinilai Veri akan memunculkan persaingan sengit dalam Pilkada pada Rabu, 27 Juni akan datang. Selain itu juga diprediksi akan muncul gesekan politik dan persoalan lainnya.

Kode Inisiatif juga melakukan riset dimana sengketa Pilkada yang ditangani MK lebih sering menjadikan netralitas ASN sebagai persoalan termasuk juga penggunaan fasilitas negara khususnya bagi calon petahana. Hal ini juga harus menjadi perhatian sehingga tak terjadi persoalan sama dalam Pilkada 2018. Persoalan ini, kata Veri, adalah persoalan klasik yang selalu muncul saat Pilkada.

"Riset kami dalam putusan MK dari tahun 2008 sampai sekarang dua persoalan itu selalu saja muncul. Netralitas ASN, TNI, Polri kita bisa lihat dari kasus yang muncul bahwa persoalan ini potensial muncul kembali," ujarnya.

Apalagi belakangan muncul perdebatan soal Plt Gubernur Jabar yang berasal dari Polri. Akibatnya muncul kekhawatiran polisi dan birokrasi tak akan netral mengingat salah satu paslon merupakan purnawirawan polisi.

"Netralitas jadi isu sangat krusial dan bisa jadi catatan bagi pemilih, pemantau dan khusus Bawaslu dalam melakukan pengawasan," ujarnya.

Veri juga mengimbau kepada penyelenggara Pemilu agar mengantisipasi persoalan klasik lainnya yaitu politik uang. Dalil politik uang ini juga kerap menjadi dasar dilayangkannya sengketa Pilkada ke MK. Yang harus diantisipasi bukan hanya serangan fajar, tapi muncul istilah baru yaitu serangan duha dan pascabayar. Politik uang jika terbukti dilakukan paslon dapat berdampak pada diskualifikasi. Bahkan kandidat yang dinyatakan menang oleh KPU pun bisa dianulir.

"Kasus Kepulauan Yapen di Pilkada 2017 bisa jadi referensi," sebutnya.

Titik krusial lain yang berpotensi muncul ialah saat proses pungut hitung atau pemungutan dan penghitungan perolehan suara. Proses ini harus benar-benar diawasi karena menjadi penentu kemenangan paslon. Hal yang harus diantisipasi ialah potensi kecurangan.

Ada berbagai modus yang bisa dilakukan paslon yaitu pergerakan suara ilegal atau jual beli suara, penggembosan dan penggelembungan suara.

"Ada selisih suara sangat tipis. Berdasarkan survei, Jatim, Jabar selisih suaranya antar kandidat tipis. Proses rekapitulasi harus jadi perhatian dan dikawal serius sehingga suara tak bergeser secara ilegal," tuturnya.

(mdk/eko)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP