Cerita Warga Perbatasan Sulit Keluar Kampung karena Tak Ada Jembatan
Merdeka.com - Warga Desa Inbate dan Nainaban di Kecamatan Bikomi Nilulat, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, kesulitan untuk beraktivitas di luar desa lantaran terhalang arus deras banjir. Tidak adanya jembatan penghubung, terkadang membuat warga dan siswa sekolah nekat menerobos banjir kiriman yang tak kunjung surut.
Bahkan warga saling membantu menyeberangi kendaraan bermotor yang melalui jalur ini. Padahal membahayakan nyawa mereka.
Pasukan Satgas Pengaman Perbatasan Indonesia-RDTL Sektor Barat, dari Yonif Mekanis 741 Garuda Nusantara, pun membuat sebuah rakit sederhana dari potongan bambu, agar warga bisa mengakses jalur ini tanpa harus menantang maut.
-
Dimana banjir terjadi? Sejumlah kereta api jarak jauh dari Jakarta tujuan Surabaya mengalami keterlambatan hingga dua sampai tiga jam dari jadwal yang seharusnya, akibat banjir di wilayah Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang.
-
Bagaimana cara warga Dusun Tonjong beradaptasi dengan banjir? Tujuannya apabila banjir telah surut, mereka lebih mudah membersihkan bagian dalam rumah. 'Banjir di sini hampir setiap tahun. Bahkan untuk tahun ini, sejak awal tahun 2024, sudah terjadi empat kali banjir di sini,' kata Damsiri.
-
Apa dampak dari banjir? Banjir tidak hanya menghancurkan rumah dan infrastruktur, tetapi juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan.
Dansatgas Pamtas RI–RDTL Sektor Barat, Mayor Inf Hendra Saputra mengatakan pihaknya membuat rakit agar masyarakat bisa beraktivitas ke kebun, atau berpergian ke daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Utara. Bahkan demi siswa yang harus pergi ke sekolah, lantaran tidak ada jalur alternatif lain.
"Ini semua untuk mengupayakan penyeberangan bagi masyarakat menggunakan rakit dan menggunakan perlengkapan safety yang kami buat, dan yang kami bawa dari satuan sehingga dapat membantu masyarakat," ujarnya, Rabu (30/1).
Usai membuat rakit sederhana itu, warga tidak dibiarkan sendirian menyeberangi arus banjir yang deras. Para prajurit secara bergantian selalu mengawal hingga ke seberang sungai.
"Karena sangat sulit sekali di situ, masyarakat seperti anak-anak sekolah kalau menyeberang dari situ, ini masalah keselamatan, yang kedua kaitannya dengan masalah keselamatan jelas kalau mereka menyeberang tanpa rakit akan mengalami basah, apalagi buku-buku yang mereka bawa ke sekolah," tegas Hendra.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Perjalanan bertaruh nyawa itu terpaksa ditempuh para pelajar SD di dua desa karena akses menuju sekolah hanya melalui jembatan rusak tersebut.
Baca SelengkapnyaBahkan dikabarkan pernah ada warga yang meninggal dunia usai terjatuh dari atas jembatan saat menyeberangi sungai tersebut.
Baca SelengkapnyaTidak ada lagi jalan setapak menuju desa. Semua tenggelam dalam rob.
Baca SelengkapnyaKampung Bulak Barat sempat direndam banjir hingga menutupi rumah-rumah warga
Baca SelengkapnyaSejumlah warga menyeberangi sungai membawa jenazah yang akan dimakamkan di pemakaman itu viral di media sosial
Baca SelengkapnyaSetiap hari anak-anak di kampung ini harus bertaruh nyawa untuk menuju sekolah menggunakan rakit, lantaran tak ada akses jembatan.
Baca SelengkapnyaKondisinya sudah miring, dengan beberapa bagiannya berlubang. Bahkan, salah satu tali baja penopang beban juga putus.
Baca SelengkapnyaAnak-anak terpaksa digendong warga agar sepatu dan baju mereka tidak basah saat melintasi sungai Regoyo.
Baca SelengkapnyaSetiap hari mereka menyeberang sungai itu tanpa didampingi orang tua
Baca SelengkapnyaJalan nasional di Desa Pasar Tamiai lumpuh para pengendara tidak bisa melintas.
Baca SelengkapnyaSebanyak 26 warga Kabupaten Luwu terpaksa jalan kaki 6 jam menuju ke pengungsian setelah desanya terisolasi akibat banjir dan longsor.
Baca Selengkapnya