BPK Satu Suara dengan KPK Terkait Korupsi Pelindo II Jerat RJ Lino

Merdeka.com - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengungkap, BPK telah menyelesaikan enam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigasi terkait kasus yang menyeret mantan direktur Pelindo II RJ Lino. Menurut dia, dari enam LHP tersebut, dua di antaranya diketahui terdapat kerugian keuangan negara dengan angka lebih dari Rp 2 triliun.
"Dari enam LHP Investigasi itu setidak-tidaknya, dua di antaranya kerugian negaranya itu di atas Rp 2 triliun," kata Agung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/3).
Dengan indikasi tersebut, lanjut Agung, BPK sepakat dengan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II.
"Sebenarnya posisinya sama (BPK) dengan KPK, kita melihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum," jelas dia.
Seperti diketahui, pada pekan kemarin Wakil Ketua KPK Alexander Marwata merilis status penahan terhadap RJ Lino. KPK akhirnya menahan mantan Dirut PT Pelindo II tersebut setelah menyandang status tersangka selama lima tahun.
Menurut konstruksi kasusnya, Alex menjelaskan, bahwa KPK menduga kuat adanya unsur korupsi dari pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II.
"Tahun 2009, PT Pelindo II (Persero) melakukan pelelangan pengadaan 3 Unit QCC dengan spesifikasi Single Lift untuk Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang dinyatakan gagal sehingga dilakukan penunjukan langsung kepada PT BI (Barata Indonesia). Namun penunjukan langsung tersebut juga batal karena tidak adanya kesepakatan harga dan spesifikasi barang tetap mengacu kepada Standar Eropa," kata Alex menjelaskan awal mula dari kasus ini saat jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Jumat 26 Maret 2021.
Kemudian, lanjut Alex, pada 18 Januari 2010, RJL selaku Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) diduga melalui disposisi surat, memerintahkan FY seorang Direktur Operasi dan Teknik melakukan pemilihan langsung dengan mengundang beberapa perusahaan, seperti tiga dari China yaitu ZPMC, Wuxi, HDHM dan satu perusahaan dari Korea Selatan bernama Doosan.
Menurut Alex, pada Februari 2010, RJ Lino diduga kembali memerintahkan untuk dilakukan perubahan Surat Keputusan Direksi PT. Pelindo II (Persero) tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT.Pelindo II (Persero), dengan mencabut ketentuan Penggunaan Komponen Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri.
"Perubahan itu dimaksudkan agar bisa mengundang langsung ke pabrikan di luar negeri. Adapun Surat Keputusan Direksi PT. Pelindo II (Persero) tersebut menggunakan tanggal mundur (back date) sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan," ungkap Alex.
Alex menilai, penunjukan langsung HDHM diduga dilakukan oleh RJ Lino dengan menuliskan disposisi "GO FOR TWINLIFT" pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik. Padahal, pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan bahwa produk HDHM dan produk ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China.
Selanjutnya, pada Maret 2010, RJ Lino diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM dan memberi disposisi kepada Saptono R. Irianto yang menjabat sebagai Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha untuk melakukan kajian operasional. Diketahui, kesimpulan dari kajian itu adalah QCC Twin Lift tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak.
Kesepakatan yang terjalin antara PT Pelindo II (Persero) dengan pihak pihak HDHM, memerlukan uang muka.KPK menduga, RJL menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan dengan jumlah uang muka yang di bayarkan mencapai USD 24 juta yang di cairkan secara bertahap.
"Penandatanganan kontrak antara PT Pelindo II (Persero) dengan HDHM dilakukan saat proses pelelangan masih berlangsung dan begitu pun setelah kontrak ditandatangani masih dilakukan negosiasi penurunan spesifikasi dan harga, agar tidak melebihi nilai Owner Estimate (OE)," beber Alex.
Selain itu, kejanggalan diungkap KPK menemukan, pengiriman 3 unit QCC ke Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak dilakukan tanpa commision test yang lengkap. Padahal, commission test tersebur menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya serah terima barang.
Untuk diketahui, harga kontrak seluruhnya dari proyek pengadaan ini adalah USD 15,554,000. Terdiri dari USD 5,344,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Panjang, USD 4,920,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Palembang dan USD 5,290,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Pontianak.
Menurut catatan KPK yang didapat dari sorang ahli di ITB, bahwa Harga Pokok Produksi (HPP) daripada proyek tersebut seharusnya hanya sebesar USD 3,356,742 untuk QCC Pelabuhan Panjang, USD 2,996,123 untuk QCC Pelabuhan Palembang dan USD 3,314,520 untuk QCC Pelabuhan Pontianak.
"Akibat perbuatan RJL ini, KPK juga telah memperoleh data dugaan kerugian keuangan dalam pemeliharaan 3 unit QCC tersebut sebesar USD 22,828,94 sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian Negara yang pasti karena bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC tidak diperoleh, sebagaimana surat BPK tertanggal 20 Oktober 2020," Alex menandasi.
Reporter: Muhammad Radityo PriyasmonoSumber: Liputan6.com
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya