Daan Mogot, ABG 17 tahun sudah jadi komandan Akademi Militer

Merdeka.com - Salah satu lulusan pendidikan Perwira Pembela Tanah Air (PETA) yang cemerlang adalah Daan Mogot. Saat mendaftar PETA Daan Mogot baru berusia 14 tahun. Dia menyalahi aturan, karena minimal calon perwira PETA berusia 18 tahun. Tapi Daan Mogot bisa lulus sebagai salah satu yang terbaik.
Daan Mogot masuk kelompok pilihan bersama Zulkifli Lubis (kelak Wakasad dan bapak intelijen Indonesia), dan Kemal Idris (kelak Letjen TNI). Mereka dilatih perang gerilya di bawah Kapten Yanagawa. Diajari bertempur secara efektif dan menggunakan aneka senjata terbaru saat itu.
"Kami juga diajari cara memelihara merpati karena burung itu dapat dipergunakan untuk berkomunikasi," kata Kemal Idris dalam biografi bertarung dalam revolusi terbitan Sinar Harapan.
Daan Mogot pun dipercaya melatih pasukan PETA di Bali. Pemuda berpangkat setara letnan ini dipercaya melatih para calon Daidan atau komandan batalyon berpangkat mayor.
Ketika Indonesia merdeka, Daan Mogot dan kawan-kawannya bergabung bersama TNI. Dia diangkat jadi mayor. Mungkin mayor termuda dalam sejarah karena saat itu Daan Mogot baru berusia 16 tahun.
Daan Mogot juga punya visi yang cerdas soal militer. Bayangkan di usia 17 tahun, dia dan kawan-kawannya mendirikan sekolah calon perwira Akademi Militer Tangerang. Daan Mogot diangkat menjadi direktur pertama Akademi Militer Tangerang.
Sayang mayor muda gagah berani ini tidak berumur panjang. Tanggal 25 Januari 1946, Daan Mogot bersama pasukannya berangkat untuk melucuti pasukan Jepang di Lengkong, Tangerang.
Kala itu Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Daan Mogot dan rekan-rekannya berpikir lebih baik senjata Jepang jatuh ke tangan tentara Indonesia daripada pasukan Belanda yang akan segera kembali di bawah sekutu.
Mayor Daan Mogot berangkat bersama 70 taruna Akademi Militer Tangerang ke kawasan Lengkong, Serpong, Tangerang. Di sana dia menemui Kapten Abe, komandan tentara Jepang sementara pasukannya berjaga di luar.
Perundingan berlangsung damai. Kapten Abe meminta izin menghubungi atasannya dulu di Jakarta sebelum menyerahkan senjata. Tetapi pasukan taruna di luar, tanpa sepengetahuan Daan Mogot ternyata sudah mulai melucuti tentara Jepang. Beberapa tentara Jepang juga sukarela menyerahkan senjatanya.
Tiba-tiba entah darimana, terdengar tembakan. Situasi langsung kacau balau. Tentara Jepang segera berlari mengambil kembali senjatanya. Penjaga di pos senapan mesin pun langsung memberondong para taruna.
Pertempuran tak seimbang berlangsung. Mayor Daan Mogot berlari keluar dan berusaha menghentikan tembak menembak. Usahanya tak berhasil, dia tewas setelah diberondong tentara Jepang.
Daan Mogot gugur sebagai ksatria. Usianya baru 17 tahun ketika meninggalkan Ibu Pertiwi untuk selama-lamanya. Selain Daan Mogot, 33 taruna dan 3 perwira gugur dalam peristiwa Lengkong.
Ditemukan sebuah puisi dalam saku salah satu taruna. Wartawan Rosihan Anwar menerjemahkan syair dalam bahasa Belanda tersebut untuk mengenang para taruna.
Kami bukan pembangun candi
Kami hanya pengangkut batu.
Kami angkatan yang mesti musnah, agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami, lebih sempurna..
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya